Kamis, 24 Januari 2013

Beranda » » KEHANCURAN PERADABAN MOHENJO DARO – HARAPPA, INDIA KARENA BANJIR ?

KEHANCURAN PERADABAN MOHENJO DARO – HARAPPA, INDIA KARENA BANJIR ?

Mohenjo Daro adalah sebuah kota purba yang terkubur lama di lembah Indus, Pakistan sekarang. Kota ini diperkirakan telah muncul sekitar tahun 6000 SM. Sebab-sebab kehancuran pusat peradaban tua yang canggih ini telah diselidiki oleh para ilmuwan. Selain peperangan dan kerusakan lingkungan, bencana banjir disebut-sebut sebagai sebab utama hancurnya peradaban Mohenjo Daro. — with Tandi Skober.

Selain relief gambar kambing, yang dijumpai di dinding bangunan kota Mohenjo Daro adalah relief gambar badak. Tampaknya badak Mohenjo Daro sekeluarga dengan badak Ujung Kulon, Jawa Barat.

Mohenjo-daro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Situs Warisan Dunia UNESCO
Reruntuhan arkeologis Moenjodaro
Nama sebagaimana tercantum dalam Daftar Warisan Dunia
Mohenjo-daro
Negara Pakistan
TipeKultural
Kriteriaii, iii
Rujukan138
Kawasan UNESCOAsia-Pasifik
Sejarah pengukuhan
Tahun pengukuhan1980 (sesi Ke-4)
Mohenjo-daro bahasa Urdu: موئن جودڑو, bahasa Sindhi : موئن جو دڙو, Bahasa Hindi : मोहन जोदड़ो adalah salah satu situs dari sisa-sisa permukiman terbesar dari Kebudayaan Lembah Sungai Indus, yang terletak di propinsi Sind, Pakistan. Dibangun pada sekitar tahun 2600 SM, kota ini adalah salah satu permukiman kota pertama di dunia, bersamaan dengan peradaban Mesir Kuno, Mesopotamia dan Yunani Kuno. Reruntuhan bersejarah ini dimasukkan oleh UNESCO ke dalam Situs Warisan Dunia. Arti dari Mohenjo-daro adalah “bukit orang mati”. Seringkali kota tua ini disebut dengan “Metropolis Kuno di Lembah Indus”.[1]

Daftar isi

[sembunyikan]

Penemuan kembali dan penggalian

Mohenjo-daro dibangun sekitar tahun 2600 SM, tetapi dikosongkan sekitar tahun 1500 SM. Pada tahun 1922, kota ini ditemukan kembali oleh Rakhaldas Bandyopadhyay[2] dari Archaeological Survey of India. Ia dibawa ke sebuah gundukan oleh seorang biksu Budha yang mempercayai bahwa gundukan tersebut adalah sebuah stupa. Pada 1930-an, penggalian besar-besaran dilakukan di bawah pimpinan John Marshall, K. N. Dikshit, Ernest Mackay, dan lain-lain.[3] Mobil John Marshall yang digunakan oleh para direktur situs masih berada di museum Mohenjo-daro sebagai tanda untuk memperingati perjuangan dan dedikasi mereka terhadap Mohenjo-daro. Penggalian selanjutnya dilakukan oleh Ahmad Hasan Dani dan Mortimer Wheeler pada tahun 1945.
Penggalian besar terakhir di Mohenjo-daro dipimpin oleh Dr. G. F. Dales pada tahun 1964-65. Setelah itu, kerja penggalian di situ dilarang karena kerusakan yang dialami oleh struktur-struktur yang rentan akibat kondisi cuaca. Sejak tahun 1965, hanya proyek penggalian penyelamatan, pengawasan permukaan, dan konservasi yang diperbolehkan di situ. Meskipun proyek arkeologi besar dilarang, namun pada 1980-an, tim-tim peninjau dari Jerman dan Italia yang dipimpin oleh Dr. Michael Jansen dan Dr. Maurizio Tosi, menggabungkan teknik-teknik seperti dokumentasi arsitektur, tinjauan permukaan, dan penyelidikan permukaan, untuk menentukan bayangan selanjutnya mengenai peradaban kuno tersebut.[4]

Lokasi

Mohenjo-daro terletak di Sindh, Pakistan di sebuah bubungan zaman Pleistosen di tengah-tengah dataran banjir Sungai Sindhu. Bubungan tersebut kini terkubur oleh pembanjiran dataran tersebut, tetapi sangat penting pada zaman Peradaban Lembah Indus. Bubungan tersebut memungkinkan kota Mohenjo-daro berdiri di atas dataran sekelilingnya. Situs tersebut terletak di tengah-tengah jurang di antara lembah Sungai Sindhu di barat dan Ghaggar-Hakra di timur. Sungai Sindhu masih mengalir ke timur situs itu, tetapi dasar sungai Ghaggar-Hakra kini sudah kering.[5]
Pembangunan antropogenik selama bertahun-tahun dipercepat oleh kebutuhan memperluas tempat. Bubungan tersebut diluaskan melalui platform bata lumpur raksasa. Akhirnya, penempatan tersebut meluas begitu besar sehingga ada bangunan yang mencapai 12 meter di atas permukaan dataran masa kini.[6]

Kepentingan

Pada zaman dahulu, Mohenjo-daro merupakan salah satu pusat administratif Peradaban Lembah Indus kuno.[7] Pada puncak kejayaannya, Mohenjo-daro adalah kota yang paling terbangun dan maju di Asia Selatan, dan mungkin juga di dunia. Perencanaan dan tekniknya menunjukkan kepentingan kota ini terhadap masyarakat lembah Indus.[8]
Peradaban Lembah Indus (c. 3300-1700 SM, f. 2600-1900 SM) adalah sebuah peradaban sungai kuno yang berkembah di lembah sungai Indus di India Kuno (kini di Pakistan dan India Barat Laut). Peradaban ini juga dikenal sebagai “Peradaban Harappa.”
Kebudayaan Indus berkembang berabad-abad lamanya, lalu mengalami kebangkitan sekitar tahun 3000 SM. Peradaban tersebut menjangkau wilayah yang kini diduduki negara Pakistan dan India Utara, tetapi tiba-tiba mengalami kemerosotan sekitar tahun 1900 SM. Pemukiman Peradaban Indus tersebar sejauh pantai Laut Arab di Gujarat di selatan, perbatasan Iran di barat, dengan kota perbatasan di Bactria. Di antara permukiman-permukiman itu, pusat kota utama berada di Harappa dan Mohenjo-daro, dan juga Lothal.
Puing-puing Mohenjo-daro adalah salah satu pusat utama dalam masyarakat kuno ini. Beberapa arkeolog berpendapat bahwa Peradaban Indus mencapai jumlah lima juta penduduk pada puncaknya.
Saat ini, lebih dari seribu kota dan permukiman telah ditemukan, terutama di lembah Sungai Sindhu di Pakistan dan India barat laut.

