Sabtu, 23 Februari 2013

Beranda » » Mencerna Peradaban Gemilang yang Terabaikan

Mencerna Peradaban Gemilang yang Terabaikan

1332062688369584108
Entah apa yang terbersit di benak Stephen Oppenheimer saat tiga belas tahun lampau meluncurkan bukunya yang berjudul Eden in The East. Gagasannya menghentak dunia karena menyatakan bahwa peradaban dunia bermula dari kawasan Asia Tenggara. Dengan kata lain, Sundaland atau Paparan Sunda yang dulunya adalah sebuah benua besar di kawasan Nusantara dan Asia Tenggara merupakan cikal bakal peradaban kuno yang lantas menyebar ke daerah Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina.

Argumentasi ini bukannya tanpa alasan. Melalui penelitian komprehensif dan ditunjang berbagai temuan purbakala di wilayah tersebut, Oppenheimer bisa menyimpulkan bahwa di tempat kita berdiri sekarang dulunya berdiri peradaban agung yang merupakan leluhur kebudayaan Timur Tengah. Ironisnya, banjir besar menyapu dan meluluhlantakkan kebudayaan Asia Tenggara. Fenomena alam akibat pencairan es kutub ini membuat permukaan air laut naik dan menceraiberaikan Paparan Sunda menjadi pulau-pulau terpisah, seperti Jawa, Sumatra, Bali, dan Kalimantan.
Pendapat peneliti asal Oxford University ini justru melawan logika prasejarah yang diyakini umum. Oppenheimer memang seperti Copernicus dan Galileo di abad pertengahan yang hipotesisnya seolah membentur dinding hegemoni kekuasaan. Terjadilah kontroversi dan perdebatan. Tapi tentunya nasib dokter ahli genetik itu tak setragis Copernicus atau Galileo. Dia pun tak perlu meminum racun demi pengetahuan yang diyakininya seperti Socrates. Sebab ternyata rekonstruksi prasejarah yang dia munculkan mendapat dukungan dari beberapa ahli. Salah satunya dari Aryso Santos.
Melalui penelitian selama tiga puluh tahun, Profesor asal Brazil itu menguatkan pendapat Oppenheimer dengan membuat kesimpulan bahwa Atlantis yang hilang adalah Sundaland atau wilayah Indonesia saat ini. Atlantis sendiri merupakan benua rekaan filsuf Plato yang didiami oleh masyarakat dengan tingkat peradaban mengagumkan. Meski banyak pihak meragukan keberadaan Atlantis sebagai mitologi belaka, namun temuan teknologi prasejarah di Asia Tenggara kian menguatkan rekonstruksi Oppenheimer.
Tak cuma itu, penelitian terakhir yang dilakukan Tim Katastrofik Purba bentukan Staf Khusus Kepresidenan terhadap situs batu besar di kawasan Gunung Padang Cianjur juga mengukuhkan teori Oppenheimer. Berdasarkan pengeboran dan analisis karbon terkuak bahwa keberadaan bangunan punden berundak itu sudah ada sejak 10.000 tahun sebelum masehi. Ini berarti jauh melampaui usia piramida kuno di Mesir dan peninggalan purba lainnya. Lebih dari itu, ternyata bangunan Gunung Padang dibangun dengan teknologi yang mumpuni di jamannya. Arsitektur anti gempa dan konsep mitigasi bencana alam lainnya adalah sebagian buktinya.
13320628791006258175
Informasi situs megalitikum yang berada di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Cianjur ini segera mengusik rasa penasaran saya untuk mengunjunginya. Demi melunaskannya, saya mengontak beberapa rekan yang hobi travelling. Seorang kawan dari komunitas pecinta sepeda setuju menjadi penunjuk jalan. Teman saya ini memang terbiasa bertualang bersama anggota komunitasnya ke berbagai tempat di Pulau Jawa. Lantas kawan lain yang saya kenal dari Forum Backpacker Indonesia juga berminat untuk bergabung. Sayangnya, rekan lainnya semasa kuliah di ITB yang dulu mengambil jurusan Teknik Geologi tidak bisa saya kontak. Padahal saya sangat berharap kehadirannya bisa memberikan pencerahan dari sudut pandang keilmuannya.
