Rupa Dunia | Meruncingkan Gigi, memperpanjang telinga, Bibir Piring, Gelang leher jerapah dan Tambal Hidung adalah kecantikan bagi suku mereka. Itulah mengapa modifikasi tubuh ini lebih banyak dilakukan oleh wanita daripada pria. Tapi apapun mode modifikasi tubuh saat ini, semua itu telah dilakukan sebelumnya oleh suku-suku di seluruh dunia, seringkali selama ratusan tahun.
Suku Mursi
Suku Mursi atau Murzu adalah penggembala ternak yang hidup nomaden di Ethiopia dekat dengan perbatasan Sudan, salah satu daerah di negara itu yang paling terisolasi. Populasi suku Mursi saat ini diperkirakan 6000 samapai 10.000. Para wanita suku mursi mengenakan piring yang dipakaikan pada bibir bawah mulutnya. Sahabat Rupa Dunia pemakaian piring ini adalah sebagai tanda bagi daya tahan, kedewasaan dan kecantikan diantara wanita suku mursi. Semakin besar dan indah piring yang terselip di bibir, maka wanita tersebut semakin tinggi staminanya, semakin kaya dan semakin cantik. Bagaimana mereka makan denga bibir seperti itu? Yang jelas di suku ini mungkin tidak dikenal cium bibir
Suku Rikbaktsa
Rikbaktsa adalah kelompok etnis yang hidup di hutan hujan Amazon Brasil wilayah Mato Grosso. Mereka juga kadang-kadang disebut Orelhas de Pau ("Telinga kayu") karena kebiasaan pria suku itu memakai kepingan kayu di telinga mereka agar memanjang.
Pemuda pemuda tanggung Rikbaktsa akan menindik telinga mereka selama perayaan ritual pada usia 14 atau 15 tahun ketika mereka mampu berburu hewan besar dan tahu tentang upacara-upacara tradisional. Ritual ini menandai transisi pemuda itu menjadi dewasa dan kelayakan untuk menikah dengan mengganti nama mereka saat kecil menjadi nama dewasa yang baru. Suku Rikbaktsa saat ini hanya memiliki 909 anggota dan ritual perpanjangan telinga tidak diikuti lagi di kalangan pria muda.
Suku Dayak
Tradisi memanjangkan telinga dalam mode lain juga dilakukan oleh suku Dayak. Dan yang masih melakukannya hingga kini adalah suku Dayak Kenyah, Bahau dan Kayan di Kalimantan Timur. Di kalangan orang Dayak Kenyah, baik laki-laki maupun perempuan memiliki daun telinga yang sengaja dipanjangkan, akan tetapi panjangnya antara laki laki dan perempuan berbeda. Kaum laki-laki tidak boleh memanjangkan telinganya sampai melebihi bahunya, sedang kaum perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada.
Proses penindikan daun telinga ini sendiri dimulai sejak masa kanak-kanak, yaitu sejak berusia satu tahun. Kemudian setiap tahunnya mereka menambahkan satu buah anting atau subang perak. Anting atau subang perak yang dipakai pun berbeda-beda, gaya anting yang berbeda-beda ini menunjukkan perbedaan status dan jenis kelamin. Seperti misalnya kaum bangsawan memiliki gaya anting sendiri yang tidak boleh dipakai oleh orang-orang biasa. Sedangkan menurut penduduk Dayak Kenyah, pemanjangan daun telinga di kalangan masyarakat Dayak secara tradisional berfungsi sebagai penanda identitas kemanusiaan mereka.
Di Abad 21 ini sudah sedikit masarakat Dayak yang masih memiliki daun telinga yang panjang, itupun kebanyakan para manula yang berusia di atas 60 tahun.
Suku Apatani
Arunachal Pradesh, salah satu dari "Seven Sister", di timur laut India yang adalah daerah terpencil namun kaya akan budaya budaya suku. Tradisi tradisi disana masih melekat dalam kehidupan sehari-hari saat ini. Salah satu suku yang paling menarik adalah Apatani.