Arsitektur dan prasarana kota

Mohenjo-daro, 25 km di barat dayaLarkana, adalah pusat Peradaban Lembah Indus 2600 SM-1900 SM
Mohenjo-daro memiliki bangunan yang luar biasa, karena memiliki tata letak terencana yang berbasis grid jalanan yang tersusun menurut pola yang sempurna. Pada puncak kejayaannya, kota ini diduduki sekitar 35.000 orang. Bangunan-bangunan di kota ini begitu maju, dengan struktur-struktur yang terdiri dari batu-bata buatan lumpur dan kayu bakar terjemur matahari yang merata ukurannya.
Bangunan-bangunan publik di kota ini adalah lambang masyarakat yang sangat terencana. Bangunan yang bergelar Lumbung Besar di Mohenjo-daro menurut interpretasi Sir Mortimer Wheeler pada tahun 1950 dirancang dengan ruang-ruang untuk menyambut gerobak yang mengirim hasil tanaman dari desa, dan juga ada saluran-saluran pendistribusian udara untuk mengeringkannya. Akan tetapi, Jonathan Mark Kenoyer memperhatikan bahwa tidak ada catatan mengenai keberadaan hasil panen dalam lumbung ini. Maka dari itu, Kenoyer mengatakan lebih tepat untuk menjulukinya sebagai “Balai Besar”.
Di dekat lumbung tersebut ada sebuah bangunan publik yang pernah berfungsi sebagai permandian umum besar, dengan tangga yang turun ke arah kolam berlapis bata di dalam lapangan berderetan tiang. Wilayah permandian berhias ini dibangun dengan baik, dengan lapisan tar alami yang menghambat kebocoran, di samping kolam di tengah-tengah. Kolam yang berukuran 12m x 7m, dengan kedalaman 2.4m ini mungkin digunakan untuk upacara keagamaan atau kerohanian.
Di dalam kota, air dari sumur disalurkan ke rumah-rumah. Beberapa rumah ini dilengkapi kamar yang terlihat ditetapkan untuk mandi. Air buangan disalurkan ke selokan tertutup yang membarisi jalan-jalan utama. Pintu masuk rumah hanya menghadap lapangan dalam dan lorong-lorong kecil. Ada berbagai bangunan yang hanya setinggi satu dua tingkat.
Sebagai kota pertanian, Mohenjo-daro juga bercirikan sumur besar dan pasar pusat. Kota ini juga memiliki sebuah bangunan yang memiliki hypocaust, yang kemungkinan digunakan untuk pemanasan air mandi.
Mohenjo-daro adalah sebuah kota yang cukup terlindungi. Walau tak ada tembok, namun terdapat menara di sebelah barat pemukiman utama, dan benteng pertahanan di selatan. Perbentengan tersebut, dan struktur kota-kota lain di Lembah Indus seperti Harappa, menimbulkan pertanyaan apakah Mohenjo-daro memang pusat administrasi. Harappa dan Mohenjo-daro memiliki arsitektur yang mirip, dan tidak berbenteng kuat seperti situs-situs lain di Lembah Indus. Jelas sekali dari tata ruang di semua situs-situs Indus, bahwa ada suatu pusat politik atau administrasi, hanya saja tidak jelas lagi sejauh mana jangkauan dan fungsi pusat administrasi tersebut.
Mohenjo-daro telah dimusnahkan dan dibangun kembali setidaknya tujuh kali. Setiap kali, kota baru dibangun terus di atas kota lama. Banjir dari Sungai Indus diduga menjadi penyebab utama kerusakan.
Kota ini terbagi atas dua bagian, yaitu benteng kota dan kota hilir. Kebanyakan wilayah kota hilir masih belum ditemukan. Di benteng kota terdapat sebuah permandian umum, struktur perumahan besar yang dirancang untuk menempatkan 5.000 warga, dan dua buah dewan perhimpunan besar.
Mohenjo-daro, Harappa dan peradaban masing-masing, lenyap tanpa jejak dari sejarah sampai ditemukan kembali pada 1920-an. Penggalian besar-besaran dilakukan di situ pada 1920-an, namun tidak ada penggalian secara mendalam yang dilakukan lagi sejak tahun 1960-an.
Artefak “gadis menari” yang ditemukan di Mohenjo-daro
Patung “raja pendeta”

Artefak

Patung “gadis menari” yang ditemukan di Mohenjo-daro adalah sebuah artefak yang berusia sekitar 4500 tahun. Patung perunggu dengan panjang 10.8 cm ini ditemukan di sebuah rumah di Mohenjo-daro pada tahun 1926. Patung kecil ini adalah patung favorit arkeolog Inggris Mortimer Wheeler, seperti yang dipetik dari sebuah acara televisi tahun 1973:
“Muka kecilnya gaya Balochi dengan bibir yang cemberut dan paras yang terlihat tidak sopan. Saya rasa umurnya tak lebih lima belas tahun, tetapi tidak memakai apa-apa selain gelang di lengan. Seorang gadis yang benar-benar percaya diri terhadap dirinya dan dunianya. Saya rasa patung ini tidak ada duanya di dunia ini. “
John Marshall, salah seorang penggali di Mohenjo-daro, menggambarkan gadis tersebut sebagai kesan jelas seorang gadis muda, berpostur kurang sopan dengan sebelah tangan mencekak pinggul, sambil mengikuti rentak musik dengan tangan dan kaki.[9]
Sebuah patung lelaki duduk dengan tinggi 17.5 cm yang bergelar “Raja Pendeta” (walaupun tiada bukti pendeta atau raja memerintah kota ini), adalah satu lagi artefak yang menjadi lambang peradaban lembah Indus. Patung ini ditemukan oleh para arkeolog di Kota Hilir Mohenjo-daro pada tahun 1927. Patung tersebut ditemukan di sebuah rumah yang arsitektur batanya berhias dan berceruk dinding, terlantar di antara dinding dasar bata yang pernah menampung tingkat rumah. Patung berjanggut ini memakai pita rambut, lilitan lengan, dan mantel berhias pola trefoil yang aslinya berisi pigmen merah. (Profil patung ini mirip dengan patung serupa yang ada di candi Cetho di Jawa tengah. AYS)

