Jumat, 15 Februari 2013

Beranda » » Menengok Kembali Pendidikan Islam di Indonesia Jaman Belanda

Menengok Kembali Pendidikan Islam di Indonesia Jaman Belanda


Pendidikan di Indonesia sudah ada sebelum negara Indonesia berdiri. Sebab itu sejarah pendidikan di Indonesia juga cukup panjang. Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno, kemudian diteruskan dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh agama Islam, pendidikan jaman penjajahan sampai dengan pendidikan pada zaman kemerdekaan.
Penaklukan bangsa Barat atas dunia Timur dimulai dengan jalan perdagangan, kemudian dengan kekuasaan militer. Selama zaman penjajahan Barat itu berjalanlah proses westernisasi Indonesia. Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah utuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula di bidang pendidikan. Mereka memperkenalkan sistem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah westernisasi dan Kristenisasi, yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan barat di Indonesia selama 3,5 abad.[1]
Masa penjajahan Belanda dapat dikatakan sebagai suatu pondasi bebagai sistem di Indonesia. Mulai dari sistem birokrasi, pemerintahan, perekonomian,pendidikan. Dari sekian banyak ditingalkan Belanda dan Jepang di Indonesia salah satu hal yang penting untuk di kaji adalah perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pendidikan adalah salah satu point penting dalam pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. A. Sejarah Pendidikan pada Masa Penjajahan Belanda (1619-1942)

  2. 1. Pendidikan pada Masa Penjajahan Belanda
Penulusuran kebijakan pendidikan di zaman Belanda ini dibagi ke dalam empat periode besar, berdasarkan yang berkuasa pada masa tersebut, yaitu :
Periode awal, Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia dan lalu mendirikan VOC.
Periode kedua, masa pemerintahan Hindia Belanda yang menggantikan VOC yang tumbang karena kebangkrutan.
Periode ketiga, masa pemerintahan Inggris yang berlangsung sangat singkat tetapi berandil besar dalam kemundurun pendidikan di Indonesia.
Periode keempat, kembalinya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia hingga berpindah tangan ke Jepang.[2]
Periode itu dibagi-bagi lagi menjadi sub-sub kecil berdasarkan masa pemerintahan Gubernur Jenderal yang berkuasa pada masa tersebut. Hal ini dilakukan untuk lebih memperjelas kebijakan pendidikan yang diambil oleh masing-masing Gubernur Jenderal yang tentunya memiliki ambisi yang berlainan dalam menetapkan kebijakan bagi penduduk jajahan.
1.1. Zaman VOC (1596-1799)
Delapan tahun setelah bangsa Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia, berdirilah Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang diberikan otonom penuh untuk melakukan monopoli terhadap segala aktifitas perdagangan di negeri jajahan oleh kerajaan Belanda. Selama kurang lebih dua abad berkuasa, VOC yang semula hanyalah sebuah persatuan kongsi dagang telah menjelma menjadi sebuah birokrasi pemerintahan yang kuat dengan pegawai-pegawai dan kekuatan pertahanan untuk mengamankan kepentingannya.
Disamping keberadaan armada pelayaran yang begitu besar, pada masa tersebut pendidikan dilakukan bukan untuk mencapai kesejahteraan pengetahuan peserta didik. Apalagi kedatangan Belanda juga dibarengi dengan Nederlands Zendelingen Genootschap (NZG), gereja kristen dari Belanda yang akhirnya menangani pendidikan di Indonesia sehingga tidak mengherankan bila pendidikan pada masa itu termasuk usaha-usaha kristenisasi terlebih lagi dengan moto Gold-Glory-Gospel yang diusung oleh orang-orang Eropa.
Pada akhir abad 18 VOC mengalami kebangkrutan karena persoalan internal mereka yang tidak sehat, yaitu rendahnya gaji pegawai sehingga korupsi merajalela, meskipun hal tersebut juga tidak menjadi satu-satunya penyebab keruntuhannya. [3] Pegawai VOC harus menyuap untuk mendapatkan jabatan strategis dan agar modal mereka kembali, mereka juga menjual jabatan bupati hingga kepala desa pada penawar tertinggi. Lebih parahnya lagi, mereka bahkan sering melakukan transaksi perdagangan yang nilainya lebih besar daripada transaksi VOC yang tentunya untuk kepentingan pribadi dan berlangsungnya perlawanan rakyat yang terus menerus dari berbagai daerah di Indonesia. Kepailitan VOC tersebut diakhiri dengan penyerahan aset dan segala hutang VOC kepada pemerintahan kerajaan Belanda pada 31 Desember 1799.
1.2. Pemerintaha Gubernur Jenderal Herman Willem Daendles (1808-1811)
Gubernur Jendral Daendels pada tahun 1808 mendapat perintah dari Raja Lodewijk Napoleon untuk meringankan nasib budak-budak serta orang bumi putra dan melenyapkan perdagangan budak. Namun dalam sejarahnya malah membuat peraturan baru yang menambah penderitaan rakyat, yakni pekerjaan rodi (kerja paksa). Bentuk baru dalam lapangan pendidikan antara lain adalah :
  1. Pada tahun 1808 ia memberi perintah kepada bupati-bupati di pulau Jawa agar pengajaran tersebar di kalangan rakyat dan tiap-tiap distrik mempunyai sekolah.

