Selasa, 05 Februari 2013

Beranda » »
Notulen AM Pringgodigdo di rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) kabarnya banyak yang tak terselamatkan. Terlepas apakah ada unsur kesengajaan atau memang suasana revolusi saat itu, yang kita pelajari dari sejarah hanyalah pidato-pidato tentang perumusan dasar negara yang diusulkan oleh golongan kebangsaan, yakni:
Mohammad Yamin (29 Mei 1945)
Menurut beliau negara Indonesia harus berpijak pada lima dasar Merdeka yang diidam-idamkan. Kelima asas tersebut adalah.
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri Ketuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
Setelah berpidato, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan usulan secara tertulis mengenai rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia. Dalam rancangan UUD itu tercantum pula rumusan lima asas dasar negara sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusian yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Soepomo (31 Mei 1945 )
Prof. Dr. Mr. Soepomo tampil berpidato di hadapan sidang BPUPKI. Dalam pidatonya itu beliau menyampaikan gagasannya mengenai lima dasar negara Indonesia merdeka yang terdiri dari:
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan lahir batin
4. Musyawarah
6. Keadilan rakyat

Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Bung Karno menyampaikan pidatonya di hadapan sidang BPUPKI. Beliau mengusulkan lima asas sebagai dasar negara Indonesia yang akan dibentuk, yaitu:
1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
Lima asas di atas oleh Ir. Soekarno diusulkan agar diberi nama “Pancasila”.
Hanya itu saja rumusan dasar negara yang kita terima dari bangku sekolah. Hal yang aneh menurut penulis, tidak termaktubnya usulan dari kalangan Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia. Secara logika, kalau tidak ada aspirasi dari kalangan Islam, buat apa pula ujug-ujug muncul kata-kata “syariat Islam” dalam Piagam Jakarta (The Jakarta Charter). Menurut buku sejarah, pada tanggal 22 Juni 1945 malam Panitia Sembilan langsung mengadakan rapat di rumah kediaman Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Rapat berlangsung alot, dan akhirnya disepakati rumusan dasar negara yang tercantum dalam Mukadimah (Preambule alias Pembukaan) Hukum Dasar secara zahir sebagai berikut:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Inilah rumusan hukum dasar negara yang disebut kemudian sebagai Pancasila. Dari tanggal 22 Juni 1945 hingga 17 Agustus 1945, Pancasila adalah Piagam Jakarta. Sehari setelah proklamasi, rumusan ini langsung dilikuidasi.
Saya cukup heran dengan kenyataan ini. Ketika tanggal 18 Agustus 1945 — sehari setelah proklamasi — Bung Hatta berkeras ingin melakukan rapat darurat. Agendanya adalah menghapus kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat ISLAM bagi pemeluk pemeluknya, setelah beliau mengaku didatangi opsir Kaigun, yang menyampaikan bahwa wakil Protestan dan Katolik di Indonesia Timur menyatakan keberatan dengan kalimat itu sambil mengultimatum jika kalimat itu dipertahankan mereka lebih suka berada di luar republik. Sebuah perongrongan terhadap keutuhan NKRI yang baru saja merdeka.
Mendengar kabar itu, Bung Karno menyatakan kekecewaannya. Beliau menganggap Piagam Jakarta adalah sebuah gentlement agreement yang dibuat dengan susah payah untuk mendapatkan sebuah titik temu antara kalangan Islam dan kebangsaan. Mungkin dikhawatirkan penghapuskan kalimat tersebut akan menyakiti hati kalangan Islam yang sudah banyak bekerja keras dalam rapat-rapat, mau kompromi dan bermufakat secara lapang dada walaupun dasar negara Islam tak tercantum dalam konstitusi. Lagipula, banyak juga Katolik dan Protestan Indonesia Timur di BPUPKI dan mereka menyatakan tak keberatan tujuh kata tersebut.
Sebelum rapat untuk penghapusan tujuh kata ini, dilakukan lobby terlebih dahulu untuk memuluskan agenda. Di antara kalangan Islam yang ada, yang paling senior dan sangat disegani adalah Ki Bagus Hadikusumo, ketua umum PP Muhammadiyah saat itu. Diupayakan bagaimana cara approach untuk dapat melunakkan hati beliau. Saya yakin benar bahwa dalam rapat perumusan dasar negara di sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo telah berpidato dan gigih untuk mengusulkan agar Indonesia berdasarkan Islam. Coba kita simak kutipan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Dalam pidato termasyhurnya itu Bung Karno dengan cerdas menyebut dua kali nama Ki Bagus Hadikusumo untuk mengambil hati tokoh Islam tersebut terhadap ide Pancasila yang dibawanya itu:
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, macam-macam, tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju: Saya katakan lagi: setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari modus.
Bagaimana lobby kepada Ki Bagus Hadikusumo ini banyak versi yang dikemukakan. Ada yang bilang bahwa Kasman Singodimedjo — salah satu anggota Muhammadiyah — berhasil membujuk Ki Bagus dengan bahasa romo inggil. Ada pula yang mengatakan Sukarno meminta Teuku Hasan, seorang tokoh Islam dari Aceh, untuk membujuk Ki Bagus. Di sinilah tampak jelas kharisma Ki Bagus Hadikusumo sebagai ulama dan pemimpin yang kharismatik. Pemimpin sekelas Bung Karno dan Bung Hatta saja segan menghadapi langsung sosok Ki Bagus yang terkenal lantang dan teguh pendirian. Namun, di sinilah ternyata jiwa besar kenegarawanan yang muncul. Ki Bagus yang awalnya sangat marah dan sangat kecewa dengan “amandemen seenaknya” itu, akhirnya menyetujuinya. Begitulah akhirnya, rapat PPKI pun mulus mengganti sila pertamanya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perlu diketahui bahwa pencoretan tujuh kata “keramat” itu secara otomatis mengamandemen UUD 1945. Pasal 29 ayat 1 yang menyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya diganti dengan Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, ada satu pasal lagi yang ikut dilikuidasi, yakni pasal 6 ayat 1 yang berbunyi Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam dihapus tiga kata terakhir menjadi Presiden ialah orang Indonesia asli. Jika Anda sepakat dengan saya bahwa ini merupakan amandemen pertama UUD 1945, maka selama ini kita yang sudah lama belajar tentang amandemen telah keliru selama ini.
Namun, bagi founding fathers kita sangat jelas bahwa penghapusan kata-kata Islam ini dalam konstitusi tak mungkin menghapuskan semangat historis yang melatarbelakanginya. Untuk itu, sangat tepat konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandakan berlakunya kembali UUD 1945 yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan Konstitusi tersebut.
Banyak intelektual muda Islam menganggap aspirasi umat Islam berpotensi memecah-belah persatuan bangsa. Cobalah mereka cermat melihat jalannya sejarah bagaimana Indonesia merdeka. Betapa tanpa jiwa besar dari sosok ulama negarawan seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim dan lain-lainnya, mungkin kita tak dapat merasakan manisnya kemerdekaan, persatuan dan keutuhan bangsa ini sampai kapan pun.
Saya akhiri tulisan ini dengan wasiat Ki Bagus Hadikusumo. Sebuah nasihat yang masih relevan, khususnya bagi negarawan dan politisi di republik ini:
Carilah Ridha Allah yang Satu, agar kita dapat bersatu
Jangan cari benda-benda yang bertebaran, nanti kita berserakan lantarannya

DP