Status UNESCO

Pemeliharaan Mohenjo-daro ditunda pada Desember 1996 setelah berhentinya pendanaan dari pemerintah dan organisasi internasional. Pada April 1997, Organisasi Pendidikan, Sains dan Kebudayaan PBB (UNESCO) membiayai proyek $10 juta untuk perlindungan situs dan struktur-struktur yang masih bertahan dari banjir selama 20 tahun.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Mohenjo-Daro An Ancient Indus Valley Metropolis
  2. ^ Ancientindia.co.uk
  3. ^ “Mohenjo-Daro: An Ancient Indus Valley Metropolis”. Diakses pada 19 Mei 2008.
  4. ^ “Mohenjo-Daro: An Ancient Indus Valley Metropolis”. Diakses pada 19 Mei 2008.
  5. ^ “Mohenjo-Daro”.
  6. ^ “Mohenjo-Daro”.
  7. ^ Beck, Roger B. (1999). World History: Patterns of Interaction. Evanston, IL: McDougal Littell. ISBN 0-395-87274-X.
  8. ^ A H Dani (1992), Critical Assessment of Recent Evidence on Mohenjodaro, Second International Symposium on Mohenjodaro, 24–27 Februari.
  9. ^ Possehl, Gregory (2002). The Indus Civilization: A Contemporary Perspective. AltaMira Press. hlm. 113. ISBN 978-0759101722.

Pranala luar

Search Wikimedia CommonsWikimedia Commons memiliki galeri mengenai:
Wikitravel Lihat panduan wisata Mohenjo-daro di Wikitravel
KOMENTAR:
  • Abdul Hadi WM Gambar 2 dan 3 lukisan yang dibuat berdasarkan rekonstruksi dan imajinasi.
  • Yanti Burhan Menyimak Prof… Karena saya pernah dengar kota ini, tapi sangat sedikit info yg saya tahu
  • Abdul Hadi WM Mohenjo-Daro, which scholars believe means “hill of the dead,” was an ancient Indian city located on the west bank of the Indus River in the Indus-Sarasvati region. The ruins of Mohenjo-Daro were discovered in 1922. The other Indus-Sarasvati city that was known of at that time was Harappa, discovered in 1826. Over time, thousands of ancient settlements have been discovered along the banks of the Indus River and the now-dried-up Sarasvati River. Most of these settlements are clustered around the Sarasvati River and include cities as large as Mohenjo-Daro, such as Ganweriwala, Kalibangan, and Rakhigarhi
  • Abdul Hadi WM @ Yanti Burhan : The people of Mohenjo-Daro and the Indus-Sarasvati region belonged to what many scholars refer to as theHarappan civilization. This civilization was the late stage of a cultural tradition that dates back to at least 6500 B.C.E. The Harappan civilization included a variety of ethnic groups and flourished for 800 years, from approximately 2700 B.C.E. until 1900 B.C.E. Many archeologists and scholars focus on Mohenjo-Daro and Harappa when studying Harappan – or Indus-Sarasvati – civilization because they were the earliest discovered and thus most thoroughly excavated sites.
  • Ariana Pegg Meski baru dengar lagi saat ini namun nama Mohendjo Daro itu msh melekat dlm ingatan saya… apa karena dulu tercantum dalam mata pelajaran di sekolah ya?
  • Abdul Hadi WM @ Ariana Pegg : Mungkin karena dulu terdapat dalam bukupelajaran sejarah.
  • Abdul Hadi WM Menurut penelitian mutakhir, Mohenjo Daro terlkait erat dengan rangkaian peradaban kuna dan kisah benua Attalntis yang hilang.
  • Yanti Burhan Sementara, ada juga yang mengatakan atlantis yg hilang itu Indonesia? Gimana Prof?
  • Abdul Hadi WM @ Yanti Burhan : India dan Indonesia pada zaman sebelum es mencair atau Tertiair, masih menyatu. Pun Australia. Afrika Timur dan Jazirah Arab juga masih dekat dengan India dan Indonesia.
  • Ahmad Yanuana Samantho tahun berapakah kira-kira prof, Mohenjjo Daro-harapa ini musnah karena banjirnya?
  • Abdul Hadi WM Sebelum zaman Pleistocen atau Tertiair (zaman mencairnya es yang ketiga kali), India dan kepulauan Nusantara serta masih menyatu bersama daratan Asia lain.
  • Abdul Hadi WM Nama Indonesia diberikan oleh Adolf Bastian pada abad ke-19 M dan dipakai mula-mula oleh Perhimpunan Indonesia. Kata-kata tsb dari kata Yunani Indos dan Nesos. Bahasa Samskertanya Indus dan Nusa. Artinya pulau-pulau di sebelah timur Indi.
  • Ahmad Yanuana Samantho Menurut Teorinya Santos, Mohennjo Daro Harappa adalah peradaban yang dibangun oleh para Pengungsi dari Bencana Banjir Besar Atlantis Nusantara (Kaum Nuh As / bangsa Shabi’iin dalam alQur’an). Bagaimana komentar Prof Hadi?