  2. Tahun 1809 untuk pertama kali diselenggarakan pendidikan bidan, yang merupakan usaha pemeliharaan kesehatan rakyat. Yang menjadi gurunya adalah para dokter yang ada di Batavia,bahasa pengantarnya adalah bahasa melayu.

  3. Tahun 1809 mendirikan sekolah Ronggeng di Cirebon dalam usaha untuk memajukan tari-tarian rakyat.[4]

1.3. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942)
Ada beberapa kebijakan pendidikan pada masa kembalinya pemerintahan Hindia Belanda menduduki Indonesia sampai akhir penjajahan Belanda di Indonesia.
1.3.1. Serah terima Komisaris Jenderal Belanda dari pihak Inggris (1816-1818)
C.G.C. Reinward
Penyelenggaraan sekolah-sekolah di serahkan kepada C.G.C. Reinwardt, yang menjadi terkenal karena ia mendirikan Kebun Raya di Bogor. Tugasnya dalam lapangan pengajaran berat baginya, karena hasil usaha-usaha VOC yang sedikit itu hilang sama sekali. Maka usaha pertama yang dihasilkan Reinwardt adalah menghasilkan undang-undang pengajaran, yang dapat dianggap sebagai hasil pendirian sekolah-sekolah. Akhirnya pada tahun 1818 keluarlah Peraturan Pemerintah yang memuat peraturan umum mengenai persekolahan dan sekolah rendah. Isinya hanya berupa ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan, sedikit mengenai penyelenggaraan pengajaran, dan tidak menyinggung sedikitpun soal perluasan pengajaran dikalangan bangasa Indonesia. Yang diperhatikan hanyalah penyelenggaraan sekolah-sekolah rendah bagi bangsa Belanda.
1.3.2. Pemerintahan Gubernur Jenderal Van Den Capellen (1819-1826)
Capellen ketika berkuasa di Indonesia mengambil inisiatif yaitu mendirikan beberapa sekolah dasar untuk anak-anak Belanda dan anak-anak yang sengaja untuk penduduk pribumi yang memeluk agama nasrani dengan harapan untuk membantu pemerintahan Belanda.
Capellen menganjurkan pendidikan rakyat dan pada tahun 1820 mengeinstruksikan untuk menyediakan sekolah bagi penduduk yang mengajarkan kepada anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi pekerti yang baik.[5].
1.3.3. Pemerintahan Gubernur Jenderal Van Den Bosch (1830-1848)
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892).[6]
1.3.4. Pemerintahan Gubernur Jenderal Rachusen (1848-1852)
Pada tahun 1848, kebutuhan akan pegawai dapat terpenuhi karena Gubernur Jenderal yang berkuasa dapat menggunakann anggaran belanja negara tiap-tiap tahun untuk mendirikan sekolah bagi penduduk jawa, terutama untuk mendidik calon-calon pegawai. Maka antara tahun 1848-1852 didirikanlah 20 buah sekolah untuk anak-anak Indonesia di tiap-tiap ibu kota keresidenan. Ketika itu sudah ada 30 buah sekolah untuk anak-anak Belanda.
Untuk melaksanakan putusan tahun 1848, pemerintah kolonial menghadapi dua macam kesulitan, yakni: kesulitan mengenai bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumi putera, yang harus didirikan di tiap-tiap ibukota keresidenan itu dan kekurangan guru. Akhirnya diputuskan, bahwa bahwa bahasa pengantar di sekolah itu adalah bahasa daerah, sedangkan bahasa Melayu diberikan sebagai mata pelajaran. Syarat utama untuk berhasilnya sekolah-sekolah bumiputera itu adalah pembentukan golongan guru-guru Indonesia yang mendapat pendidikan baik. Maka sebagai usaha pertama untuk mengatasi kekurangan tenaga guru dibukalah pada bulan April 1852 Kweekschool (sekolah guru) pertama di Surakarta. Di sekolah ini muridnyapun terbatas pada anak-anak golongan bangsawan saja. Kelak menyusul sekolah-sekolah guru di kota-kota lain.[7]
1.3.5. Pemerintahan Hindia Belanda pada pertengahan hingga akhir abad 19
Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa kebijakan yang dibuat oleh belanda pada pertengahan hingga akhir abad 19.
  1. 1. Penyelenggaraan sekolah-sekolah bumiputera sesudah tahun 1850
Penyelenggraannya adalah sebagai berikut:
  1. Bangunan sekolah
Di Pulau Jawa bangunan-bangunan sekolah bumiputera didirikan oleh Pemerintah. Biasanya mengambil tempat di halaman kabupaten. Meskipun masih sederhana, tetapi bangunannya terpelihara, karena para bupati turut memperhatikannya.
Di luar Pulau Jawa kekadaannya tidak memuasakan. Sejak dahulu urusan sekolah dibebankan kepada rakyat, tidak mendapat bantuan dari Pemerintah Pusat. Beberapa tempat memiliki bangunana sekolah yang mirip sekali sebuah gubug.
  1. Penyusunan kelas