Suku Apatani tinggal di lembah Ziro di negara bagian Arunachal Pradesh di India timur laut. Wanita-wanita suku Apatani dianggap adalah wanita-wanita paling cantik di antara suku Arunachal; sampai begitu cantiknya, sehingga mereka harus membuat diri mereka terlihat tidak menarik sebagai perlindungan dari suku suku lain yang memperebutkan mereka. Oleh karena itu, wanita Apatani memakai colokan kayu besar di hidung mereka, namun tradisi ini tidak lagi dilakukan oleh generasi muda mereka. Saat ini suku apatani berjumlah sekitar 26.000.
Suku Kayan
Suku Kayan adalah etnis Tibet-Burman yang minoritas di Myanmar dan terkenal dengan kumparan kuningan yang perempuan suku tersebut pakai di leher mereka, memperpanjang mereka untuk proporsi yang tidak biasa. Sahabat Rupa Dunia karena konflik dengan rezim militer, suku Kayan banyak meninggalkan Myanmar di akhir 1980-an dan awal 1990-an dan hijrah ke Thailand, di mana leher panjang perempuan Kayan telah menjadi obyek wisata.
Kumparan/Gelang kuningan ditempatkan di sekitar leher anak perempuan ketika mereka berusia sekitar lima tahun. Setiap kumparan kemudian diganti dengan yang lebih panjang. Leher sebenarnya tidak diperpanjang, namun lebih karena berat kumparan kuningan mendorong tulang selangka turun dan menekan tulang rusuk. Setelah dipakaikan di leher, kumparan tidak akan dilepas kecuali jika tiba saatnya untuk menggantinya dengan yang lebih panjang
Ketika ditanya tentang tujuan atau keuntungan dari modifikasi tubuh seperti itu, jawaban wanita Kayan akan mengacu pada alasan identitas budaya dan kecantikan. Para antropolog telah lama berspekulasi tentang tujuan yang tepat dari kumparan kuningan ini. Dan muncullah teori teori mereka mengenai tujuan adat pemakaian kumparan kuningan ini,
1. agar lebih menarik
2. agar tidak menarik
3. agar mencegah harimau untuk menerkam
4. agar melambangkan naga (figur penting dari cerita rakyat Kayan)
Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan muda sudah mulai mengeluarkan gulungan.
Suku Bagobo
Meruncingkan gigi adalah bentuk modifikasi tubuh yang sangat menyakitkan dimana perempuan dari beberapa suku di Asia Selatan telah melakukannya selama bertahun-tahun. Hal hal seperti ini dianggap yang paling utama saat dianggap sebagai kecantikan. Para wanita suku Bagobo di Mindanao, pulau paling timur Filipina, harus menghabiskan banyak waktunya untuk meruncingkan giginya dengan cara dipahat dengan bambu dan kayu...
Suku Mentawai
Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Enggano, mereka adalah pendukung budaya Proto-Melayu yang menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat. Daerah hunian warga Mentawai, selain di Mentawai juga di Kepulauan Pagai Utara dan Pagai Selatan. Suku ini dikenal sebagai peramu dan ketika pertama kali dipelajari belum mengenal bercocok tanam. Tradisi yang khas adalah penggunaan tato di sekujur tubuh, yang terkait dengan peran dan status sosial penggunanya.
Pakaian utama untuk pria adalah cawat dan mereka dihiasi dengan kalung dan bunga di rambut dan telinga mereka. Wanita memakai hal yang sama kecuali mereka mengenakan sepotong kain yang dililitkan di sekitar pinggang. Wanita mengenakan rompi kecil dan mereka mempertajam gigi dengan sebuah alat pahat untuk alasan estetika yaitu membuat gigi terlihat seperti ikan hiu. Tato dilakukan dengan jarum dan kayu yang menggedor jarum.
Laki-laki berburu babi hutan, rusa dan primata. Perempuan dan anak-anak mengumpulkan ubi liar dan makanan dari hutan lainnya. Hewan-hewan kecil yang diburu oleh wanita.Suku Mentawai memelihara babi, anjing, monyet dan kadang-kadang ayam sebagai hewan peliharaan.