    Sabtu, Juni 2, 2012

    Harappa & Mohenjo-daro
Berdasarkan penelitian oleh Sonia SaleemHarappa atau “Hari-Yupuya” sebagaimana disebutkan dalam “Rig Veda” ditandai
perkembangan
tinggi
perkotaan peradaban Lembah Indus dARi 2600 SM sampai tahun 1900 B.C.E. untuk 700 tahun. Harappa terletak di sekarang Provinsi Punjab, dekat kota Sahiwal, dan dalam kemuliaan penuh adalah
proto-tipe
kota
sempurna yang sepenuhnya dikembangkan peradaban Lembah Indus. Itu adalah refleksi sempurna dari jenis terorganisir pikir yang
ditekankan
Regweda . [Wheeler, Kenoyer].
Harappa memiliki awal
sederhana
yang sama sebagaimana kota besar manapun. Ini dimulai sebagai sebuah pemukiman
desa
yang secara bertahap berkembang selama berabad-abad untuk mengakomodasi industri kerajinan yang terkenal, pasar dapat diakses di dunia, dan wilayah pemukiman bersih dan pemakaman.
Luas Harappa adalah 128,800 di pedalaman, dan 150 hektar di daerah. Kota Harappa ini begitu dikembangkan dan pusat Kekaisaran Indus Harappa
yang
namanya menjadi sinonim dengan budaya yang dominan pada saat itu, diikuti oleh semua kota-kota lain di region Indus, sampai ke Kutch di pantai kini India di. [Rehman, Kenoyer].
Dengan demikian, reruntuhan Harappa adalah
di lingkar tiga mil. Reruntuhan kota ini dibagi menjadi gundukan, diberi label dari gundukan A, G oleh para arkeolog, untuk membuat poin mudah diidentifikasi. Gundukan adalah umum untuk semua kota-kota Indus, dan semakin tinggi gundukan, yang lebih sentral dan penting daerah itu adalah di kota. Misalnya gundukan citadel hampir selalu adalah merupakan gundukan tertinggi. Arketipe Kota Indus ini dibangun pada sumbu – Selatan Timur-Barat, Utara, dan dikelilingi oleh empat tembok kota dengan pintu besar di dinding Barat. Gerbang adalah lebar 2.8 meter, dan 3 untuk 4 meter tinggi, [Kenoyer], tetap dengan kamar atau lihat out posting di atas.[Kenoyer].
Di dalam pintu gerbang ada sebuah ruang besar untuk pasar yang membuatnya lebih mudah untuk barang-barang yang diangkut dalam dan diperiksa, dikenai pajak dan dijual. Lembu dan keranjang adalah metode yang digunakan untuk mengangkut barang-barang, dan pintu masuk adalah cukup besar untuk memungkinkan satu keranjang masuk dan keluar pada satu waktu. Sekali di dalam pintu gerbang kota, dan melewati ruang pasar, jaringan jalan menyebabkan di pusat kota. Jalan utara yang dipimpin untuk semua bengkel pekerjaan kerang dan batu akik, Jalan di Barat untuk bengkel kerja kerajinan tembaga. Bukti cara van serai ditemukan di luar, dan di selatan pintu gerbang utama kota. Terdapat rumah, saluran air, mandi, sumur dan kandang untuk kuda. [Kenoyer 55].
Itu tempat pemberhentian yang lengkap dan dapat menampung para pedagang dan penjual yang be[ergian, sepertinya Harappa adalah bagian integral dari jalur perdagangan kuno. Pedagang bahkan membantu infra-struktur berkembang di daerah. Kenoyer menyebutkan bahwa jalan modern yang digunakan pada hadir di luar gerbang kota, dekat situs lama caravan serai pada semua kemungkinan ditetapkan 4500 tahun yang lalu oleh para pedagang Harappa. Caravanserai ini digunakan untuk posting transfer sepanjang rute juga, melayani Lahore dan Multan. Caravanserai ini telah dipelihara digunakan selama ribuan tahun kemudian oleh bepergian pedagang, lagi memverifikasi fakta bahwa kota Harappa terletak di posisi strategis untuk rute perdagangan.
Gerbang kedua adalah terletak 200 meter Timur yang pertama. Gerbang ini memimpin ke pinggiran kota yang juga menghasilkan ornamen, kerajinan dan artefak lain untuk perdagangan. Gerbang ini juga memiliki caravanserai sekitar 50 meter Selatan luar, untuk mengakomodasi para pedagang yang datang ke ini bagian dari kota. [Kenoyer 55].
Tidak terdapat bukti palace atau residensi besar untuk raja atau penguasa di pusat kota. Namun ada sebuah bangunan besar di antara banyak dilihat rumah di pinggiran utara kota. Tapi itu adalah berpikir bahwa itu adalah gudang, karena ada banyak melingkar bekerja-platform atas mana pekerjaan kerajinan, dan keramik yang dibuat. [Kenoyer 55]. Menurut peta Harrapa, dibuat oleh Sir Mortimer Wheeler, selain carvanserai, lumbung, pemakaman, dan para pekerjanya quarters berada di luar tembok kota. Dari peta ini juga tampak seperti dinding barat terdapat sebagian besar gates dapat diakses oleh kota, serta pintu masuk utama. Perluasan Harappa bertahap, dan migran dari kota-kota lain, dan bangsa-bangsa yang tidak biasa. Namun satu budaya adalah dominan di Harappa, dan bahkan Harappa budaya mendominasi seluruh kota juga. Ini akan menjamin perdamaian dan harmoni di seluruh daerah Indus. Bahkan sebelum Harappa menjadi pusat budaya, perdamaian dan harmoni mendominasi daerah Indus. Non kekerasan, bahkan dalam bentuk bela diri, adalah bagian dari Indus agama, sehingga semua invasi atau migrasi tidak menolak, tidak juga setiap bentrokan antara suku. Gerbang kota tidak dibangun untuk melawan segala jenis serangan militer, atau dinding dibuat untuk membela diri. Dinding sekitar gundukan dengan di kota hanya dibatasi daerah yang berbeda. [Kenoyer 56]. Suatu ancaman perang itu tidak bahkan ide atau pikiran di lembah Indus. Budaya seragam disebarkan perdamaian. Kota ini dilayani secara khusus untuk kelancaran perdagangan dan bisnis, integral Indus agama lain.
Mohenjo-daro
Mohenjo-daro, atau “Mound of the Dead” dianggap demikian pula dibangun untuk Harappa semua Indus kota kerasukan desain umum yang mencerminkan Weda, diselenggarakan berpikir. Dapat juga membanggakan menjadi kota pertama di dunia yang memiliki sistem pengeringan penuh.Sistem pengeringan yang luas untuk seluruh kota diciptakan di tanah Indus.
