Senin, 04 Februari 2013

Beranda » » Kisah Lancang Kuning (Sebuah Kisah Mistis)

Kisah Lancang Kuning (Sebuah Kisah Mistis)

Hatta, bermula dari sebuah kerajaan besar yang berpusat di Bukit Batu, Bengkalis. Kebesaran dan kejayaan panji-panji kerajaan tersebut adalah berkat kerja keras serta kejujuran dan kecintaannya kepada seluruh rakyat yang dipegang oleh Datuk Laksamana Perkasa Alam yang dibantu dengan dua orang kepercayaannya. Panglima Umar dan Panglima Hasan.
Senyampang dengan perjalanan sang waktu, pada suatu ketika, dengan santun dan penuh hormat, Panglima Umar menyampaikan isi hatinya kepada Datuk Laksamana Perkasa Alam untuk menyunting Zubaidah, si bunga negeri.

Sambil tersenyum, Datuk Laksamana pun memberikan restu. Karena mengingat jasa-jasa Panglima Umar yang selama ini telah mengabdikan dirinya pada kerajaan dengan tanpa cacat maka, Datuk Laksamana bertekad akan menggelar perhelatan besar-besaranpada waktu pernikahan tersebut.

Alih-alih ikut berbahagia atas pernikahan sahabatnya, perhelatan besar itu membuat Panglima Hasan yang selama ini diam-diam menyimpan perasaan yang sama pada Zubaidah menjadi terbakar oleh dendam.

Siasat busuk pun langsung disusun. Dengan licik, Panglima Hasan mendatangi rumah salah seorang bomoh (dukun, peramal-pen) kerajaan yang bernama Domo untuk menyampaikan mimpinya kepada Datuk Laksamana agar membuat Lancang Kuning (perahu, kapal-pen) untuk mengamankan seluruh perairan dari lanun.
Mengingat kerajaannya memiliki perairan yang demikian luas, Datuk Laksamana pun langsung setuju dan memerintahkan agar Lancang Kuning segera dibuat. Waktu terus saja berlalu, menjelang Lancang Kuning usai dibuat, mendadak tersiar kabar bahwa Bathin Sanggoro, melarang keras para nelayan Bukit Batu untuk mencari ikan di wilayah kekuasaannya, Tanjung Jati.
Datuk Laksmana pun langsung memerintahkan Panglima Umar yang sebenarnya ingin mendampingi sang istri saat melahirkan anak pertamanya, akhirnya memutuskan untuk berangkat. Setelah mengarungi lautan selama beberapa hari, akhirnya, Panglima Umar beserta pasukan pilihannya menapakkan kaki mereka di Tanjung Jati.

Ketika kabar itu ditanyakan kepada Bathin Sanggoro, dengan cepat lelaki bertubuh kekar itu menyahut; “Tak ada niatan atau kata-kata terlontar yang menyatakan hamba melarang nelayan Bukit Batu untuk mencari ikan di Tanjung Jati”.

Kata-kata itu membuat Panglima Umar harus berpikir keras untuk mengurai makna yang terkandung di dalamnya. Ketika akan pulang, Bathin Sanggoro pun berbisik; “Panglima, tolong selidiki dari mana asal muasalnya berita tersebut”.

Dalam perjalanan pulang, Panglima Umar langsung berkeliling untuk mencari si pembuat berita bohong tersebut. Dan tak terasa, sebulan sudah ia dan pasukan pilihannya melanglangbuana.

Ketika malam purnama penuh, nun jauh di sana, semua penduduk dan pemuka kerajaan Bukit Batu berbanjar dengan tertib di tepi laut untuk menyaksikan peluncuran Lancang Kuning. Semua bergembira, kecuali, Zubaidah yang dengan setia menanti suaminya yang belum juga kembali dari menunaikan tugasnya.

Sementara itu, beragam keperluan yang berhubungan dengan peluncuran Lancang Kuning telah disiapkan dengan saksama. Upacara yang dimulai dengan tepung tawar pada dinding Lancang Kuning yang dilakukan oleh Datuk Laksamana dan dilanjutkan oleh Panglima Hasan lalu pengasapan akhirnya, semua yang hadir diminta untuk berdiri di samping Lancang Kuning.

Berbarengan dengan ingarnya bebunyian yang ditabuh, maka, semua yang memegang dinding Lancang Kuning diminta untuk mendorongnya ke laut lepas. Tetapi apa daya, walau dilkakukan berkali-kali, tetapi, Lancang Kuning tak juga bergeming dari tempatnya.

Dengan muka merah padam, Bomoh Domo datang bersembah pada Datuk Laksamana sambil berbisik; “Ampunkan hamba tuanku, Lancang Kuning ternyata meminta korban perempuan hamil sulung”.

