Senin, 04 Februari 2013

Beranda » » Jejak Yahudi Di Madinah (1)

Jejak Yahudi Di Madinah (1)

madinah

Seputar Terminologi Yahudi Dan Bani Isra’il
Yahudi dan Bani Isra’il merupakan kata yang selalu digunakan pada periode Sirah untuk menyebut para pengikut ajaran Taurat. Meskipun tampak menonjolkan aspek keagamaan, tapi sebenarnya ada perbedaan mendasar antara keduanya. Bahkan, pemaknaan Yahudi sendiri tidak bersifat baku, melainkan mengalami perkembangan yang cukup radikal mengikuti fase­fase sejarah yang dilalui oleh salah satu rumpun bangsa Semit ini.
Pada dasarnya, kata Yahudi merupakan penisbatan yang memiliki sifat hubungan darah, yakni keturunan Yahuda (Yahudza) bin Ya`qub. Dari garis keturunan inilah lahir Dawud as. dan Sulaiman as. yang merupakan simbol kebesaran bangsa ini sepanjang masa. Kebanggaan Yahudi adalah kata yang dinisbatkan kepada Yahuda, salah seorang putera Nabi Ya`qub as.
Masyarakat Yahudi di Hijaz Sebelum Islam
Tidak banyak sumber sejarah yang menjelaskan asal­usul keberadaan Yahudi di wilayah Hijaz yang meliputi Mekah, Madinah, Thaif, Khaibar, Fadak, Taima dan sekitarnya. Sumber sejarah yang ada, terbatas pada beberapa catatan sejarawan muslim, yang berarti penulisannya dilakukan setelah kedatangan Islam. Sementara catatan sejarah sebelum Islam, bisa dikatakan sangat langka. Itupun terbatas pada ungkapan para penyair dalam puisi­puisi mereka. Alhasil, permulaan kedatangan masyarakat Yahudi ke Hijaz tidak dapat dipastikan, karena tidak didukung data dan fakta yang memadai.
Namun berbagai indikator menunjukkan, keberadaan masyarakat Yahudi di tanah Hijaz sudah berlangsung sejak lama. Kondisi politik yang tidak di stabil di Palestina sejak penyerangan Babilonia hingga Romawi, mendesak masyarakat Yahudi mencari perlindungan bahkan pemukiman baru di pelbagai daerah, terutama daerah­daerah yang memiliki hubungan langsung dengan Palestina, seperti Hijaz. Selain faktor politik di Palestina, kesuburan tanah di beberapa wilayah Hijaz, seperti Yatsrib (Madinah), Khaibar, Taima, Wadi al­Qura dan Fadak, mendorong masyarakat Yahudi untuk menjadikannya sebagai alternatif pemukiman baru bagi mereka (Jawad Ali : 3675).
a. Aspek Sosial Politik
Di pemukiman baru tersebut, masyarakat Yahudi hidup berdampingan dengan pribumi yang telah lebih dulu tinggal di tempat itu. Kondisi ini memaksa mereka melakukan penyesuaian dengan budaya dan tradisi lokal. Meskipun di Madinah, Khaibar dan Wadi al­Quran, mereka berhasil mendominasi berbagai aspek kehidupan tapi mereka tetap tidak dapat menghindari tuntutan-­tuntutan pragmatis di tempat baru. Cara berpakaian dan nama mengikuti tradisi Arab. Samuel bin Yazid, Zubair bin Batha, Sallam bin Misykam, Huyay bin Akhthab, adalah nama­nama tokoh Bani Qainuqa` dan Bani Nadhir. Komunikasi sehari­haripun menggunakan bahasa Arab, meskipun masih ada pengaruh aksen Ibrani. Bahkan sebagian dari kalangan Yahudi dikenal pandai berpuisi dalam bahasa Arab, diantaranya adalah Ka`b bin Sa`d al­Qurazhi, Sarah al­ Qurazhiyah, Rabi` bin Abi al­Huqaiq dan Ka`b bin Asyraf (Jawad Ali: 3738).
Tidak hanya bahasa dan budaya, pernikahan antara etnik Bani Israil dan Arab juga tidak dapat dihindari. Ka`b bin Asyraf adalah contohnya. Menurut salah satu riwayat, ayahnya adalah keturunan Arab Thai’ sedangkan ibunya berdarah asli Bani Israil. Jawad Ali memberi alasan, perkawinan silang antar etnik ini dapat terjadi karena –antara lain— sejumlah orang Arab memeluk agama Yahudi.
Ketika masyarakat Yahudi tiba di Madinah, sejumlah kabilah Arab kecil telah mendiami kota tersebut. Namun demikian, klan­klan besar Yahudi, seperti Bani Nadhir, Bani Quraizhah dan Bani Qainuqa` berhasil menempati tempat­tempat strategis. Daerah `Awali (Wadi Mudzainib), Wadi Mahzur dan Wadi Buth­han yang merupakan sumber air di Madinah, berhasil dikuasai. Selain tanah, mereka juga menguasai perdagangan. Pasar Bani Qainuqa` menjadi pasar paling ramai dan lengkap, sekaligus jantung perekonomian Madinah.