Kota Mohenjo-daro adalah pedalaman 169,260 km persegi, dan 250 hektar. [Kenoyer]. Ini juga menunjukkan bahwa Mohenjo-daro lebih tua dari Harappa. Namun, sisa-sisa Mohenjo-daro tidak semuanya lengkap karena mereka berada di situs digali Harappa. Ada tidak ada fisik sisa dinding dan pintu gerbang, tapi ukuran dasar dinding-dinding ini mengelilingi kota menyarankan bahwa dinding-dinding ini yang mungkin lebih besar daripada Harappa. Mohenjo-daro adalah frequented oleh banjir, yang merupakan alasan utama mengapa tidak melakukan berkembang dengan cara yang sama bahwa Harappa, dan mungkin menyebabkan kehancuran yang ultimate. The citadel Timur pada saat terletak sangat dekat dengan Sungai Indus. Banjir di wilayah ini adalah masih merupakan keprihatinan dan masalah, meskipun cabang terdekat sungai telah bergeser 5 km di Timur. [Wheeler].
Buddha stupa dan biara yang ditemukan di atas citadel Barat, dan dibangun beberapa abad setelah kematian peradaban Indus, dalam 200 Pasa antara kematian lengkap peradaban Indus, dan penyebaran Buddhisme, tidak ada kota lain sebagai besar sebagai Mohenjo-daro wujud di wilayah ini.Mohenjo-daro dibangun dengan demikian sebagai grid, diselenggarakan pada poros Utara-Selatan, Timur-Barat. Dibangun sebagai kemiringan, jelas untuk melawan banjir. The citadel Barat adalah gundukan tertinggi, yang secara bertahap berlari down east, membuat benteng Timur gundukan terendah. Mirip dengan Harappa, tertinggi gundukan ditandai bagian yang lebih penting, pusat kota, di mana pejabat dan penguasa tinggal, dan mungkin adalah hub untuk perdagangan di bagian Kekaisaran Indus.
Harappa dan Mohenjo-daro adalah ibukota mengutip peradaban Indus, namun Sungai Indus bukanlah satu-satunya air-cara yang termasuk dalam peradaban ini. Sungai Ghaggar-Hakra adalah sungai lain yang memberi makan peradaban Lembah Indus, tapi kering selama berabad-abad menjadi gurun Cholistan. Itu berlari melalui wilayah kini Punjab dan Sindh, paralel dan Timur Indus. Kota-kota dan kota-kota Ganweriwala, Rakhigarhi, yang terletak di titik yang berbeda dari tepi Indus, fundamental untuk menjadi bagian dari rute perdagangan. Dua yang terakhir hanya 80 hektar setiap di daerah tertutup, tetapi itu sama penting untuk perdagangan. Dan Dholavira tercakup 100 hektar di daerah, dan paling terjauh dari pusat, tapi terletak di Rann of Kutch, yang sekarang hadir hari Gujarat India. Dengan demikian itu menjabat sebagai dasar yang baik untuk mengimpor dan mengekspor barang-barang luar Laut Arab, dan ikan, dan kerang laut ditemukan disediakan dan disalurkan di sekitar peradaban Indus. Kota-kota kecil ini dibangun banyak dalam grid terorganisir, sama seperti cara sebagai ibukota. Arsitektur Indus dapat didefinisikan sebagai logis, rapi, fungsional, sederhana, dan berusaha untuk pesanan dan organisasi. [Kenoyer, Wheeler]. Agama dan rute perdagangan yang jelas inti dan inti dari keberadaan kota-kota ini.
“Hidup adalah satu proses yang panjang untuk mendapatkan lelah.” [Samuel Butler.] Pergeseran teritorial Indus budaya untuk daerah Gangga;.
Segala sesuatu, besar atau kecil harus datang berakhir. Sebuah peradaban yang besar, berkembang dan damai seperti peradaban Indus mengejutkan datang berakhir. Diperkirakan bahwa perubahan lingkungan, dan lempeng tektonik bergeser di bawah bumi membantu dalam kehancurannya.Alamiah menyarankan evolusi, perubahan bertahap lambat dan mantap dari pusat perdagangan perdagangan pergeseran Timur sistem air utama lain di sub-benua. Seluruh peradaban bergeser Timur dan Selatan.
Menurut interpretasi Sir Mortimer Wheeler, penyebab pasti ambigu. Dia mengatakan “terlalu ambisius perang, invasi biadab, Dinasti atau kapitalistik intrik, iklim, nyamuk malaria telah didesak sendiri dalam satu konteks atau lain sebagai penyebab over-semua.” [126, Wheeler.] Dengan demikian tidak ada satu penyebab runtuhnya peradaban Indus. Mungkin itu aman untuk mengatakan bahwa sebagai sebuah peradaban yang menggambarkan populasi, itu tidak benar-benar kematian, tapi pindah. Sebagai ras, peradaban Indus hidup dan telah berkembang, dan orang-orang yang dikenal sebagai Pakistan ‘s hari. Sejarah peradaban Indus sebagai ras adalah sejarah pergeseran dan perubahan, tetapi perubahan bertahap dan evolusi, tidak dramatis pergolakan atau revolusi. Orang-orang Indus tidak mati. Mereka hanya bergerak di sekitar sub-benua besar karena keadaan lingkungan yang tidak dapat dihindari. Dan sejak saat Aryan invasi, inter-play dengan pedagang dari Teluk dan Mesopotamia, dan sisanya dari sub-benua, lomba lembah Indus selalu telah mengalami perubahan. Itu mempengaruhi daerah yang terutama menyambut Asing, untuk hubungan perdagangan yang kuat.Pembauran ras dan pengaruh asing adalah ciri-ciri alam peradaban Lembah Indus Pasa Vedism dikembangkan dengan Aryan seru, yang akhirnya dikembangkan untuk Brahamism, Buddhisme dan Jainisme. Perdagangan membuat daerah Indus terkenal, dan menarik bagi orang asing. Sejarah daerah Indus adalah sejarah invasi.
