Rabu, 13 Februari 2013

Beranda » » Perkampungan Tradisional Tumori, Jejak Kemegahan Bangsawan di Masa LampauPerkampungan Tradisional Tumori, Jejak Kemegahan Bangsawan di Masa Lampau

Perkampungan Tradisional Tumori, Jejak Kemegahan Bangsawan di Masa LampauPerkampungan Tradisional Tumori, Jejak Kemegahan Bangsawan di Masa Lampau


13607178892136899470
Barisan Rumah Adat di Perkampungan Tradisional Tumori

Tiga puluh menit berkendara dari Bandar Udara Binaka menuju Gunungsitoli bagian barat, kita akan menemukan sebuah perkampungan tradisional bernama desa Tumöri yang terletak di kecamatan Gunungsitoli Barat. Nama Tumöri berasal dari nama sebuah pohon raksasa yang ditemukan oleh pendirinya di masa lampau. Diperkampungan tradisional ini kita dapat menjumpai 10 rumah adat khas Nias bagian Utara yang berusia antara 50-120 tahun. Awalnya terdapat 21 rumah adat di desa ini, namun 9 buah dirubuhkan oleh para ahli warisnya akibat adanya perselisihan antar sesama ahli waris serta ketidaksanggupan akan biaya pemeliharaan (mengingat biaya pemeliharaan rumah adat ini sangat besar), sementara 2 lainnya yang memang sudah berusia sangat tua roboh akibat gempa pada tahun 2005 yang lalu.
1360718155860662771
Salah satu rumah adat yang berdiri kokoh di puncak desa Tumori

Perkampungan tradisional ini dulunya adalah sebuah Öri (secara harafiah berarti cincin, lingkaran, dan selanjutnya disebut sebagai sekelompok desa), kelompok desa yang dimiliki oleh rumpun marga yang sama yang merupakan sebuah unit teritorial. Hal ini dibuktikan oleh hampir keseluruhan penduduk yang berada di desa ini dan juga desa sekelilingnya bermarga Zebua. Desa tersebut adalah Tumöri O’o, Orahili Tumöri, Tumöri Gada, Tumöri Balöhili, Sihare’ö Siwahili and Lölömoyo Tuhemberua.
Orang-orang di desa Tumöri terlihat sangat berbeda dengan orang-orang Nias pada umumnya, terutama dari fisik dan adat budayanya layaknya keturunan para bangsawan pada umumnya. Rata-rata orang Tumöri berkulit putih bersih dan rupawan. Bahkan sampai ada lagu berjudul Mado Zebua yang diciptakan khusus untuk memuja eloknya paras para Mado Zebua ini. Perbedaan juga terlihat dari adat dan budaya mereka yang masih ketat dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Hampir semua orang Nias mengakui bahwa orang-orang di desa Tumöri sangat ketat dengan adatnya, terkenal dengan nilai jujurannya yang besar dan banyak mengorbankan babi untuk pesta-pesta yang dilakukan khususnya pesta pernikahan. Sehingga bukan suatu hal yang mengejutkan bila banyak anak-anak muda yang pesimis dan bahkan putus asa untuk menikahi gadis-gadis cantik Tumöri ini. Hal-hal tersebut menandakan bahwa jejak kemegahan para bangsawan benar-benar ada di Tumöri.
Viaro and Ziegler (Traditional Architecture of Nias Island) mengatakan bahwa organisasi sosial sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat Nias di masa lampau. Baru diikuti oleh keluarga besar yang mencakup keluarga inti. Tingkatan dalam organisasi sosial ini dipuncaki oleh kelompok sistem sosial yang disebut sebagai “bangsawan”, tingkatan yang menganggap atau dianggap mereka memiliki kasta yang tertinggi diantara rakyat jelata dan budak di masa itu.
Setiap orang Nias mewarisi marga dari para nenek moyangnya yang jika bukan dongeng, setidaknya dikisahkan sebagai sebuah mitos. Ketaatan dalam mewarisi mado ini ditegaskan oleh fakta yang menyatakan bahwa setiap orang Nias mengetahui marganya dan silsilah yang berhubungan dengan hal tersebut. Orang Nias selalu meletakkan mado setelah namanya, terutama ketikan berhubungan dengan orang di luar desanya. Mado atau kaum yang paling bergengsi adalah yang mengaku sebagai keturunan langsung dari nenek moyangnya, nenek moyang yang menabalkan nama mado tersebut.
Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa Tumöri merupakan sebuah Öri dan bagian dari kemegahan para bangsawan di masa lampau dapat semakin dipertegas dari penjelasan berikut ini. Öri setara dengan wilayah mayoritas marga. Pendirian Öri disahkan melalui upacara Fondrakö yang merupakan sebuah pesta untuk pengesahan hukum adat, membentuk pertahanan dan persatuan ekonomi. Dalam acara Fondrakö inilah pemimpin dari öri (banua) yang baru dibentuk. Masing-masing desa memiliki pemimpin, namun di dalam öri ini semua pemimpin desa tidak memiliki status yang sama. Pemimpin dari marga tertua memiliki posisi yang lebih tinggi, bisa sebagai tuhenöri atau sanuhe, yang merupakan seseorang yang berada ditingkatan atas dan biasanya desa yang dipimpinnya merupakan pusat dari öri tersebut. Para pemimpin secara hirarkhi disusun berdasarkan usia desa mereka dan tingkatan yang diperoleh dari pesta besar yang telah dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa pesta menjadi salah satu acuan dalam peringkatan posisi dalam adat. Pesta dilakukan untuk menetapkan, menegaskan atau menaikkan tingkatan seseorang. Untuk menjaga posisinya, seseorang harus melaksanakan pesta sepanjang hidupnya. Dia harus melakukannya dalam situasi berikut: Pesta pernikahannya, pada saat kematian ayah atau ibunya, saat mendirikan rumah (di dalam desa), untuk menandai pembuatan ornamen emas untuk istrinya atau dirinya sendiri, juga untuk pernikahan putrinya. Pesta seperti ini masih dilakukan dengan baik di Tumöri secara adat. Bahkan pada bulan Januari 2013 yang lalu, tokoh-tokoh adat Tumöri telah melaksanakan pesta “Fanaru’ö Banua” (pembentukan banua/ikatan adat). Terdapat dua ikatan adat yang dibetuk pada saat itu.
1360717994562156460
Pastor Johannes Hammerle (Pendiri Museum Pusaka Nias) saat berkunjung di Tumori

Kemauan dalam melestarikan warisan budaya dan tradisi dari orang-orang Tumöri layaklah dicaungi jempol dan diberikan penghargaan sebagai desa warisan budaya dunia. Para pengunjung akan disambut dengan ramah di desa ini, hal ini ditunjukkan dengan banyaknya wisatawan lokal dan asing yang sering berkunjung ke desa ini untuk menyaksikan dari dekat dan mendokumentasikan warisan budaya Nias yang luar biasa yang merupakan jejak kemegahan para bangsawan di masa lampau.
Yafaowoloo Gea