Sejak kedatangan Aus dan Khazraj, dua klan Arab berasal dari Azd (Yaman), dominasi Yahudi di Madinah mulai pudar. Aus dan Khazraj berhasil menggeser posisi Yahudi meskipun tidak dapat menguasai daerah­daerah subur yang menjadi pemukiman dan kebun mereka.
Kehadiran Aus dan Khazraj yang mengancam hegemoni dan stabilitas masyarakat Yahudi tidak disikapi secara konfrontatif. Masyarakat Yahudi lebih mengutamakan perlindungan internal dengan membangun bangunan-­bangunan kokoh di daerah pemukimannya dalam bentuk benteng, atham (semi benteng) dan ratij (rumah berdinding tanah liat). As­Samhudi –dalam kitab Wafa’ al­Wafa—menyatakan terdapat lebih dari 59 atham dan ratij milik Yahudi di Madinah.
Di dalam batas lingkungan eksklusif itulah, masyarakat Yahudi melakukan segala aktivitas yang terkait antara sesama mereka, sehingga kondisinya mirip dengan komunitas Ghetto yang identik dengan budaya masyarakat Yahudi di seluruh penjuru dunia semasa diaspora.
Dalam berhubungan dengan komunitas lain di Madinah, masyarakat Yahudi tampaknya lebih bersikap pragmatis. Perpecahan di kalangan internal Yahudi mendorong mereka untuk membangun aliansi dengan masyarakat Arab guna memperkuat posisinya. Bani Qainuqa` beraliansi dengan Khazraj, sedangkan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah beraliansi dengan Aus (al­Syarif: 267).
Perpecahan internal Yahudi bukan semata­mata strategi jitu mereka untuk memecah belah kekuatan Aus dan Khazraj yang menjadi rival mereka. Sekalipun secara tidak langsung, tujuan tersebut tercapai. Pada kenyataannya, klan-­klan Yahudi itu memang pecah, terutama setelah menapaki puncak kekuasaan di Madinah. Bani Nadhir dan Bani Quraizhah memandang status mereka lebih terhormat daripada Bani Qainuqa`. Kedua klan Yahudi tersebut berasal dari garis keturunan al­Kahin (Cohen), keturunan Nabi Harun as yang dikenal relijius dan sangat terhormat (Ibn Hisyam: 2/202).
b. Aspek Ekonomi
Sejak sebelum kedatangan Aus dan Khazraj hingga masa Islam. Yahudi Madinah tetap menguasai perekonomian kota tersebut. Bani Nadhir dan Bani Quraizhah menguasai tanah­tanah tersubur, sedangkan Bani Qainuqa` mengusai pasar terbesar. Kemahiran masyarakat Yahudi dalam bercocok tanam yang diwarisi dari Palestina juga mereka terapkan. Begitu juga kelihaian membuat perhiasan, pakaian, baju perang, senjata, alat­ alat pertanian dan profesi lainnya semakin mengokohkan dominasi mereka atas perekonomian Madinah.
Perdagangan valuta dan praktik riba juga dikenal luas di Madinah. Dalam hal ini, tokoh­ tokoh Yahudi dan Arab memainkan peran yang sama. Bunga riba yang dibebankan kepada peminjam kadang-­kadang lebih besar dari jumlah utang, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan memicu banyak konflik (al­Syarif: 301­302).
Hubungan dagang para saudagar Yahudi Madinah dan Khaibar terjalin dengan baik. Letak Madinah sebagai transit kafilah-­kafilah dagang Quraisy yang bertolak menuju pasar­-pasar besar di Gaza dan Syam tentu dimanfaatkan dengan baik oleh para pedagang domestik Madinah. Begitu juga Khaibar yang terletak di persimpangan jalan dagang kafilah-­kafilah Ghathafan dan beberapa kabilah Najed lainnya.
Aspek Pendidikan dan Keagamaan
Lingkungan eksklusif masyarakat Yahudi di Madinah menjadi tempat ideal untuk mengembangkan pendidikan dan tradisi keagamaan. Lembaga pendidikan Yahudi di Madinah dikenal dengan nama Bait al­Midras yang berasal dari bahasa Ibrani, Midrash, yang berarti kajian dan penjelasan teks­teks keagamaan. Tampaknya, Midras juga berfungsi sebagai tempat ibadah dan pertemuan penting untuk membahas masalah­ masalah agama (Jawad Ali: 4876).
Meskipun orang­orang Yahudi tidak tertarik menyebarkan agama, tapi bukan berarti tidak ada orang Arab yang memeluk Yahudi. Kondisi sosial yang majemuk, kebutuhan pragmatis yang berkaitan dengan ekonomi dan keamanan, serta faktor­-faktor lainnya, membuat orang-­orang Yahudi berkepentingan dengan adanya orang­-orang Arab yang memeluk agama mereka. Namun perlu dicatat, pilihan memeluk agama Yahudi ini dilakukan oleh individu­individu dan tidak ada fakta yang menyebutkan perpindahan agama secara masif yang dilakukan oleh satu kabilah Arab secara bersama­sama (al­ Syarif: 248).
