Minggu, 24 Februari 2013

Beranda » » Hitler, Mein Giebleter

Hitler, Mein Giebleter

Dia adalah pecinta terhebat.
cdn01.dailycaller.com
cdn01.dailycaller.com
KUASA pemenang sejarah dunia ini memperkenalkan Adolf Hitler sebagai manusia yang –seolah-olah—mati rasa. Genosida terhadap jutaan orang Yahudi sepanjang Perang Dunia II menjadi sampul catatan sejarah, yang isinya hanyalah pembantaian dan pembantaian, dalam kehidupan Sang Pemimpin Nazi.
Sejarah memang harus mengakui bahwa pembantaian itu ada. Tapi, dalam beberapa sisi, sejarah kerap tak adil karena kepentingan politik pemenang punya preogratif penuh dalam proses pendokumentasiannya. Dan semua tahu; Amerika lah yang jadi pemenang.
Pada kenyataannya, sejarah yang tercatat dan disetujui banyak orang itu telah menghapus cerita lain dari Hitler sebagai manusia. Makhluk yang punya rasa. Punya cinta.
Cinta yang terejawantahkan dalam diri Eva Braun. Perempuan dengan “cinta yang sangat liar” untuk sang diktator. Perempuan yang akhirnya menolong Hitler untuk mengenal kembali cinta, yang sebelumnya dia sembunyikan dalam-dalam di balik penjara ambisi Aufklarung-nya, dan nyaris dilupakannya.
***
EVA BRAUN adalah seorang model sekaligus fotografer mode Jerman, yang bertemu Hitler ketika usianya baru 17 tahun, tahun 1929. Dia bekerja sebagai asisten dan model untuk fotografer pribadi Hitler.
Begitu pertama kali melihat sang penguasa, Eva langsung memutuskan untuk jatuh cinta. Sebagai media untuk mengungkapkan perasaannya yang datang mendadak dan berkembang liar, merajai seluruh hati dan diri itu, Eva menulis surat pada Hitler. Isinya tentang ungkapan love at first sight-nya pada sang atasan.
“Dari pertemuan pertama kami, aku bersumpah untuk mengikuti Anda di mana saja - bahkan sampai mati. Saya hidup hanya untuk cinta Anda.” Itulah ungkapan cinta Eva yang begitu menggebu.
Kesan yang tumbuh di hati Eva kala jumpa pertama itu berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan sang tercinta. Awalnya Hitler tidak terkesan pada karyawannya itu. Hatinya masih membatu dan orientasinya masih dipasung oleh ambisi memenangkan ras Aria dengan memberangus Yahudi.
Tapi, semesta alam selalu punya cara yang genit untuk membangunkan cinta yang sedang tidur pulas di dalam hati manusia.
Eva tak pernah kenal putus asa. Dia tahu, cintanya yang datang begitu cepat itu tak mendapat sambutan hangat dari sang pujaan. Tapi, Eva percaya, cinta akan tumbuh, sejauh manusia percaya bahwa cinta itu akan tumbuh. Semesta alam selalu bersama orang-orang yang percaya.
Selama menunggu kesempatan itu tiba, Eva mengisi hari-harinya dengan kegiatan modeling dan fotografi. Perempuan penyuka anjing, yoga, dan matahari itu menghabiskan hari-hari sepi nya di rumah dengan mengambil foto, bermain dengan anjing kesayangannya. Juga menulis surat kepada Hitler, kegiatan yang terus menerus dilakukannya demi menyentuh hati sang terkasih.
Kesabaran dan upaya Eva akhirnya mendapatkan ganjaran yang patut. Datanglah kesempatan yang ditunggu; untuk menunjukkan cintanya yang menggebu. Sekaligus kesempatan untuk mengingatkan kembali hati atasannya, bahwa ada haknya yang belum pernah diambil; yaitu cinta.
Rasa frustasi luar biasa dalam karir militernya yang pasang surut, juga karena kekalahan Jerman pada Perang Dunia I yang dirasa Hitler telah menghancurkan bangsa Aria, membuatnya sempat dua kali nyaris bunuh diri.
Di saat-saat putus asanya itulah, Eva selalu punya alasan dan kesempatan untuk berada di sampingnya. Mengucurkan kasih pada Hitler dan memberi motivasi, bahwa Sang Kamerad punya misi yang belum selesai. Setiap kali pesimisme mulai menggerogoti hati Hitler, saat itulah Eva datang menyuguhkan optimismenya kembali.
Dalam prosesnya, Hitler –perlahan namun pasti—mulai merasakan ada sesuatu yang “asing” tumbuh dalam hatinya. Asing tapi asoy. Sang Kamerad mulai menikmatinya. Dengan kesabarannya, Eva Braun pelan-pelan mulai memperkenalkan kembali rasa yang telah lama dilupakan oleh Hitler. Lalu, tumbuhlah kembali cinta yang pernah hilang dari diri manusia Hitler.
