Senin, 04 Februari 2013

Beranda » » Jejak Yahudi Di Madinah (2)

Jejak Yahudi Di Madinah (2)

madinahPengkhianatan dan Konspirasi Yahudi
Dipandang  dari  sudut  mana  pun,  bagi  masyarakat  Yahudi,  kedatangan  Rasulullah  saw. dan kaum  muslimin ke Madinah tidak  menguntungkan. Keharmonisan Aus dan Khazraj adalah  ancaman  terbesar  sejak  lama, apalagi  ditambah  pihak  ketiga  yang  menjadi kekuatan  baru  yang  semakin  merekatkan  hubungan  mereka. Masyarakat  Yahudi  tidak pernah  dapat  menghapus  trauma  kehadiran  pihak  asing  yang  bertentangan  dengan kepentingan mereka. Eksistensi Yahudi di Madinah benar­benar diambang kehancuran.
Terlebih  lagi,  masyarakat  Muhajirin  Mekah  adalah  pedagang­pedagang  handal.  Sejak hari­hari pertama kedatangannya, Abdurrahman bin `Auf telah menunjukkan kepiawaian dalam  meraih  keuntungan  di  pasar  Bani Qainuqa`  (Bukhari:  no.  1908).  Seiring  dengan perjalanan  waktu,  Usman  bin  `Affan,  Zubair  bin  `Awwam dan  nama­nama  populer lainnya  dalam  kancah  perdagangan  Arab  masa  itu  menjadi pesaing­pesaing  baru bagi pedagang Yahudi.
Persaingan  di  pasar  diperparah  dengan  kehadiran  aturan­aturan  baru  dalam  segala transaksi  ekonomi  yang dibuat  oleh  Rasulullah  saw.  Larangan  menipu,  menimbun, menjual khamr dan praktik riba, adalah diantara yang semakin mengekang sistem  ‘pasar bebas’  yang  berkembang  sebelumnya.  Khamr  (arak)  merupakan  komoditi yang  sangat potensial  bagi  masyarakat  Yahudi.  Selain  menjajakan  arak  lokal,  mereka  biasa mengimpornya dari Syam.
Semua  faktor di atas, selain tentu saja keyakinan  dan  agama,  meningkatkan ketegangan antara Yahudi dan kaum muslimin. Beberapa fakta membuktikan adanya usaha individu ataupun  kolektif  kelompok  Yahudi  untuk memicu  perselisihan  hingga  perang  besar­ besaran.
a. Benih­benih Pengkhianatan
Ibn  Ishaq  meriwayatkan,  Syas  bin  Qais,  seorang  sesepuh  Yahudi  melewati  sekelompok pemuda  Aus  dan Khazraj  yang  sedang  berkumpul.  Mereka  terlibat  perbincangan  yang hangat dan akrab. Pemandangan  ini membakar  hati Syas,  maka segera  ia suruh seorang pemuda  Yahudi  untuk  ikut  dalam  pembicaraan  tersebut dengan  mengingatkan  mereka kepada  peristiwa  kelam  di  masa  lalu,  perang  Bu`ats  yang  telah  menelan korban  tokoh­ tokoh besar Aus dan Khazraj.
Kehangatan segera berubah menjadi ketegangan. Kedua kelompok Anshar tersebut nyaris saja  baku  hantam, bahkan  terlibat  pertumpahan  darah,  jika  saja  Rasulullah  saw.  tidak segera datang dan melerai. (Ibn Hisyam: 553­554).
Kasus  Ka`b  bin  Asyraf, tokoh terkemuka Bani Nadhir,  merupakan  model paling krusial penaburan benih pengkhiantan dalam skala individu. Kelihaian menggubah puisi, media propaganda  paling  efektif  masa  itu, menempatkan  Ka`b  dalam  posisi  yang  sangat membahayakan.  Setelah  kemenangan  kaum  muslimin  dalam perang  Badar,  Ka`b menunjukkan  permusuhannya  secara  terbuka.  Ia  segera  pergi  ke  Mekah  untuk mengucapkan simpati dan  bela  sungkawa atas terbunuhnya pembesar­pembesar Quraisy di  Badar  dalam rangakaian  puisi  yang  menyayat  hati.  Tidak  cukup  disitu,  ia  juga mengobarkan  semangat  Quraisy  untuk segera  melupakan  kekalahan  dan  menyiapkan pembalasan yang jauh lebih hebat (al­Shallabi: 2/56­58).