Di bawah ini video dari seorang peneliti Inggris yang mengunjungi suku Mentawai di Indonesia untuk mempelajari lebih lanjut tentang ritual tubuh seperti tato dan peruncingan gigi. Ketika ditanya bagaimana dan mengapa para wanita suku mentawai menahan rasa sakit yang kadang sampai berhari-hari, jawabannya adalah sederhana: KECANTIKAN.
Suku Mursi
Suku Mursi atau Murzu adalah penggembala ternak yang hidup nomaden di Ethiopia dekat dengan perbatasan Sudan, salah satu daerah di negara itu yang paling terisolasi. Populasi suku Mursi saat ini diperkirakan 6000 samapai 10.000. Para wanita suku mursi mengenakan piring yang dipakaikan pada bibir bawah mulutnya. Sahabat Rupa Dunia pemakaian piring ini adalah sebagai tanda bagi daya tahan, kedewasaan dan kecantikan diantara wanita suku mursi. Semakin besar dan indah piring yang terselip di bibir, maka wanita tersebut semakin tinggi staminanya, semakin kaya dan semakin cantik. Bagaimana mereka makan denga bibir seperti itu? Yang jelas di suku ini mungkin tidak dikenal cium bibir
Suku Rikbaktsa
Rikbaktsa adalah kelompok etnis yang hidup di hutan hujan Amazon Brasil wilayah Mato Grosso. Mereka juga kadang-kadang disebut Orelhas de Pau ("Telinga kayu") karena kebiasaan pria suku itu memakai kepingan kayu di telinga mereka agar memanjang.
Pemuda pemuda tanggung Rikbaktsa akan menindik telinga mereka selama perayaan ritual pada usia 14 atau 15 tahun ketika mereka mampu berburu hewan besar dan tahu tentang upacara-upacara tradisional. Ritual ini menandai transisi pemuda itu menjadi dewasa dan kelayakan untuk menikah dengan mengganti nama mereka saat kecil menjadi nama dewasa yang baru. Suku Rikbaktsa saat ini hanya memiliki 909 anggota dan ritual perpanjangan telinga tidak diikuti lagi di kalangan pria muda.
Suku Dayak
Tradisi memanjangkan telinga dalam mode lain juga dilakukan oleh suku Dayak. Dan yang masih melakukannya hingga kini adalah suku Dayak Kenyah, Bahau dan Kayan di Kalimantan Timur. Di kalangan orang Dayak Kenyah, baik laki-laki maupun perempuan memiliki daun telinga yang sengaja dipanjangkan, akan tetapi panjangnya antara laki laki dan perempuan berbeda. Kaum laki-laki tidak boleh memanjangkan telinganya sampai melebihi bahunya, sedang kaum perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada.
Proses penindikan daun telinga ini sendiri dimulai sejak masa kanak-kanak, yaitu sejak berusia satu tahun. Kemudian setiap tahunnya mereka menambahkan satu buah anting atau subang perak. Anting atau subang perak yang dipakai pun berbeda-beda, gaya anting yang berbeda-beda ini menunjukkan perbedaan status dan jenis kelamin. Seperti misalnya kaum bangsawan memiliki gaya anting sendiri yang tidak boleh dipakai oleh orang-orang biasa. Sedangkan menurut penduduk Dayak Kenyah, pemanjangan daun telinga di kalangan masyarakat Dayak secara tradisional berfungsi sebagai penanda identitas kemanusiaan mereka.
Di Abad 21 ini sudah sedikit masarakat Dayak yang masih memiliki daun telinga yang panjang, itupun kebanyakan para manula yang berusia di atas 60 tahun.
Suku Apatani
Arunachal Pradesh, salah satu dari "Seven Sister", di timur laut India yang adalah daerah terpencil namun kaya akan budaya budaya suku. Tradisi tradisi disana masih melekat dalam kehidupan sehari-hari saat ini. Salah satu suku yang paling menarik adalah Apatani.
Suku Apatani tinggal di lembah Ziro di negara bagian Arunachal Pradesh di India timur laut. Wanita-wanita suku Apatani dianggap adalah wanita-wanita paling cantik di antara suku Arunachal; sampai begitu cantiknya, sehingga mereka harus membuat diri mereka terlihat tidak menarik sebagai perlindungan dari suku suku lain yang memperebutkan mereka. Oleh karena itu, wanita Apatani memakai colokan kayu besar di hidung mereka, namun tradisi ini tidak lagi dilakukan oleh generasi muda mereka. Saat ini suku apatani berjumlah sekitar 26.000.