Sebagai sebuah kerajaan, sebagai kekuatan geo-ekonomis yang fantastis, tua dan berakar, peradaban Lembah Indus datang berakhir. Mohenjo-daro pada semua kemungkinan yang bernama “Gundukan orang mati”, karena itu adalah sebuah kota yang terus-menerus banjir, menyebabkan kehancuran reoccurring dan rekonstruksi. Ada adalah titik yang mana penduduk pikir lebih bijaksana untuk bergerak pada akhirnya, bukan merekonstruksi. Banjir itu sebagai sering sebagai tahunan; Sungai Indus akan membengkak setiap tahun karena hujan dan salju. Berangsur-angsur menjadi semakin tidak diinginkan, tidak aman dan benar-benar tidak dapat dihuni. Bukti ekstrim banjir adalah masih jelas seperti silt-clay deposito meletakkan di atas seluruh kota; atas puing-puing pada saat penggalian kembali. Di bawah Lumpur massa tanah liat yang dikubur lapisan lapisan platform bata yang membangun atas mana penduduk kota terus kembali rumah mereka dan toko setelah banjir hari atas. [Wheeler]. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr Dales pada tahun 1960, perdagangan laut telah benar-benar berhenti sepanjang pantai Makran dengan Teluk Persia di sekitar 1900 B.C.E. karena banjir-kehancuran sering membuat Mohenjo-daro tidak layak untuk perdagangan internasional, dan pasar. Ini berarti bahwa kematian Mohenjo-daro tak terelakkan. [Wheeler]. Bahkan penduduk kota yang mampu bergerak dan membangun kembali kehidupan mereka di kota-kota lain telah menemukan itu lebih layak untuk meninggalkan, akibatnya berputar kota makmur Mohenjo-daro di untuk sebuah perkampungan kumuh putus asa. Fokus dari perdagangan dengan demikian bergeser ke Harappa dan Rann of Kutch dan kota-kota dan Dholavira menjadi rute laut untuk perdagangan Persia. Harappa sukses itu adalah juga tak terelakkan.
Harappa tidak kegagalan sebagai sebuah kota, seperti bencana alam tidak memukul jalan. Namun, pentingnya Harappa sebagai ciri khas kebudayaan Indus melakukan pergeseran.
Disebutkan di atas berulang kali bahwa budaya Harappa didefinisikan Indus budaya secara keseluruhan, oleh 2600 SM dan seterusnya. Periode ini ditandai dengan ketinggian daerah Indus sukses sebagai sebuah peradaban yang maju, dan progresif. Namun 1900 SM dan seterusnya melihat perubahan bertahap teritorial pusat budaya dari daerah Indus ke tengah, wilayah Sungai Gangga. Ini adalah juga dikenal sebagai fase Harappa akhir.Budaya Indus, juga dikenal sebagai budaya Harappa bergeser dengan panjang orang-orang, memberi ruang untuk berkembang menjadi sebuah peradaban baru, oleh keyakinan baru mengumpulkan. Kesatuan Harappa mogok terfragmentasi, lebih kecil masyarakat, penyebaran-out Afganistan, dan Asia Tengah di barat laut, dan Sungai Gangga-Yamuna di Tenggara. Biaya peluang? Atau sekadar kesempatan? Agama Buddha berkembang sekitar 600 SM dan menyebar meskipun-out sub-benua, sementara terus mendukung pentingnya perdagangan. Kebanyakan pedagang dan penjual adalah Buddha, sebagai sistem pengetahuan ini percaya kepada kesetaraan, berlawanan dengan tradisi Aryan hirarki sosial. Rute perdagangan dengan demikian menyebar, mengakibatkan lebih invasi, pergolakan politik lebih, lebih perdagangan, migrasi lain dan penyebaran Buddhisme. Kebanyakan caravanserais juga adalah biara-biara Buddha, yang mana biksu yang siap melayani pedagang keliling lelah oleh 300-200 Pasa Alexander 326 tiba di besar B.C.E. hanya untuk memulai sebuah era baru dalam budaya yang merupakan campuran dari Yunani dan budaya Buddhis yang dikenal sebagai Ghandara budaya. Indus budaya telah berkembang untuk lebih matang sekolah pemikiran, serta memegang pada pentingnya perdagangan, dan adalah lebih tersebar luas. Diizinkan untuk pengembangan daerah, seperti Gujurat, dan sistem air lainnya, seperti The Yamuna-Gangga sistem dengan rute perdagangan senantiasa meluas. [Kenoyer].
Kota kecil dan desa-desa di sekitar daerah Indus tewas hanya karena pergeseran arah sungai yang perkasa, yang menyebabkan kebanyakan tempat tidur sungai untuk hanya kering sepenuhnya. Ini meninggalkan pembangunan pertanian di lubang-lubang. Orang harus pindah ke timur. Selain perdagangan dan pertanian, praktek-praktek seni dan kerajinan di Indus juga tetap hidup. Tembikar teknologi berkembang, dan melihat lebih banyak binatang yang disertakan pada pot untuk dekorasi. Ini menjadi mudah untuk mengatakan sejauh Indus budaya penyebaran dan berevolusi.[Kenoyer].
Tradisi baru ini kemudian dikenal sebagai tradisi Indo-Gangga, link yang sangat berharga yang telah menentukan jalannya sejarah melalui-keluar sub-benua, dan masih mendefinisikan budaya daerah berikut dua hari. Link ini ditandai tingkat baru pembangunan untuk pendaratan yang utama komunitas oleh 300 B.C.E. Namun, itu adalah jenis baru pembangunan yang memperlihatkan kebangkitan negara-kota kecil yang dijalankan oleh monarki-monarki, tentara, senjata logam yang digunakan untuk pertempuran, kuda kereta yang ditarik lembu, dan tentu saja, politik menjadi permainan kekuasaan.
Indo-Gangga link paling unarguably mendefinisikan suasana budaya utama streaming Pakistan hari ini. Secara intrinsik adalah link teritorial; orang-orang Sungai Indus mendirikannya dengan Sungai Gangga, dari naluri semata-mata manusia untuk bertahan hidup. Peradaban Lembah Indus Apakah tidak kegagalan secara keseluruhan. Kehilangan bagian dari dirinya sendiri dalam bentuk kota Mohenjo-daro, serta kota-kota kecil di selatan, dan Teluk perdagangan di sepanjang pantai Makran. Tetapi dengan menggeser Timur, itu mendapat air sistem lain yang membantu mengembangkan budaya lembah Indus, pemikiran, agama, dan perdagangan. Sejarah budaya Indus adalah sejarah pergeseran teritorial. Itu naturalizes ide etnis yang beragam, tidak hanya secara bersamaan, tetapi inter-breeding untuk membuat etnik yang baru. Semua ini telah terjadi selama 5000 tahun, dan dalam tanah. Untuk mengabaikan hal ini, adalah untuk mengabaikan sejarah budaya kami yang mendasar. Budaya kita adalah budaya asli karena kami mengubah lanskap. Orang-orang dari Indus dipengaruhi wilayah Sungai Gangga terutama, dan bukan sebaliknya. Budaya yang dilakukan hari ini adalah budaya yang telah dipraktekkan selama berabad-abad di lembah Indus. Aman untuk mengatakan bahwa sejarah sub-benua dimulai di daerah Indus.