Sabtu pagi, 10 Maret 2012, memang masih belum terlalu terang ketika saya memacu kendaraan di tol Jagorawi menuju Cianjur. Tak seperti biasanya, perjalanan kali ini saya tidak menumpang kendaraan umum dan lebih memilih menggunakan mobil pribadi. Sebab menurut informasi lokasi Gunung Padang tidak terlalu jauh dari Jakarta. Medannya juga bisa dicapai dengan kendaraan sekelas sedan. Makanya tanpa ragu anak saya yang masih berumur lima tahun pun aku ajak menyambangi situs Megalitik terbesar di Asia Tenggara ini. Hitung-hitung sekalian mengenalkan peninggalan masa lalu semenjak dini.
Lepas pintu tol ciawi kami langsung meniti tiap kelokan Jalan Raya Puncak yang dulunya dibangun Gubernur Jenderal Daendels. Sesekali aliran lalu lintas terasa melambat saat bertemu kerumunan pasar tumpah. Seperti biasa menelusuri kawasan Puncak ialah menikmati kesejukan kebun teh dan hutan cemara yang mulai dirusak oleh beton-beton villa yang tumbuh tak beraturan. Apalagi saat mendung masih menggantung di langit pagi dan kabut pun turun perlahan dari perbukitan. Saya mematikan pendingin udara dan membuka kaca jendela mobil. Terasa angin dingin menjilati kulit wajah kami.
Tak berapa lama sampailah kami di Kota Cianjur. Rekan saya menunjuk jalur ke arah selatan. Sekira dua puluh kilometer dari kota, saya membelokkan mobil menyusuri jalan kecil yang awalnya beraspal bagus. Tulisan di pinggir jalan memberitahukan kalau Gunung Padang masih dua puluh kilo meter lagi. Galibnya di musim hujan, ternyata hampir 50 persen kondisi jalannya rusak. Di beberapa tempat sedan Mazda yang saya kendarai terpaksa berjalan sempoyongan di antara kubangan dan aspal yang terkelupas.
13320630651913849736
Matahari masih sepenggalah dan teman saya tiba-tiba berucap, “Kita mampir dulu di Lampegan.”
Barangkali tak ada yang istimewa dari tempat bernama Lampegan kecuali terowongan tua yang dibangun lebih dari seabad silam. Berulang kali terowongan ini runtuh dan perbaikannya juga telah dilakukan berkali-kali. Kini rongga buatan yang menembus perbukitan sejauh 415 meter terlihat rapi sehabis renovasi dua tahun lalu. Namun PT Kereta Api tampaknya belum menghidupkan kembali jalurnya meskipun infrastruktur sudah siap sedia. Akibatnya terowongan dan bangunan stasiun yang berdiri tak jauh darinya pun dihinggapi kesunyian. Tak jarang kanak-kanak justru memakainya sebagai tempat bermain.
Rehat sejenak di sekitar stasiun Lampegan membuat kami bersemangat. Beberapa kali kami bertemu beberapa komunitas sepeda yang tiada lelah menggenjot demi mencapai situs megalitikum. Dari sini menuju situs Gunung Padang adalah menelusuri jalanan beraspal yang berkelok-kelok. Kami menyisir punggung bukit yang dibingkai oleh hijaunya kebun teh sepanjang sisi jalan. Rangkaian pegunungan menjulang terlihat mengintip di kejauhan. Kembali saya membuka lebar-lebar jendela mobil. Sekali lagi angin pegunungan yang sejuk menyapa kami seolah berbisik, “Selamat datang di Gunung Padang.”
Gerbang masuk Gunung Padang seakan mengingatkan saya pada gapura kebun binatang purbakala Jurassic Park. Setelah berjalan kaki beberapa jenak dari tempat parkir, kami menemui loket yang serupa tempat penjualan tiket. Namun tak perlu karcis untuk memasuki situs ini. Menurut penjaga loket belum ada peraturan daerah yang menetapkannya, sehingga kami hanya dipungut retribusi seribu rupiah untuk kas desa dan pemeliharaan situs. Saya tercenung. Apalah arti seribu rupiah dibandingkan nilai historis dan kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya. Begitu murahkah kita menghargai sejarah?