b. Konspirasi Yahudi
Bani  Qainuqa`  adalah  klan  Yahudi  yang  lebih  dulu  menunjukkan  aksi  pengkhianatan kolektif  terhadap kesepakatan  Piagam  Madinah.  Kemenangan  kaum  muslimin  di  Badar membuka  mata  mereka,  bahwa kekuatan  dan  dominasi  kaum  muslimin  di  Madinah menjadi  kenyataan.  Bagi  Bani  Qainuqa`,  ketergantungan ekonomi  kepada  mekanisme pasar yang mereka kuasai tidak lagi menggairahkan seperti dahulu.
Tampaknya  benih  pengkhiantan  kolektif  Bani  Qainuqa`  telah  tercium  oleh  Rasulullah saw.  Menurut  Abu Dawud,  beberapa  saat  setelah  kembali  dari  Badar,  Rasulullah  saw. mengumpulkan  Bani Qainuqa` di pasar mereka untuk  memberi peringatan. Namun  juru bicara Bani Qainuqa` malah menjawab, “Hai Muhammad! Jangan pernah merasa bangga hanya  karena  berhasil  membunuh  segelintir  orang­orang  Quraisy  yang  tidak  pandai berperang itu. Seandainya kami yang menjadi lawanmu, engkau baru akan tahu, kamilah tandinganmu yang sebenarnya. Dan, engkau tidak akan banyak berkutik melawan kami”. (al­Mubarakfuri: 226)
Sebatas  perlawanan  verbal,  Rasulullah  saw.  hanya  melihatnya  sebagai  indikator pengkhianatan. Tapi  setelah terjadi  kasus  pelecehan  wanita  muslim  di  pasar  Bani Qainuqa` yang disusul dengan pembunuhan lelaki muslim yang membelanya, Rasulullah saw. mengepung Bani Qainuqa` lalu mengusir mereka dari Madinah. Pembunuhan Ka`b  bin  Asyraf  dan  pengusiran  Bani  Qainuqa`  dari  Madinah  cukup meredam  gejolak  pengkhianatan  klan Yahudi  lainnya.  Tapi  kekalahan  kaum  muslimin dalam  perang  Uhud  dan  tragedi  Bi’r  Ma`unah menumbuhkan  kepercayaan  diri  Yahudi. Bani  Nadhir,  klan  yang  paling  kuat  saat  itu,  berkhianat.  Diawali dengan  memberi perlindungan  kepada  Abu  Sufyan  saat  melakukan  oprasi  militer  (Perang  Sawiq)  ke Madinah (Ibn Ishaq: 108).
Pelanggaran  terhadap  salah  satu  pasal  Piagam  Madinah  tersebut  disusul  dengan pelanggaran  lain.  Bani Nadhir  tidak  bersedia  menanggung  biaya  diyat  (denda pembunuhan)  yang  seharusnya  dipikul  bersama. Bahkan  lebih  jauh  lagi,  mereka menyusun  rencana  pembunuhan  Nabi  saw.  (al­`Umari:  146).  Rencana busuk  itupun terbongkar, sehingga Rasulullah saw. segera mengumumkan ultimatum pengusiran Bani
Nadhir dari Madinah.
Mulanya Bani Nadhir berusaha bertahan karena Abdullah bin Ubay, pemimpin kelompok Munafik  menjanjikan bantuan  (al­Mubarakfuri:  280),  tapi  kemudian  menyerah  dan terpaksa meninggalkan Madinah setelah dikepung selama 15 hari. Pada dasarnya, mereka diusir  ke  Syam,  tapi  sejumlah  tokoh  penting  Bani  Nadhir  seperti Huyay  bin  Akhthab, Salam bin Abi al­Huqaiq dan Kinanah bin Rabi` memutar haluan menuju Khaibar, koloni Yahudi terkuat di Hijaz. (al­Umari: 149).