Harappa & Mohenjo-daro

Based on research by Sonia SaleemHarappa or “Hari-Yupuya” as mentioned in the “Rig Veda” marked the height of urban development of the Indus valley civilization at 2600 B.C.E till 1900 B.C.E. for 700 years. Harappa is located in the present day province of Punjab, near the city of Sahiwal, and in its full glory was the perfect proto-type of a fully developed city of the Indus valley civilization. It was the perfect reflection of the kind of organized thought which the Rig Veda emphasized. [Wheeler, Kenoyer].
Harappa has the same humble beginnings as any other large city. It began as a village settlement, gradually growing over the centuries to accommodate renowned craft industries, world accessible markets, and clean residential areas and cemeteries. Harappa is 128,800 hinterland, and 150 hectares in area. Harappa city was so developed and central to the Indus Empire that the name Harappa became synonymous with the dominant culture at the time, followed by all the other cities in the Indus region, right down to Kutch on the coast in present day India. [Rehman, Kenoyer]. Accordingly, the ruins of Harappa are three miles in circumference. The ruins of this city are split up into mounds, labeled from mound A, to G by archeologists, making points easily identifiable. The mounds were common to all Indus cities, and the higher the mound, the more central and important that area was in the city. For example the citadel mound was almost always the highest mound. This archetype Indus city was built on the east-west, north –south axis, and was surrounded by four city walls with a large entrance gate on the western wall. The gate was 2.8 meters wide, and 3 to 4 meters high, [Kenoyer], fixed with rooms or look out posts at the top. [Kenoyer]. Inside the gateway there was a grand space for a market making it easier for goods to be transported in and checked, taxed and sold. The Ox and cart was the method used to transport these goods, and the entrance was just big enough to allow one cart in and out at a time. Once inside the city gate, and past the market space, a network of roads led in to the centre of the city. The north road led to all the shell and agate workshops, the west road lead to the copper-craft workshops. Evidence of a caravanserai is found outside, and south of the main city gate. It contained houses, drains, baths, a wel,l and stables for horses. [Kenoyer 55].
It was a complete and accommodating stop for traveling traders and merchants, as Harappa was an integral part of an ancient trade route. Traders in fact helped the infra-structure flourish in the region. Kenoyer mentions that a modern road used at present outside of the city gates, near the old site of the caravanserai was in all likelihood laid out 4500 years ago by Harappan traders. This caravanserai was used for post transfers along the route as well, serving Lahore and Multan. This caravanserai was kept in use for thousands of years later by traveling traders, again verifying the fact that the city of Harappa was situated in a strategic position for trade routes.
A second gate was located 200 meters east of the first one. This gate led into a suburb of the city which also produced ornaments, crafts and other artifacts for trade. This gate also had a caravanserai approximately 50 meters south outside, to accommodate the traders who came to this part of the city. [Kenoyer 55].
There is no evidence of a palace or a huge residency for a monarch or ruler in the centre of the city. However there is a large building amongst many discernible houses in the northern suburb of the city. But it is thought that it was a storehouse, as there are many circular work-platforms upon which craft work, and ceramics were made. [Kenoyer 55]. According to the map of Harrapa, made by Sir Mortimer Wheeler, besides the carvanserai’s, the granaries, cemeteries, and the workmen’s quarters were outside the city walls. From the map it also seems like the western wall contained most of the gates accessible to the city, as well as the main entrance. The expansion of Harappa was gradual, and migrants from other cities, and nations were not unusual. However one culture was dominant in Harappa, and in fact Harappa culture dominated the rest of the cities too. This ensured peace and harmony throughout the Indus region. Even before Harappa became the epicenter of culture, peace and harmony dominated the Indus region. Non-violence, even in the form of self-defense, was a part of Indus religion, thus all invasions or migrations were not resisted, nor were there any clashes amongst tribes. The gates of the city were not constructed to counter any kind of military attack, nor were the walls made for self-defense. Walls surrounding mounds with in the city just demarcated different areas. [Kenoyer 56]. An imminent threat of war was not even an idea or a thought in the Indus valley. A uniform culture propagated peace. The city catered specifically to the smooth running of trade, and business, another integral of Indus religion.
Mohenjo-daro
Mohenjo-daro, or “Mound of the Dead” is thought to be similarly built to Harappa as all Indus cities possessed a common design reflecting Vedic, organized thought. It can also be prided in being the first city in the world to have a full-fledged draining system. A vast draining system for a whole city was invented in the land of the Indus.
The city of Mohenjo-daro is 169,260 sq km hinterland, and is 250 hectares. [Kenoyer]. This also suggests that Mohenjo-daro is older than Harappa. However, the remains of Mohenjo-daro are not all complete as they are at the excavated site of Harappa. There are no physical remains of walls and gateways, but the size of the foundations of these walls surrounding the city suggest that these walls were probably grander than those of Harappa. Mohenjo-daro was frequented by floods, which is the main reason why it did not flourish in the same way that Harappa did, and was probably the cause of its ultimate destruction. The eastern citadel at the time was situated very close to the Indus River. Flooding in this region is still a concern and a problem, even though the nearest branch of the river has shifted 3 miles away to the east. [Wheeler].
A Buddhist stupa and monastery were found on top of the western citadel, and were built there several centuries after the demise of the Indus civilization, in 200 B.C.E. Between the complete demise of the Indus civilization, and the spread of Buddhism, no other city as big as Mohenjo-daro existed in this region. Mohenjo-daro was thus built as a grid, organized on a north-south, east-west axis. It was built as a slope, obviously to counter the floods. The western citadel was the highest mound, which gradually ran down east, making the eastern citadel the lowest mound. Similar to Harappa, the highest mound marked the more important, central part of the city, where dignitaries and rulers lived, and probably was the hub for trade in this part of the Indus Empire.
Harappa and Mohenjo-daro were the capital cites of the Indus civilization, however the Indus River was not the only water-way which was included in this civilization. The Ghaggar-Hakra River was the other river feeding the Indus valley civilization, but dried up over the centuries to become the Cholistan desert. It ran through the areas of present day Punjab and Sindh, parallel and east of the Indus. The capital cities, and the cities of Ganweriwala, Rakhigarhi, were situated on different points of the banks of the Indus, fundamentally to be a part of the trade routes. The latter two covered only 80 hectares each in area, but were just as important for trade. Dholavira covered 100 hectares in area, and was the most furthest away from the centers, but was situated on the Rann of Kutch, which is now present day Indian Gujarat. Thus it served as a good base to import and export goods beyond the Arabian Sea, and fish, and sea shells found to be supplied and channeled around the Indus civilization. These smaller cities were built much in the same organized, grid like manner as the capitals. Indus architecture can be defined as logical, neat, functional, simple, and strives for order and organization. [Kenoyer, Wheeler]. Religion and trade routes were evidently the crux and core of the existence of these cities.
