Sarah dan Asra bertemu pada Ramadan tiga tahun lalu. Mereka berkenalan di sebuah acara buka puasa. “Kami berbincang, lalu sepakat untuk berkasih,” kata Asra seperti dikutip dari BBC, Minggu (20/2).
Ketika berkasih, Asra dan Sarah berbicara dari hati ke hati, bertukar pengetahuan tentang Islam. “Empat jam kami berbincang, mulai dari makan malam, minum kopi, berjalan kaki,” ujar Sarah. Satu jam setelah berkasih, Sarah langsung mengajak Asra menikah. “Terdengar aneh, tapi kami ingin melakukannya secara terhormat.”
Asra menerima ajakan menikah Sarah. Mereka setuju untuk melakukan pernikahan secara Islam. Masalah muncul, tradisi nikah secara Islam b
iasanya dilakukan oleh pasangan lelaki dan perempuan.
“Beberapa teman mengatakan, kamu tidak perlu Imam resmi, tapi kamu perlu mendatangkan seseorang yang mengetahui Islam dan mengerti Quran,” kata Sarah. “Akhirnya ada teman kami yang mahu menjadi Imam nikah, dia lesbian juga dan dia katakan upacara pernikahan ini boleh dilakukan di rumahnya.”
Tiga bulan setelah Sarah melamar, hari yang ditunggu itu datang. Asra mengenakan baju tradisional Pakistan -shalwar kameez- dan Sarah mengenakan gaun merah muda. “Sebenarnya aku ingin mengenakan gaun kulit tapi Asra tidak setuju,” ujar Sarah.
Sarah dan Asra juga menyiapkan sepasang cincin yang dibeli di Camden market. Mereka juga menyiapkan perjanjian menikah. “Kami melihat contoh perjanjian menikah pasangan berbeda jenis di internet,” kata Sarah.
Dalam perjanjian menikah itu, Sarah mencantumkan seekor anjing. Bila mereka berpisah, anjing itu tetap milik Sarah. “Aku takut anjing itu diambil Asra,” ujar Sarah.
Selain cincin, perjanjian menikah, mereka juga menyiapkan mahar senilai 5 poundsterling atau sekitar Rp 71 ribu. Mahar itu hanya simbol, tapi sampai saat ini mereka masih menyimpan mahar itu.
Upacara pernikahan Sarah dan Asra dihadiri enam teman mereka, selain menjadi tamu, enam orang itu menjadi saksi. Pernikahan mereka juga disaksikan seekor kucing. Seremoni ini berjalan dalam bahasa Arab, tahap-tahapan mereka menikah pun layaknya pasangan berbeda jenis.
Asra dan Sarah menikah secara Islam, namun perjalanan mereka tak mudah. Selain pernikahan sesama jenis ini tidak diperbolehkan secara akidah Islam, orang tua Asra juga menentang.
“Sangat sulit buatku untuk memberitahu kepada keluarga bahwa aku lesbian, mereka tahu aku religius, tapi untuk mengakui aku lesbian sangat sulit,” katanya.
Hal berbeda dialami Sarah, sebab dia tumbuh bukan sebagai Muslim. Dia baru menjadi muslim lima tahun lalu. Keluarga Sarah juga menerima bahwa dia seorang lesbian. Namun sepertinya, kata Sarah, mereka ingin aku tidak menjadi Muslim.
Sarah dan Asra tahu mereka melawan dunia, pernikahan mereka juga ditentang mayoritas akademisi Muslim, tapi Sarah merasa itu bukan urusan orang lain. “Ini hubungan antara aku dan Tuhan, mungkin pernikahan ini bukan yang ideal, tapi kami mencoba yang terbaik.”
Jumlah umat muslim di Inggris terus bertambah tiap tahun. Sebuah studi memperkirakan satu dari sepuluh warga Inggris beragama Islam pada 2030. Gelombang Islam ini juga menyentuh kaum gay di Inggris. Muslim gay ini bukan hanya berjuang untuk persamaan hak sebagai individu tapi juga persamaan dalam hal menikah.
Beberapa kelompok yang membela kaum gay Muslim di Inggris mulai muncul. Kelompok itu di antaranya, Imaan dan Safra Project. Seorang tokoh yang mengadvokasi pernikahan gay Muslim adalan Imam asal Amerika, Daayiee Abdullah, yang juga seorang gay.
Daayiee Abdullah telah menikahkan beberapa gay di Amerika. Dia juga memberi nasihat kepada gay Muslim di Inggris bagaimana cara melakukan pernikahan secara Islam.
“Karena hukum Islam tidak memungkinkan sesama jenis untuk menikah, banyak yang bilang mustahil sesama jenis bisa menikah,” kata Daayiee Abdullah.
Tapi, lanjut Daayiee, bila tidak mengizinkan pasangan sesama jenis untuk menikah maka ada pertentangan dengan pesan dalam Quran yang mengatakan setiap orang memiliki pasangan yang membawa kenyamanan.