Setelah termenung beberapa saat, akhirnya, terdengar suara lantang Datuk Laksamana; “Peluncuran Lancang Kuning ditunda sampai datang waktu yang tepat!”

Semua yang hadir, termasuk para pemuka kerajaan pun dengan tertib kembali ke rumahnya masing-masing.

Alih-alih kembali, Panglima Hasan yang sudah dirasuk rindu dendam malahan menemui Zubaidah. Perempuan yang waktu itu sedang merenung terkejut dan langsung bertanya; “Mengapa engkau kembali lagi Panglima Hasan?”

Jangankan menjawab, Panglima Hasan malahan balik bertanya dan merayu Zubaidah; “Apa yang kau tunggu dan harapkan Zubaidah. Panglima Umar tak mungkin pulang lagi, biarkanlah aku yang menjadi ayah dari anak yang tengah kau kandung itu”.

Zubaidah pun marah dan langsung menyergah; “Cis … tak sudi aku menjadi istri dari seorang pengkhianat!”

“Jika engkau masih menolak, maka, tubuhmu akan kujadikan gilingan Lancang Kuning yang akan diluncurkan ke laut”, sahut Panglima Hasan tak kalah sengit sambil memberikan tanda kepada beberapa begundal setianya.

Apa daya tenaga seorang wanita yang tengah hamil tua. Dengan mata tertutup, Panglima Hasan langsung mendorong tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning dan memerintahkan para begundalnya untuk mendorong perahu besar tersebut ke laut lepas.

Ajaib … walau hanya didorong oleh beberapa orang saja, Lancang Kuning berhasil masuk ke laut lepas dengan meninggalkan tubuh Zubaidah yang berserakan di tepian pantai.

Berbarengan dengan lunas Lancang Kuning menyentuh air laut, cuaca yangbsemula benderang sontak berubah. Hujan mendadak turun bak ditumpahkan dari langit disertai dengan petir yang berlompatan dan angin yang menderu.

Sementara itu, Panglima Umar mulai merapat ke Pelabuhan Bukit Batu.

Tanpa berlama-lama, Panglima Umar pun segera melangkah pulang untuk menemui istrinya. Jangankan melontarkan kata ungkapan pelepas rindu, yang didapati hanyalah rumah kosong belaka.

“Jangan-jangan Zubaidah menantiku di pelabuhan”, demikian bisik hati Panglima Umar yang langsung melangkah menuruti kata hatinya. Tak lama kemudian ia bertemu dengan Panglima Hasan yang menceritakan bahwa Zubaidah telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksamana.

Tanpa banyak tanya, Panglima Umar langsung ke tepian pantai yang menjadi tempat peluncuran Lancang Kuning. Ya … dengan perasaan tak menentu ia melihat serakan daging dan tulang sang istri tercinta.

Disapunya darah yang belum sempat mengering di tanah dan diusapkannya ke wajahnya sambil berkata dengan lantang; “Aku akan membuat perhitungan pada Datuk Laksamana!”

Belum lama melangkah, Panglima Umar melihat Datuk Laksamana berjalan ke arahnya. Tanpa banyak tanya, Panglima Umar yang sudah dirasuki dendam langsung menghujamkan pedangnya ke perut Datuk

Laksamana yang langsung tewas seketika. Pada helaan napas yang ketiga, datang Pawang Domo yang menceritakan kejadian sebenarnya. Bergegas Panglima Umar pun langsung mencari musuhnya, PanglimamHasan.

Dari kejauhan, tampak Panglima Hasan telah bersiap-siap untuk melarikan diri dengan menggunakan Lancang Kuning.

Tetapi sayang, belum tali tambat terlepas, Panglima Umar telah berhasil mendekati dan berkata dengan lantang sambil menghunus pedangnya; “Malam ini, siapa di antara kita yang akan mati dengan disaksikan oleh seluruh penduduk negeri!”

Saling serang pun terjadi hingga akhirnya bagian perut dan dada Panglima Hasan berhasil tergores dengan dalam oleh pedang Panglima Umar. Perlahan, tubuh itu mulai lunglai, berlutut dan akhirnya terjatuh ke laut lepas.

“Aku tak mungkin kembali ke Bukit Batu karena telah membunuh Datuk Laksamana akibat fitnah keji Panglima Hasan yang juga baru saja kubunuh … karena itu, aku akan pergi selama-lamanya dengan menggunakan Lancang Kuning!”, demikian kata Panglima
Umar dari atas Lancang Kuning yang mulai bergerak perlahan ke tengah laut.

Menurut tutur, ketika sampai di Tanjung Jati, Lancang Kuning disapu oleh angin puting beliung hingga karam. Panglima Umar dan Lancang Kuniung terkubur di tengah laut, sementara, kerajaan Bukit Batu pun mulai mundur dan akhirnya hilang ditelan zaman kecuali beberapa keluarga saja.