“Life is one long process of getting tired.” [Samuel Butler.] A territorial shift of Indus culture to the Ganges region; .
All things, great or small must come to an end. A great, thriving, and peaceful civilization such as the Indus civilization surprisingly did come to an end. It is thought that environmental changes, and tectonic plate shifts under the earth helped in its demise. Natural causes suggest an evolution, a slow and steady gradual change from the center of trade commerce shifting east to other major water systems in the sub-continent. The entire civilization shifted east, and south.
According to Sir Mortimer Wheeler, the exact cause is ambiguous. He says “Over-ambitious wars, barbarian invasions, dynastic or capitalistic intrigue, climate, the malarial mosquito have been urged severally in one context or another as an over-all cause.” [126, Wheeler.] Thus there is not a single cause for the demise of the Indus civilization. Perhaps it is safe to say that as a civilization that describes a population, it did not really demise, but moved. As a race, the Indus civilization is alive, and has evolved, and the people are known as Pakistani’s today. A history of the Indus civilization as a race is a history of shift and change, but gradual change and evolution, not dramatic upheavals or revolution. The Indus people did not die off. They just simply moved around the vast sub-continent due to unavoidable environmental circumstances. And since the time of the Aryan invasions, the inter-play with merchants from around the Gulf and Mesopotamia, and the rest of the sub-continent, the Indus valley race has always been subjected to changes. It was an area that primarily welcomed foreign influences, for strong trade ties. Racial intermingling and foreign influences were natural features of the Indus valley civilization B.C.E. Vedism developed with Aryan interjection, which eventually developed in to Brahamism, Jainism, and Buddhism. Trade made the Indus region famous, and attractive to foreigners. A history of the Indus region is a history of invasions.
As an Empire, as a fantastic, old, and rooted geo-economical force, the Indus valley civilization did come to an end. Mohenjo-daro was in all probability named “Mound of the dead”, because it was a city that was perpetually flooding, causing reoccurring destruction and reconstruction. There was a point where the population thought it wiser to move in the end, instead of reconstructing. The floods were as frequent as annual; the River Indus would swell each year due to rain and melting snow. It gradually became increasingly undesirable, unsafe and completely uninhabitable. Evidence of extreme flooding was still apparent as silt-clay deposits lay over the entire city; over the debris at the time of its excavation. Underneath the mass slush of clay were buried layers upon layers of brick platforms upon which the residents of the city kept rebuilding their homes and shops after a recent flood. [Wheeler]. According to research done by Dr. Dales in 1960, sea trade had actually stopped along the Makran Coast with the Persian Gulf around 1900 B.C.E. because of frequent flood-destruction making Mohenjo-daro unfit for international trade, and markets. This meant that the demise of Mohenjo-daro was inevitable. [Wheeler]. In fact residents of the city who could afford to move and rebuild their lives in other cities had found it more feasible to leave, consequently turning the affluent city of Mohenjo-daro in to a desperate slum. The focus of trade thus shifted to Harappa and the Rann of Kutch and its urban city Dholavira became the sea route for Persian trade. Harappan success was thus also inevitable.
Harappa did not demise as a city, as natural calamity did not hit its path. However, the importance of Harappa as the hallmark of Indus culture did shift.
It is mentioned above repeatedly that Harappan culture defined Indus culture as a whole, by 2600 B.C.E onwards. This period was marked by the height of the Indus region’s success as a flourishing, and progressive civilization. However 1900 B.C.E onwards saw a gradual shift of the territorial centre of culture from the Indus region to the middle, the Ganges River region. This was also known as the late Harappan phase. Indus culture, also known as Harappan culture shifted a long with its people, giving space for it to evolve into a new civilization, by accumulating new beliefs. Harappan unity broke down in to fragmented, smaller societies, spread-out as far as Afghanistan, and Central Asia in the north-west, and the Ganga-Yamuna Rivers in the south-east. Opportunity cost? Or just plain opportunity? Buddhism evolved around 600 B.C.E and spread though-out the sub-continent, whilst continuing to endorse the importance of trade. Most traders and merchants were Buddhists, as this knowledge system believed in equality, as opposed to the Aryan tradition of social hierarchy. Trade routes thus spread, resulting in more invasions, more political upheavals, more trade, more migrations, and a spread of Buddhism. Most caravanserais were also Buddhist monasteries, where Buddhist monks were ready to serve the weary traveling merchant by 300-200 B.C.E. Alexander the Great arrived in 326 B.C.E. only to begin a new era of culture which was a mixture of Greek and Buddhist culture known as Ghandara culture. Indus culture had evolved in to a more mature school of thought, as well as holding on to the importance of trade, and was more wide-spread. It allowed for the development of areas, such as Gujurat, and other water systems, such as The Yamuna-Ganga systems by being included in the ever expanding trade-routes. [Kenoyer].
Other smaller cities and villages around the Indus region demised simply because of a shift in the direction of the mighty river, causing most river beds to simply dry out completely. This left agricultural development in the pits. People had to move east. Besides trade, and agriculture, Indus art and craft practices were also kept alive. Pottery technology flourished, and saw more animals being included on these pots for decoration. It thus became easy to tell how far Indus culture spread and evolved. [Kenoyer].
This new tradition came to be known as the Indo-Gangetic tradition, a very valuable link which has determined the course of history through-out the sub-continent, and still defines the culture of these two regions today. This link marked a new level of development for the settling communities by 300 B.C.E. However, it was a new kind of development which saw the rise of small city-states run by monarchies, armies, metal weapons used for combat, horse-drawn chariots instead of ox-pulled ones, and of course, politics became the game of power.
The Indo-Gangetic link unarguably defines the main-stream cultural atmosphere of Pakistan today. It is intrinsically a territorial link; the people of the Indus River established it with the Ganga River, out of the sheer human instinct to survive. The Indus valley civilization did not demise in entirety. It lost a part of itself in the form of the city of Mohenjo-daro, as well as smaller cities in the south, and Gulf trade along the Makran coast. But by shifting east, it gained another water system which helped develop Indus valley culture, thought, religion, and trade. The history of Indus culture is a history of territorial shift. It naturalizes the idea of diverse ethnicities, not only existing together, but inter-breeding to make new ethnicities. All this has taken place over the course of 5000 years, and in one land. To ignore this, is to ignore our fundamental cultural history. Our culture is an indigenous culture by virtue of our changing landscape. The people of the Indus influenced the Ganges River region primarily, and not vice-versa. The culture that is practiced today is the culture that has been practiced over the centuries in the Indus valley. It is safe to say that the history of the sub-continent began in the Indus region.

Prof.Dr. Abdul Hadi WM