Mengunjungi lokasi prasejarah batu besar ini seakan menziarahi suatu tempat suci. Konon di tempat inilah masyarakat purba melakukan ritual agamanya. Tak heran di awal pendakian terdapat sumur purba yang dipercaya sebagai tempat membasuh diri sebelum menuju teras pemujaan. Masyarakat sekitar menamainya Sumur Cikahuripan atau Sumur Kehidupan yang bermakna sebagai Banyu Susuk Tunggal. Artinya, pembersihan jiwa raga untuk menancapkan diri pada yang Esa. Tak terlalu jelas apakah filosofi ini murni ada semenjak jaman prasejarah atau baru muncul setelah peradaban modern monoteisme.

1332063244599756262

Selanjutnya kami disergap tumpukan batu andesit yang membentuk ratusan anak tangga. Ketinggian dan kemiringannya nyaris membuat kami jeri. Tetapi demi menyaksikan semangat anak saya yang tak kenal lelah berjalan menggapai puncak, maka kami semua tersuntik semangatnya. Meski stamina senen kemis, akhirnya saya mencapai puncak dengan nafas tersengal-sengal. Terpikir bagaimana masyarakat purba harus berjuang begitu rupa untuk mencapai tempat persembahyangannya. Andai ini diaplikasikan di jaman sekarang, saya jamin pastilah tempat ibadah lebih sering melompong.
Memasuki teras pertama kami melewati pintu masuk yang sering disebut Pambuka Lawang alias Pintu Pembuka. Di tingkatan ini terdapat beberapa area penting yang kaya filosofi yaitu Piramida dan Mahkota Dunia. Orang menamai Piramida karena konstruksinya menyerupai bangunan kerucut Mesir. Menariknya di bagian depan berdiri miring dua batu yang seolah membungkuk ke arah Gunung Gede. Hal ini memperkuat dugaan tentang sistem kepercayaan mereka di masa lalu. Menurut peneliti arkeologi Lutfi Yondri yang dikutip oleh Harian Kompas, Gunung Gede memang lazim dijadikan patokan bangunan suci dan puncak tertinggi tempat tinggal para leluhur. Apalagi tempat pemujaan ini pun menghadap lurus ke Gunung Gede.
Meskipun masih satu tingkat dengan Piramida, Mahkota Dunia terletak agak ke atas. Tempat ini ditandai oleh empat batu menhir yang tegak berdiri. Untuk mencapainya, pengunjung harus menaiki lima undakan dari area Piramida. Nanang, seorang Juru Pelihara Situs Gunung Padang, mengungkapkan bahwa tempat ini ialah pralambang sikap sosial manusia yang merupakan kehormatan dunia. Karena itu, di dekatnya berdiri batu lumbung tempat mereka merealisasikan jiwa sosialnya.
Selain itu di teras pertama ini terdapat pula tempat musyawarah yang dilengkap batu dolmen serupa altar. Tak jauh darinya berjajar dua batu yang memiliki suara nyaring jika diketuk. Orang-orang menyebutnya batu gamelan karena menghasilkan nada-nada pentatonis seperti perangkat musik Sunda. Peneliti Hokki Sitongkir mengakui tangga nada yang dihasilkan bebatuan Gunung Padang kerap dipakai dalam musikalisasi modern. Bukan tidak mungkin tradisi megalitik ini telah mengenal instrumen musik. “Bebatuan tersebut seolah menjadi sebuah alat musik litofonik purba,” ujar ilmuwan dari Bandung Fe Institute pada diskusi di Gedung Krida Bakti beberapa waktu lalu.
1332063342439049133
Tak terasa kami memasuki teras kedua. Memang tak ada penanda khusus sebagai batas antar teras. Di tingkatan ini terdapat dua area penting, yakni batu lumbung dan batu kursi. Seperti penjelasan sebelumnya, batu lumbung merupakan tempat masyarakat purba menyerahkan sumbangannya. Sementara itu batu kursi yang menyerupai bangku duduk ditengarai sebagai ruang musyawarah sang pemimpin. “Mungkin mereka membicarakan hasil sumbangan dari batu lumbung itu,” ucap Nanang kepada kami.
Di teras berikutnya kami menemui artefak berupa dua batu berukirkan kujang dan telapak maung atau harimau. Letak keduanya berjauhan. Batu kujang berada tepat di pusat situs Gunung Padang dan di depannya berdiri satu ruangan berjuluk Keramat Tunggal. Sebagai senjata tradisional rakyat Sunda, Kujang senantiasa dipegang erat oleh pemiliknya. “Oleh sebab itu, batu kujang itu sendiri memiliki pralambang bahwa seseorang mesti menggenggam sendiri keyakinannya,” tutur Juru Pelihara situs yang sudah mengabdi bertahun-tahun ini. Barangkali karena posisinya di tengah-tengah situs, Keramat Tunggal dan Batu Kujang sering dianggap sebagai hatinya Gunung Padang.