c. Kelihaian Lobi Yahudi; Kasus Perang Ahzab
Ahzab  adalah  aliansi  sejumlah  klan  Arab  besar  yang  meliputi  Quraisy,  Ahbasy, Ghathafan  bersama sekutunya.  Mereka  melakukan  kesepakatan  dengan  Yahudi  untuk menyerang  Madinah.  Perang  Ahzab  yang mencatat  rekor  fantastik  dalam  sejarah peperangan Arab saat itu, sebenarnya bisa dikatakan sebagai bukti kelihaian lobi Yahudi. Para sejarawan mengungkapkan, provokator perang Ahzab adalah sebuah tim kecil yang dibentuk di  Khaibar dan dipimpin oleh kalangan elit Bani Nadhir,  yaitu Sallam  bin  Abi al­Huqaiq, Huyay bin Akhthab, Kinanah bin Rabi`, Haudzah bin Qais dan Abu `Ammar (al­Shallabi:  2/256).  Pembentukan  tim  ini  tentu disetujui  oleh  tokoh­tokoh  Yahudi Khaibar sendiri dengan target yang sangat besar, menggalang kekuatan Arab dalam satu pasukan terpadu untuk menyerang Madinah.
Sasaran tim yang paling realistis adalah dua kabilah Arab, Quraisy dan Ghathafan. Selain merupakan  kabilah besar  dan  memiliki  sekutu  yang  loyal,  keduanya  memiliki kepentingan  langsung  dengan  Madinah. Menggalang  dukungan  Quraisy  tentu  lebih mudah,  karena  permusuhan  mereka  dengan  Madinah  sudah cukup  menjadi  pemicu utama. Tapi para provokator ini  menambahkan dukungan  moral  yang tidak kecil,  yakni memberi pengakuan bahwa agama Quraisy  lebih  baik daripada agama Muhammad saw.
Allah swt. mengecam pragmatisme murahan Yahudi ini dalam surah al­Nisa’: 51­52: “Apakah  kamu  tidak memperhatikan  orang­orang  yang  diberi  bagian  dari  Al  kitab? Mereka  percaya  kepada  jibt  dan  thaghut, dan  mengatakan  kepada  orang­orang  Kafir (musyrik  Mekah),  bahwa  mereka  itu  lebih  benar  jalannya  dari orang­orang  yang beriman.  Mereka  itulah  orang  yang  dikutuki  Allah.  Barangsiapa  yang  dikutuki  Allah, niscaya kamu sekali­kali tidak akan memperoleh penolong baginya”.
Sedangkan  untuk  meraih  dukungan  Ghathafan,  tim  Yahudi  melakukan  kontrak kesepakatan  dengan  kabilah besar  Najed  tersebut  dalam  dua  pasal  yang  saling menguntungkan;  1).  Ghthafan  harus  menghimpun pasukan  sebanyak  6000  orang;  2). Yahudi  akan  membayar  klan­klan  Ghathafan  yang  bergabung  dalam pasukan  tersebut dengan seluruh hasil panen kurma Khaibar dalam setahun (al­Shallabi: 2/257).
Lobi Yahudi  ini  berhasil dengan gemilang.  Kabilah­kabilah  Arab  yang telah  melakukan kesepakatan  itu berdatangan  ke  Madinah  dengan  seluruh  kekuatan  yang  mereka  miliki. Tidak  tanggung­tanggung,  jumlah mereka  mencapai  10.000  pasukan.  Jumlah  yang disebut  al­Mubarakfuri  sebagai  catatan  rekor  fantastis dalam  sejarah  kemiliteran  Arab pada masa itu.
Merasa  tidak  cukup  dengan  menggalang  kekuatan  Arab.  Huyay  bin  Akhthab  berusaha keras  membujuk klan  Yahudi  terakhir  yang  masih  berada  di  Madinah  dan  mentaati kesepakatan  Piagam  Madinah,  Bani Quraizhah,  untuk  mendukung  logistik  Ahzab  dan menggerogoti  kekuatan  Madinah  dari  dalam.  Lobi  inipun akhirnya  berhasil.  Quraizhah berkhianat,  sehingga  Madinah  semakin  terjepit  (al­Mubarakfuri: 293).  Namun dengan strategi  yang  jitu  dan  pertolongan  Allah  swt.,  akhirnya  kaum  muslimin  berhasil  keluar dari medan perang sebagai pemenang.