Hubungan Yahudi dengan Masyarakat Muslim
a. Apakah Rasulullah saw. Berhubungan dengan Penganut Yahudi di Mekah?
Banyak ayat Al­Qur’an yang menyinggung Bani Isra’il dan agama Yahudi. Kedudukan mereka sebagai Ahl al­Kitab menjadi sorotan tersendiri, karena sepatutnya merekalah orang yang lebih cepat menerima ajaran Al­Qur’an yang merupakan penerus dan membenarkan ajaran asli Taurat. Persinggungan wacana yang dikembangkan dalam Al­Qur’an mendahului kontak fisik antara Rasulullah saw. dan kaum muslimin dengan masyarakat Yahudi. Meskipun sulit dipungkiri adanya sejumlah saudagar Yahudi yang berdagang ke Mekah dan tinggal disana untuk urusan berbisnis, namun tidak ada fakta yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah berhubungan dengan mereka, terlebih lagi dalam masalah agama.
Kabar tentang masayarakat Yahudi tentu diketahui, bahkan dikuasai dengan baik oleh Rasulullah saw. Selain cepat atau lambat, pasti akan berhubungan dengan penganut Taurat tersebut, harapan Rasulullah saw. untuk menemukan alternatif pusat dakwah Islam selain Mekah, mendesak beliau untuk mengetahui lebih detail kondisi masyarakat­ masyarakat di sekitarnya, termasuk Madinah.
Karena itu, saat menemui sekelompok pemuda Khazraj di Mina, pertanyaan pertama yang beliau sampaikan adalah, “Apakah kalian orang-­orang yang beraliansi dengan Yahudi?”. (Ibn Hisyam: 428). Tampaknya beliau sudah sangat menguasai seluk beluk karakter sosial Madinah, termasuk hubungan Aus dan Khazraj dengan klan­klan Yahudi yang tinggal berdampingan dengan mereka itu.
b. Dakwah Rasulullah saw. kepada Masyarakat Yahudi
Hubungan dakwah Rasulullah saw. dengan Yahudi Madinah terjalin sejak dini. Riwayat Bukhari dan Ibn Ishaq mengisyaratkan kedatangan Abdullah bin Salam, seorang ulama Yahudi Bani Qainuqa`, dan keputusannya memeluk Islam terjadi hanya beberapa saat setelah beliau menetap di Madinah. Peristiwa ini pula yang memicu undangan Rasulullah saw. kepada masyarakat Yahudi untuk mengajak mereka memeluk Islam dan menjadikan Abdullah bin Salam sebagai bukti pembenarannya (al­Mubarakfuri: 140).
c. Piagam Madinah; Konsepsi Konstitusi Islam untuk Masyarakat Plural
Kedatangan Rasulullah saw. ke Madinah secara langsung menjadi penguasa baru di kota tersebut, karena Aus dan Khazraj, dua klan Arab yang mendominasi Madinah, adalah pihak yang mengundang sekaligus mengangkat beliau sebagai pemimpin. Latar belakang masyarakat Madinah yang sangat majemuk, karena terdiri dari beberapa etnik Arab dan Yahudi mendesak adanya peraturan umum yang mengatur kehidupan bersama dengan baik. Disinilah letak pentingnya Piagam Madinah yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. berdasarkan kaedah dan prinsip Islam. Hal ini juga membuktikan, ajaran Islam dapat mengatur kepentingan bersama masyarakat muslim dan non muslim, tanpa harus menghilangkan karakter khas masing­masing, terutama agama.
Al­Mubarakfuri merangkum beberapa bagian pasal Piagam Madinah yang mengatur hubungan masyarakat Muslim dengan Yahudi seperti berikut,
1. Yahudi Bani `Auf merupakan satu komunitas bersama masyarakat Mu’min. Orang­orang Yahudi berhak menjalankan agama mereka dan orang­orang muslim berhak menjalankan agama mereka…begitu juga klan­klan Yahudi lainnya diluar Bani `Auf.
2. Masyarakat Yahudi harus menanggung biaya hidupnya sendiri dan orang­orang muslim juga harus menanggung biaya hidupnya sendiri.
3. Masyarakat Yahudi dan Muslim harus saling bahu membahu melawan musuh yang menyerang pihak yang menandatangani Piagam ini.
4. Mereka juga harus saling memberi saran dan nasihat dalam kebaikan, tapi tidak demikian dalam kejahatan.
5. Siapa pun yang dizalami maka wajib ditolong.
6. Masyarakat Yahudi dan Mu’min harus bersatu padu ketika diserang musuh.
7. Jika terjadi perselisihan atau pertikaian antara pihak­pihak yang menyepakati Piagam ini, sehingga khawatir akan merusak hubungan, maka keputusannya harus dikembalikan kepada hukum Allah azza wa jalla dan Muhammad, utusan Allah SAW
8. Siapa pun tidak boleh memberi suaka (perlindungan) kepada Quraisy dan pendukungnya (al­Mubarakfuri: 182). (Bersambung)
 Asep Sobari Lc