Sementara itu Batu tapak maung memiliki jumlah telapak sembilan. Kabarnya hal tersebut mewakili bilangan sembilan yang istimewa. Beberapa keunikan terkait angka memang menyeruak di tempat ini. Dominasi penggunaan angka lima menjadi sesuatu yang tidak biasa. Entah kebetulan atau tidak Gunung Padang memiliki lima buah teras dengan lima undakan. Disamping itu hampir 90% batuan penyusunnya berbentuk pentagonal (segi lima). Bahkan situs ini pun dikelilingi oleh lima buah gunung dan menghadap ke arah lima gunung di depannya.
Siang sudah berada di puncak kulminasi tatkala kami melihat beberapa anak sekolah mengerumuni batu andesit sebesar tas punggung. Salah satu tampak memeluk dan mencoba mengangkatnya sementara yang lain bersorak sorai menyemangati. Namun batu itu seperti lengket dengan tanah. Berkali-kali mereka berganti mengangkatnya tapi batu itu tetap tak bergeming. Bahkan salah satunya sampai mengeluarkan kentut gara-gara terlalu bersemangat mengangkat. Konon siapa yang bisa mengangkat batu gendong yang terdapat di teras keempat ini segala cita-cita dan harapannya bakal tercapai.
Namun sebenarnya tidak sesederhana itu. Nanang mengemukakan bahwa Batu Gendong mengandung filosofi bahwa jika seseorang sudah mampu menggendong (menjalani) beragam pelajaran hidup dari teras pertama hingga keempat, maka dia dapat menuju teras kelima demi menggapai kesempurnaan. “Jadi tidak semudah hanya dengan menggendong batu saja.” Dari sisi spiritual, Batu Gendong juga sering dimaknai sebagai Balung Tunggal yang berarti keagungan untuk Yang Esa. Namun, kelihatannya paham ini baru muncul setelah budaya monoteisme menghinggapi wilayah berpikir masyarakat Sunda.
13320634383044301
Sepasang muda mudi yang sedang memadu kasih di Batu Pandaringan segera menyingkir karena terusik kehadiran kami. Akhirnya kami mencapai teras paripurna. Di tempat inilah terdapat Singgasana tempat peristirahatan dan Batu Pandaringan atau pembaringan tempat berdoa. Lutfi Yondri memperkirakan bahwa di teras ini hanya boleh ditempati oleh pemimpin agama tertinggi. Menurut peneliti dari Balai Arkeologi Bandung yang dikutip oleh Kompas, Gunung Padang ini dirancang dengan memperhatikan secara seksama aspek astronomis. Mereka membangun teras dengan pertimbangan rasi bintang serta perjalanan matahari dan bulan dengan orientasi tegak lurus ke arah Gunung Gede.
Bagaimanapun juga berdoa atau bermeditasi dari Batu Pandaringan memungkinkan orang leluasa menatap Gunung Gede yang terbentang lurus di depan mata. Kabarnya akibat pengaruh benda-benda langit menjadikan tempat ini menyimpan energi yang maha kuat. Nanang mengatakan bahwa hal ini bisa dibuktikan dengan mengecek sinyal alat telekomunikasi. Teman saya sontak melirik layar Blackberry-nya dan mengatakan sinyalnya full HSDPA. Saya sendiri celingukan ke kiri kanan dan tidak menemukan menara Base Transceiver Station sebagai penguat sinyal. Luar biasa!
Fenomena mencengangkan lainnya dari Gunung Padang ialah konstruksi bangunan yang lekat dengan konsep mitigasi bencana alam. Hal ini diakui salah satu anggota Tim Katastrofik Purba yang juga seorang arsitek, Pon Purajatnika, yang dikutip oleh Kompas. Penemuan hamparan pasir peredam gempa, pembuatan tembok batu penahan longsor di sekeliling bangunan, penyusunan batu dengan sedikit rongga, dan pembuatan anak tangga yang tidak mengubah kontur tanah, serta pemilihan tempat yang terlindung dari tiupan angin kencang adalah beberapa bukti kecermatan sang pembuat.