Suku Kayan
Suku Kayan adalah etnis Tibet-Burman yang minoritas di Myanmar dan terkenal dengan kumparan kuningan yang perempuan suku tersebut pakai di leher mereka, memperpanjang mereka untuk proporsi yang tidak biasa. Sahabat Rupa Dunia karena konflik dengan rezim militer, suku Kayan banyak meninggalkan Myanmar di akhir 1980-an dan awal 1990-an dan hijrah ke Thailand, di mana leher panjang perempuan Kayan telah menjadi obyek wisata.
Kumparan/Gelang kuningan ditempatkan di sekitar leher anak perempuan ketika mereka berusia sekitar lima tahun. Setiap kumparan kemudian diganti dengan yang lebih panjang. Leher sebenarnya tidak diperpanjang, namun lebih karena berat kumparan kuningan mendorong tulang selangka turun dan menekan tulang rusuk. Setelah dipakaikan di leher, kumparan tidak akan dilepas kecuali jika tiba saatnya untuk menggantinya dengan yang lebih panjang
Ketika ditanya tentang tujuan atau keuntungan dari modifikasi tubuh seperti itu, jawaban wanita Kayan akan mengacu pada alasan identitas budaya dan kecantikan. Para antropolog telah lama berspekulasi tentang tujuan yang tepat dari kumparan kuningan ini. Dan muncullah teori teori mereka mengenai tujuan adat pemakaian kumparan kuningan ini,
1. agar lebih menarik
2. agar tidak menarik
3. agar mencegah harimau untuk menerkam
4. agar melambangkan naga (figur penting dari cerita rakyat Kayan)
Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan muda sudah mulai mengeluarkan gulungan.
Suku Bagobo
Meruncingkan gigi adalah bentuk modifikasi tubuh yang sangat menyakitkan dimana perempuan dari beberapa suku di Asia Selatan telah melakukannya selama bertahun-tahun. Hal hal seperti ini dianggap yang paling utama saat dianggap sebagai kecantikan. Para wanita suku Bagobo di Mindanao, pulau paling timur Filipina, harus menghabiskan banyak waktunya untuk meruncingkan giginya dengan cara dipahat dengan bambu dan kayu...
Suku Mentawai
Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Enggano, mereka adalah pendukung budaya Proto-Melayu yang menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat. Daerah hunian warga Mentawai, selain di Mentawai juga di Kepulauan Pagai Utara dan Pagai Selatan. Suku ini dikenal sebagai peramu dan ketika pertama kali dipelajari belum mengenal bercocok tanam. Tradisi yang khas adalah penggunaan tato di sekujur tubuh, yang terkait dengan peran dan status sosial penggunanya.
Pakaian utama untuk pria adalah cawat dan mereka dihiasi dengan kalung dan bunga di rambut dan telinga mereka. Wanita memakai hal yang sama kecuali mereka mengenakan sepotong kain yang dililitkan di sekitar pinggang. Wanita mengenakan rompi kecil dan mereka mempertajam gigi dengan sebuah alat pahat untuk alasan estetika yaitu membuat gigi terlihat seperti ikan hiu. Tato dilakukan dengan jarum dan kayu yang menggedor jarum.
Laki-laki berburu babi hutan, rusa dan primata. Perempuan dan anak-anak mengumpulkan ubi liar dan makanan dari hutan lainnya. Hewan-hewan kecil yang diburu oleh wanita.Suku Mentawai memelihara babi, anjing, monyet dan kadang-kadang ayam sebagai hewan peliharaan.
Di bawah ini video dari seorang peneliti Inggris yang mengunjungi suku Mentawai di Indonesia untuk mempelajari lebih lanjut tentang ritual tubuh seperti tato dan peruncingan gigi. Ketika ditanya bagaimana dan mengapa para wanita suku mentawai menahan rasa sakit yang kadang sampai berhari-hari, jawabannya adalah sederhana: KECANTIKAN.