Kamis, 07 Februari 2013

Beranda » » Kriwikan dadi Grojogan [4]

Kriwikan dadi Grojogan [4]

Radèn Pabelan melakukan semua petunjuk dari Tumenggung Mayang, dan tembok Baluwerti kaputren diraba dengan tangan kanannya dan menjadi terbelah, selebar orang yang masuk, tembok terhempas ditanah seperti daun pisang.
Raden Pabelan sudah berada di dalam kaputren, dan tembok yang roboh itupun kembali tegak dan utuh seperti sediakala. Kemudian tembok itu diraba oleh Tumengung Mayang, tetapi mengunci dari mantra sebelumnya, sehingga tidak mungkin anaknya nanti bisa keluar dari kaputren.
Sang dyah Mutèningrum putri Sekar Kedaton, mendengar isyarat suitan burung malam, segera bergegas membuka pintu sengkeran, ia berdiri di tengah halaman, karena situasinya gelap.
Sementara itu raden Pabelan masih berdiri di balik pohon pucang. Jantungnya berdegup keras dan hatinya gembira bisa bertemu dengan orang yang dicintainya, meskipun sang retna belum mengenalnya.
Pabelan segera merunduk mendekati sang putri, ia sendiri tidak ingin membuat tuan putri menjerit kaget, sebab bisa merusak rencana bahkan belum menikmati hasilnya sudah menerima hukuman pancung.
Ketika mengendap semakin mendekat, sang putri menyapa ” siapakah gerangan yang ada disitu”.
“hamba tuan putri, aku orang luar, anak Tumenggung Mayang, masuk kaputren dengan cara mengendap-endap, hanya ingin mengabdi tuan putri “.
Sang putri kemudian menggapai tangan Raden Pabelan yang bersembah pada putra raja. Sebenarnya dalam tatakrama kerajaan, tak seorangpun dari luar puri yang tidak mendapatkan ijin dari Raja atau permaisuri, tidak akan berani menginjakkan kaki di halaman puri kaputren. Karena bisa mendapatkan hukum mati. Dalam hati Raden Pabelan juga masih was-was, tetapi karena tuan putri sudah memegang tangannya, ini sebagai pertanda mendapatkan ijin untuk masuk kedalam kaputren.
Sang retna mengajaknya masuk kebangsal kaputren, karena diluar bisa diketahui oleh penjaga. Raden Pabelan berjalan di belakang sang putri karena masih kikuk dan juga takut salah, tetapi sang retna justru menarik tangan kanan raden Pabelan.
Keduanya berjalan seiring, sambil membicarakan awal perkenalan, sesekali ada tawa kecil. Kemudian memasuki bangsal kaputren, dan pintupun ditutup. Sang putri mempersilahkan duduk. Raden Pabelan kemudian berkata dengan suara yang pelan ;” hamba merasa berdebar-debar tuan putri, mohon ampun “
Dengan menunduk malu sang putri mempersilahkan raden Pabelan untuk masuk ke dalam puri kaputren. Sang putri terobati sudah, selama ini yang dinanti-nantikan sudah ada di hadapannya. Keduanya terdiam beberapa saat, tak satu katapun keluar dari mulut mereka berdua, bingung bercampur gugup, karena baru pertama kali. Meski dalam surat menyurat, sudah berkali-kali.
Sang putri sudah menyadari bahwa pada waktu malam hari, pintu puri kaputren tidak boleh dibuka, maka segera tersadar dan mempersilakan raden Pabelan untuk masuk ke bangsal kaputren. Orang-orang yang ada di dalam puri kaputren sudah tidur semua, adapun sang retna Murtiningrum, karena sejak pagi sudah memberi surat pada Raden Pabelan, maka ia siap menanti kedatangannya, tidak ada rasa kantuk, bahkan badannya menjadi semakin bugar karena semangat untuk bertemu dengan orang yang didambakannya.
boten nedya awak ulun, kamipurun sang Kusuma ayu, mirah kawula ratu Mas, kang abdi ngèstupada ingaras kusumaningrum” (bukan maksud hamba tuan putri untuk kurangajar pada tuan putri, hamba menghaturkan sembah dan ingin mencium kaki paduka). Pabelan melancarkan rayuannya seraya mendekap pergelangan kaki sang putri dan akan mencium kakinya.
Tetapi sang Retna mencegah Raden Pabelan melakukan sembah layaknya seorang hamba mencium kaki sang putri Raja. Pertemuan malam itu menjadi semakin akrab, dan Pabelan semakin berani memegang tangan tuan putri dan mencium punggung tangannya, kemudian memandangi wajah sang putri sambil bertanya “ tuan putri kira-kira ada yang tahu apa tidak, hamba berada di dalam kaputren ini ?”
Tuan putri tidak menjawab, tetapi mencubit paha raden Pabelan.
Raden Pabelan dalam hal membaca pikiran wanita sudah lebih berpengalaman, melihat gelagat tuan putri yang sudah semakin berani, ini memberikan isyarat sang retna sudah menyerah. Segera sang putri, dirangkul dan dipondong ke dalam krobongan [1].
Begitulah kedua orang yang sedang dimabok cinta melepaskan kerinduannya. Bagi sang retna dyah ayu Murtiningrum, belum pernah disentuh oleh seorang pria. Maka bagaikan harimau yang kelaparan, tanpa basa basi lagi, sang putri menyambut hangat serangan raden Pabelan.
Jurus demi jurus tidak ada yang terlewatkan. Usia sang putri sudah 30 tahun, sudah matang dan dewasa, di arena pergumulan cinta sudah tidak nampak lagi batas sekat etika. Di situlah manusia menunjukkan hak azasinya yang paling tinggi dengan kebebasan yang se bebas-bebasnya. Tidak ada aturan yang mampu menghentikannya, tidak ada sebuah perintah yang mampu membatalkan tindakannya. Kedua orang itu sudah sama-sama memegang prisip kebebasan mutlak.
Dunia seakan hilang dari pandangan matanya, bahkan agaknya yang hidup di dunia hanyalah mereka berdua. Bahkan jika ada orang lain yang memperhatikanpun tidak digubris lagi. Dunia ada di dalam genggaman tangannya.
Begitulah yang sedang melakukan perang tanding mengadu kepandaian dan kemampuannya, saling memukul dan menangkis. Sesekali mengeluarkan jurus yang dahsyat.
Peluh yang keluar dari pori-pori semakin deras karena mendekati puncak energi, keduanya mengeluarkan jurus pamungkasnya dan bagaikan dentuman air pasang yang menghantam pantai, byur, dan keduanya tergeletak tak berdaya.
Mata terasa penat, kepala terasa pusing berputar-putar, deru nafas yang menggelegak menjadi berangsur-angsur mereda dan semakin halus, pandangan mata menjadi kabur, suara semakin menjauh dan menghilang.
Sastra diguna