Dengan  pengkhianatan  Bani  Quraizhah,  habislah  kekuatan  Yahudi  di  Madinah. Rasulullah  saw.  menghukum meraka  sebagai  pengkhianat  perang,  semua  laki­laki  Bani Quraizhah  yang  terlibat  perang  dipancung,  anak­anak  dan  wanita  ditawan,  dan  harta benda mereka dirampas (al­Mubarakfuri: 301).
Setelah  itu, kekuatan Yahudi  yang signifikan  hanya tersisa di  Khaibar. Di tempat  inilah tersimpan  potensi ancaman  yang  tidak  dapat  diremehkan.  Selain  menjdai  rahim  yang melahirkan provokasi Ahzab, Khaibar memiliki benteng­benteng yang kuat dan letaknya sangat strategis karena berada di persimpangan jalan yang menghubungkan daerah timur dan selatan Jazirah Arab.
Rasulullah  saw.  harus  konsentrasi  penuh  guna  melumpuhkan  kekuatan  Khaibar. Gencatan  senjata  yang disepakati  dengan  Quraisy  dalam  Perjanjian  Hudaibiyah  pada tahun  6H  menjadi  momentum  yang  sangat tepat.  Beberapa  saat  setelah  itu  Rasulullah saw. langsung melancarkan serangan besar­besaran ke Khaibar dan menang. Masyarakat Yahudi Khaibar yang kebanyakannya petani tidak diusir dari daerah tersebut, melainkan diizinkan  tinggal  untuk  mengelola  kebun­kebun  Khaibar  dan  berbagi  hasil  dengan  para pemilik barunya, kaum muslimin.

PENUTUP
Demikianlah  sekelumit  gambaran  kehidupan  masyarakat  Yahudi,  terutama  di  Madinah, dan  persentuhan mereka  dengan  kaum  muslimin  pada  permulaan  sejarah  Islam. Penyimpangan  dari  ajaran  Taurat  yang mengkristal  dalam  nilai  dan  sistem  yang mendasari  kehidupan  sosial,  ekonomi  dan  politik,  berakibat  pada penolakan  mereka terhadap ajaran Islam.
Namun  demikian,  bukan  berarti  seluruh  masyarakat  Yahudi  menolak  Islam.  Sejarah mencatat  bebarapa individu  Yahudi  memeluk  Islam  saat  itu.  Diantaranya  Abdullah  bin Salam dan keluarganya dari Bani Qainuqa`(Ibn Hisyam: 516) 1 ; Yamin bin `Amr dan Abu Sa`d  bin  Wahb  dari  Bani  Nadhir  (al­`Umari:  149); dan  `Athiyyah  al­Qurazhi, Abdurrahman  bin  Zubair  bin  Batha,  Rifa`ah  bin  Samuel  dan  beberapa  orang  lagi dari Bani Quraizhah (al­Mubarakfuri: 302).

Rujukan
  1. Al­Qur’an al­Karim
  2. Shahih al­Bukhari [al­Maktabah al­Syamilah]
  3. Ibn Hisyam, al­Sirah al­Nabawiyyah [al­Maktabah al­Syamilah]
  4. Ali, Jawad, al­Mufashshal fi Tarikh al­Arab Qabl al­Islam [al­Maktabah al­Syamilah]
  5. Al­Syarif, Ahmad Ibrahim, Makkah wa al­Madinah fi al­Jahiliyyah wa `Ahd al­Rasul saw. [al­Maktabah al­Syamilah]
  6. Al­`Umari,  Akram  Dhiya’,  al­Mujtama`  al­Madani  fi  `Ahd  al­Nubuwwah  [al­
  7. Maktabah al­Syamilah]
  8. Al­Mubarakfuri,  Shafiy  al­Rahman,  al­Rahiq  al­Makhtum,  Dar  al­Salam­Riyadh,
1418H
  1. Al­Shallabi,  Ali  Muhammad,  al­Sirah  al­Nabawiyyah;  `Ardh  Waqa’i`  wa  Tahlil  Ahdats, Dar Ibn Katsir­Beirut, 1425H/2004
Asep Sobari Lc