Selasa, 19 Februari 2013

Beranda » » Jatiduwur, Desa Kuno Peninggalan Majapahit

Jatiduwur, Desa Kuno Peninggalan Majapahit

Baru-baru ini, budayawan Viddy Ad Daery “blusukan” lagi dan meneliti folklore di desa Jatiduwur , sebuah desa di tepi Sungai Brantas yang masuk wilayah Jombang, Jawa Timur. “Struktur desa Jatiduwur dan sekitarnya amat teratur dan polanya masih persis dengan kondisi desa kuno, sebagaimana yang kita lihat polanya di Bali—meski kini Bali juga mulai hancur. Itu menunjukkan bahwa “tata kota” Majapahit sangat indah dan pro-lingkungan!” simpul Viddy.
Di Jatiduwur dan sekitarnya masih banyak kanal-kanal yang rapi. Meskipun kanal yang ada sekarang dirapikan oleh pemerintah Belanda dan dilanjutkan pemerintah Orde Baru, namun Viddy yakin itu merupakan kanal kuno yang menjadi ciri ibukota Majapahit dan sekitarnya seperti diteorikan oleh Maclaine Pont, peneliti pertama situs Majapahit di Trowulan, perbatasan Mojokerto-Jombang.
“Desa di dekat Jatiduwur adalah Tambak Beras yang juga penuh kanal, karena itu dalam sejarah awal Majapahit dikisahkan perkelahian satu lawan satu antara Ronggolawe dan Kebo Anabrang adalah di Kali Tambak Beras, dan itu berarti pertempuran terjadi di kanal-kanal, bukan di Sungai Brantas yang dulunya sangat lebar, jadi secara logika tidak mungkin dipakai arena berkelahi”, simpul Viddy lagi.
Kanal-kanal dari ibukota Majapahit di Trowulan menuju Jatiduwur itu pula yang mungkin dimanfaatkan oleh Gajah Mada melarikan Prabu Jayanegara dari amukan pemberontak pimpinan Ra Kuti.
Kenapa menuju Jatiduwur? Kenapa tidak lari ke Malang atau ke Bali? Itulah yang membuat teori Viddy bahwa Gajah Mada lahir atau dibesarkan di Modo, Lamongan semakin mendapat kekuatan dukungan logika.
“Jatiduwur adalah desa paling dekat dengan penyeberangan sungai menuju ke arah Modo. Kenapa menuju Modo ? karena disanalah Gajah Mada mempunyai paman, guru silat dan teman-teman masa kecil yang akan dimintainya pertolongan.” Jelas Viddy yang bulan depan meluncurkan novel serialnya “Pendekar Sendang Drajat” jilid ke empat.
Menurut Supriyo,Spd, seorang aktifis budaya, pelatih tari topeng Klono Jatiduwur dan guru matematika di Kudu, ada folklore kuno di Jatiduwur, bahwa dulunya ada kepala desa Jatiduwur yaitu Ki Ageng Jatiduwur yang membangun desa Jatiduwur sejak zaman Kerajaan Singosari. Suatu hari, ketika Ki Ageng Jatiduwur sudah tua, kedatangan rombongan pelarian Majapahit dipimpin Bekel Bhayangkara Gajah Mada.
Maka Ki Ageng Jatiduwur melindungi rombongan itu selama beberapa hari, sambil memerintahkan anak buahnya untuk membuat rakit bambu. Sampai kini masih banyak hutan bambu di Jatiduwur.
Setelah rakit bambu siap, maka pada suatu malam, rombongan pelarian Majapahit itu diseberangkan diam-diam menyeberangi Sungai Brantas menuju ke desa seberang, yaitu desa Kudu dimana dari situ ada jalan menuju Modo melewati desa Badander, Kabuh. Namun rupanya, baru sampai Kabuh, Prabu Jayanegara sudah minta berhenti. Apalagi kepala desanya, Ki Buyut Badander bersedia melindungi. Akhirnya rombongan Majapahit bersembunyi di desa Badander, Kabuh. Namun sayang, sejarah nasional menulis desa persembunyian Jayanegara adalah di Dander, Bojonegoro.
“Jadi banyak kesalahan fatal dalam buku Sejarah Nasional !” tegas Viddy, yang kini sedang mempersiapkan diri untuk sekolah pasca sarjana tingkat PhD di UPSI Tanjung Malim, Perak, Malaysia.
( KI SEMAR SUWITO – Peneliti dan Manager PERSADA TV Drajat, Paciran, Lamongan, Jawa timur )
Editor :
Jodhi Yudono