Bersama dengan cinta itu, Hitler dan Eva pun mulai hidup bersama, tahun 1930. Tapi, untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya, agar tak tampak melankolis –yang sama artinya lemah hati– di depan dunia , Hitler mengajak Eva untuk menyimpan rapat cerita mereka dalam kemasan rahasia.
Tapi, Hitler juga berjanji pasti akan menikahi Eva, suatu saat kelak. Demi cinta, Eva pun mengangguk pada ajakan Hitler. Cinta rahasia tersimpan rapi selama 15 tahun.
Asmara mereka hidup di tengah gempuran dunia pada ambisi Hitler. Setiap putus asa datang, Hitler selalu pulang pada Eva. Di pangkuan Eva dia menemukan kembali dirinya sebagai Aria yang utuh. Lalu dia kembali ke medan tempur.
Eva sendiri terus memelihara keyakinan bahwa cintanya hanya untuk Hitler. Hitler adalah hidupnya. Hitler adalah pengejawantahannya yang profan. Hitler adalah sinonimnya. Hitler adalah Giebleter –sang tercinta.
Selama Hitler berjibaku di medan laga, Eva terus menerus memberinya surat, yang berisi tentang motivasi dan ungkapan isi hati. Dan inilah salah satu surat Eva paling romanis yang dikirim kala Giebleternya bertempur:
“Mein Giebleter (kasihku), saya sendirian di sini. Saya sekarat karena cemas, karena saya tahu Anda dalam bahaya. Kembalilah secepatnya. Saat ini saya seoalah-olah sudah gila.
Cuaca indah di sini dan segala sesuatu tampak begitu damai. Saya malu pada diri sendiri karena Anda tidak ada di sini. Anda tahu, saya selalu bilang bahwa saya akan mati jika sesuatu terjadi pada Anda. Dari pertemuan pertama kita, saya telah berjanji pada diri sendiri, untuk mengikuti Anda ke manapun Anda pergi, bahkan sampai mati. Anda tahu bahwa saya hidup hanya untuk cinta Anda.
Salam
Eva “
Sementara itu, di sisi lain, Hitler juga selalu menyisakan waktu untuk memuja keindahan cintanya pada Eva di antara aktivitas pertempurannya. Cintanya tak membiarkan hati Eva bermonolog.
Salah satu ungkapan cinta Hitler adalah menggoreskan wajah Eva itu pada selembar kanvas. Lukisan berupa sketsa wajah yang nyaris sempurna. Hitler memang memilik bakat melukis. Pada masa awalnya karir di militer, Hitler sempat berniat masuk ke Akademi Seni Wina, Austria. Tapi dia tidak mendapatkan izin dari kesatuannya. (Mungkin, jika kala itu Hitler mendapat izin, wajah sejarah dunia tak akan seperti yang dikenal sekarang.)
Dan dia melukis Eva dengan cinta. Menorehkannya dengan rasa yang begitu penuh, di dalam kisah cinta yang hidup mengalun di antara dahsyatnya medan tempur Perang Dunia II.
Setelah penantian panjang bersama cinta rahasia, akhirnya Hitler memenuhi janjinya menikahi Eva menikah. Seremoni tersebut berlangsung ketika itu Nazi kalah. Gempuran Amerika dan sekutunya –Inggris dan Prancis– datang dari seluruh penjuru. Nazi akan jadi pihak yang takluk.
Di tengah segala keputusasaan dan kekalahannya itulah, Hitler resmi menikahi Eva –yang telah menunggunya selama 15 tahun– 30 April 1945.
Sayang, kebahagiaan dalam pernikahan antara pria 57 tahun dan perempuan 33 tahun itu tak berlangsung lama. Tepat 48 jam setelah pernikahan, sejoli tersebut mengakhiri hidup masing-masing.
Waktu itu kubu Hitler telah hancur lebur. Eksekusi mati untuknya tinggal menunggu hitungan jam, karena pasukan sekutu kian dekat dengan persembunyiannya. Dan demi kebanggaan bangsa Aria, Hitler tak rela mati di tangan musuh. Kalaupun harus mati, itu harus di tangannya sendiri.
Seperti yang diceritakan oleh sejarah, Hitler mengakhiri lakon hidup dan cintanya dengan sebutir peluru yang dilontarkan pistolnya sendiri. Di saat bersamaan, Eva menenggak sianida, agar bisa berangkat bersama-sama sang Giebleter.
Eva memenuhi janji yang diucapkannya sendiri dalam surat pertamanya pada Hitler:
“Dari pertemuan pertama kita, aku bersumpah mengikuti Anda di mana saja - bahkan sampai mati”
***
PADA kisah Adolf Hitler dan Eva Braun, Penguasa Semesta Alam menunjukkan, bahwa dalam diri setiap manusia, ”sebiadab” apapun dia di mata dunia, pasti ada cinta yang hidup di salah satu sudut dirinya.
Dan, seangkuh apapun manusia coba menipu diri, lari dan melupakan cinta, Sang Maha Cinta punya cara sendiri untuk mengingatkannya kembali. Seperti ketika menghidupkan kembali cinta dalam hati Hitler melalui Eva Braun.
Tofik Pram