Ketika berkasih, Asra dan Sarah berbicara dari hati ke hati, bertukar pengetahuan tentang Islam. “Empat jam kami berbincang, mulai dari makan malam, minum kopi, berjalan kaki,” ujar Sarah. Satu jam setelah berkasih, Sarah langsung mengajak Asra menikah. “Terdengar aneh, tapi kami ingin melakukannya secara terhormat.”
Asra menerima ajakan menikah Sarah. Mereka setuju untuk melakukan pernikahan secara Islam. Masalah muncul, tradisi nikah secara Islam b
iasanya dilakukan oleh pasangan lelaki dan perempuan.
“Beberapa teman mengatakan, kamu tidak perlu Imam resmi, tapi kamu perlu mendatangkan seseorang yang mengetahui Islam dan mengerti Quran,” kata Sarah. “Akhirnya ada teman kami yang mahu menjadi Imam nikah, dia lesbian juga dan dia katakan upacara pernikahan ini boleh dilakukan di rumahnya.”
Tiga bulan setelah Sarah melamar, hari yang ditunggu itu datang. Asra mengenakan baju tradisional Pakistan -shalwar kameez- dan Sarah mengenakan gaun merah muda. “Sebenarnya aku ingin mengenakan gaun kulit tapi Asra tidak setuju,” ujar Sarah.
Sarah dan Asra juga menyiapkan sepasang cincin yang dibeli di Camden market. Mereka juga menyiapkan perjanjian menikah. “Kami melihat contoh perjanjian menikah pasangan berbeda jenis di internet,” kata Sarah.
Dalam perjanjian menikah itu, Sarah mencantumkan seekor anjing. Bila mereka berpisah, anjing itu tetap milik Sarah. “Aku takut anjing itu diambil Asra,” ujar Sarah.
Selain cincin, perjanjian menikah, mereka juga menyiapkan mahar senilai 5 poundsterling atau sekitar Rp 71 ribu. Mahar itu hanya simbol, tapi sampai saat ini mereka masih menyimpan mahar itu.
Upacara pernikahan Sarah dan Asra dihadiri enam teman mereka, selain menjadi tamu, enam orang itu menjadi saksi. Pernikahan mereka juga disaksikan seekor kucing. Seremoni ini berjalan dalam bahasa Arab, tahap-tahapan mereka menikah pun layaknya pasangan berbeda jenis.
Asra dan Sarah menikah secara Islam, namun perjalanan mereka tak mudah. Selain pernikahan sesama jenis ini tidak diperbolehkan secara akidah Islam, orang tua Asra juga menentang.
“Sangat sulit buatku untuk memberitahu kepada keluarga bahwa aku lesbian, mereka tahu aku religius, tapi untuk mengakui aku lesbian sangat sulit,” katanya.
Hal berbeda dialami Sarah, sebab dia tumbuh bukan sebagai Muslim. Dia baru menjadi muslim lima tahun lalu. Keluarga Sarah juga menerima bahwa dia seorang lesbian. Namun sepertinya, kata Sarah, mereka ingin aku tidak menjadi Muslim.
Sarah dan Asra tahu mereka melawan dunia, pernikahan mereka juga ditentang mayoritas akademisi Muslim, tapi Sarah merasa itu bukan urusan orang lain. “Ini hubungan antara aku dan Tuhan, mungkin pernikahan ini bukan yang ideal, tapi kami mencoba yang terbaik.”
Jumlah umat muslim di Inggris terus bertambah tiap tahun. Sebuah studi memperkirakan satu dari sepuluh warga Inggris beragama Islam pada 2030. Gelombang Islam ini juga menyentuh kaum gay di Inggris. Muslim gay ini bukan hanya berjuang untuk persamaan hak sebagai individu tapi juga persamaan dalam hal menikah.
Beberapa kelompok yang membela kaum gay Muslim di Inggris mulai muncul. Kelompok itu di antaranya, Imaan dan Safra Project. Seorang tokoh yang mengadvokasi pernikahan gay Muslim adalan Imam asal Amerika, Daayiee Abdullah, yang juga seorang gay.
Daayiee Abdullah telah menikahkan beberapa gay di Amerika. Dia juga memberi nasihat kepada gay Muslim di Inggris bagaimana cara melakukan pernikahan secara Islam.
“Karena hukum Islam tidak memungkinkan sesama jenis untuk menikah, banyak yang bilang mustahil sesama jenis bisa menikah,” kata Daayiee Abdullah.
Tapi, lanjut Daayiee, bila tidak mengizinkan pasangan sesama jenis untuk menikah maka ada pertentangan dengan pesan dalam Quran yang mengatakan setiap orang memiliki pasangan yang membawa kenyamanan.
http://www.borakkosong.com/2011/02/pasangan-lesbian-ini-nikah-cara-islam.html