Dalam materi presentasi yang saya dapatkan langsung dari pihak Staf Ahli Kepresidenan, Purajatnika memperkirakan bahwa area inti Punden Berundak Gunung Padang mampu menampung sedikitnya 750 orang dengan kapasitas maksimum 1500 orang. Dengan zona seluas 3000 meter persegi pastinya pembangunan situs purba ini bukanlah sesuatu yang mudah di jamannya. Pekerjaan ini tentu melibatkan ribuan orang dari mencungkil batu, membelah dan membentuknya, mengangkut hingga mengaturnya menjadi susunan yang mengagumkan. Bisa jadi ini menjadi torehan tersendiri dari perjalanan bangsa yang sungguh menghormati arwah leluhur dengan paduan budaya gotong royong yang sangat kental.
13320635741810399815

Setelah terbengkalai berabad-abad lamanya, barulah penelitian terakhir ini mampu menyingkap banyak hal terkait keberadaan bebatuan besar di Gunung Padang. Tetapi tak dipungkiri bahwa masih banyak misteri yang terpendam di situs ini untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut. Pengabaian tempat bersejarah ini memang terjadi sejak tahun 1914 hingga 1980 ketika Puslit Arkenas memulai penelitian Gunung Padang. Sudah selayaknya situs yang mengandung nilai-nilai historis dan budaya prasejarah ini dilestarikan dan dilindungi.
Sayangnya seringkali ketidaktahuan masyarakat berpotensi merusak keberadaan situs ini. Para pengunjung tampak demikian leluasa menjelajah ke seluruh area. Boleh jadi mereka iseng memindahkan batuan yang menjadi saksi bisu peradaban purba. Belum lagi sampah yang berserakan dan juga ancaman vandalisme seiring meningkatnya jumlah wisatawan. Beberapa kali pembicaraan kami dengan Nanang salah satu juru pelihara situs harus terpotong karena yang bersangkutan mesti menasehati beberapa pengunjung yang bertingkah laku merusak situs. Bahkan sesekali kami turut memunguti sampah yang dibuang sembarangan oleh mereka.
Meletakkan seluruh tanggung jawab kelestarian pada juru pelihara situs tentu bukanlah hal yang bijaksana. Tampaknya pemerintah harus mengambil langkah kongkrit untuk melakukan zonasi dan pembatasan akses terhadap situs Gunung Padang. Penambahan papan petunjuk di lingkungan situs akan sangat membantu pengunjung. Di samping itu perbaikan infrastruktur haruslah menjadi perhatian utama. Akses jalan menuju lokasi tampaknya perlu mendapat perhatian serius. Alternatif untuk mengaktifkan kembali jalur kereta wisata Bandung – Cianjur – Lampegan juga layak dipertimbangkan.
Pengenaan tiket resmi yang sesuai standar konservasi dan pemeliharaan situs sejarah adalah sebuah keharusan. Meski saat ini pemerintah daerah sudah membangun prasarana bagi wisatawan, namun beberapa fasilitas umum di sekitar situs tampaknya perlu diadakan. Shelter harus ditambah dan toilet umum mesti dibangun. Sebab dengan begitu anak saya tak harus kelimpungan menuruni situs hanya sekedar untuk buang air.
1332064927614315200
Sore bergerak perlahan saat saya dan rombongan meninggalkan situs prasejarah. Terngiang ucapan Nanang yang seharian sudah menjadi guide kami, “Menurut kepercayaan, siapa pun yang pernah berkunjung ke tempat ini pasti memiliki keterkaitan dengan leluhur Gunung Padang.” Tak apalah. Bagaimanapun juga saya sangat bangga memiliki leluhur yang berperadaban cerdas.
Dan malamnya anak saya minta didongengi tentang Gunung Padang. Sayapun bercerita tentang kebudayaan purba yang begitu memukau. Tentang nilai-nilai keluhuran masa lalu. Mengenai pengetahuan akan teknologi. Terkait pula dengan nilai-nilai kepemimpinan, semangat kebersamaan, persatuan dan kesatuan, serta kegotong-royongan.
Biarlah otaknya yang sederhana mencerna peradaban nenek moyangnya yang demikian gemilang.

Budhi Kusumah Wardana1332063835406507403