Mula-mula murid duduk di tanah. Jadi bangku-bangku tidak ada sama sekali. Hal ini disesuaikan dengan adat ketika itu yang menentukan bahwa orang rendahan hars duduk di tanah bila berhubungan dengan atasan (feodal).
  1. Kurikulum
Kurikulum disesuaikan dengan keharusan sekolah untuk mendidik calon-calon pegawai. Bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa resmi.yang jelas menunjukkan sifatnya mendidik calon-calon pegawai adlaah diberikannya pelajaran mengukur tanah. Ini dihubungkan dengan pelaksanaan tanam paksa. Pada semua mata pelajaram tanpak adanya penyesuaian dengan keperluan dan kebutuhan kantor-kantor pemerintahan. Menggambar : peserta didik hanya diberi latihan menggambar peta-peta lapangan. Berhitung: soal-soal yang berhubungan dengan pemungutan pajak, administrasi gudang-gudang garam dan kopi, membuat macam-macam daftar, tata buku yang sederhana dan sebagainya. Ilmu pertania: tujuannya bukan untuk memajukan pertanian rakyat, tetapi hanya untuk menambah pengetahuan yang sekiranya berguna bagi calon pegawai.
  1. Peserta didik
Sesuai dengan tujuan sekolah, untuk mendidik calon pegawai, maka murid-muridnya tidak diambil dari golongan rakyat biasa, melainkan dari golongan priyayi, abak-anak pegawai, seperti: anak-anak bupati, wedana, juru tulois, mantri atau kepala desa. Dengan mendidik anak dari golongan priyayi dimaksudkan agar rakyat yang taat kepada kaum priyayi lebih mudah untuk dipengaruhi. Ini terjadi di pulau Jawa. Di luar pulau Jawa keadaannya berbeda. Di daerah Minangkabau misalnya, sekolah-sekolah bumioutera dapat dikunjungi oleh anak-anak pedagang dan petani.
  1. 2. Menjalankan politik pengajaran liberal
Pada tahun 1863 dan tahun 1864 pemerintah mulai menjalankan plitik pengajaran liberal (liberal disini berarti: berpikir luas mengenai suatu hal, dalam hal ini pengajaran). Maka tujuan sekolah bukan lagi mendidik calon-calon pegawai, tetapi mendidik rakyat dalam arti yang umum. Hendaknya pengajaran membawa rakyat ke arah kebahagiaan.
Politik pengajaran liberal membawa hasil-hasil sebagai berikut:
1. perluasan pengajaran bumiputera tidak terikat lagi oleh anggaran belanja f25.000, seperti yang ditetapkan oleh putusan pemerintah tahun 1848
2. kesempatan kini terbuka bagi anak-anak Indonesia dan Cina untuk memasuki sekolahsekolah Belanda.
3. semua jabatan-jabatan negeri terbuka bagi setiap orang dengan tidak memperhatikan keturunan dan bangsa.
  1. 3. Pemberlakuan undang-undang agraris (1870) dan pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan
Antara politik pengajaran dan perkembangan masyarakat selalu ada hubungan erat. Maka timbulnya perubahan di lapangan ekonomi sesudah tahun 1870, turut juga mempercepat pekembangan pengajaran di Indonesia. Pada tahun itu di Indonesia timbul masa baru dengan adanya undang-undang agraris dari De Waal, yang memberi kebebasan pada pengusaha-pengusaha pertanian partikelir. Usaha-usaha perekonomian makin maju. Masyarakat lebih banyak lagi mebutuhkan pegawai-pegawai. Sekolah-sekolah yang ada belum cukup memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka usaha “mencetak pegawai-pegawai” makin dipergiat lagi.
Untuk kelancaran pekerjaan segera ditetapkan beberapa peraturan untuk sekolah-sekolah bumiputera dan sekolah-sekolah Belanda.
  1. Sekolah-sekolah Bumiputera
  1. Menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan guru sebagai persiapan untuk mendirikan sekolah-sekolah bumiputera yang baru.

  2. Sekolah terutama sekali untuk anak-anak priyayi

  3. Bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumiputera dalah bahasa daerah atau bahasa Melayu.

  4. Kurikulum wajib adalah: membaca, menulis, dan berhitung dan bahasa Belanda.

  5. Biaya sekolah dipikul seluruhnya oleh pemerintah.

  6. Sekolah-sekolah Belanda




Anak-anak Indonesia dan Cina dapat diterima di sekolah-sekolah ini, setelah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal.
i. Periode Politik Etis (1900-1942)
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto de Eereschul (hutang kehormatan) dan slogan Educatie, Irigatie, Emigratie[8]. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi golongan priyayi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial.
Dalam rangka memperbaiki pengajaran rendah bagi kaum bumiputera, maka pada tahun 1907 diambil dua tindakan penting yaitu:
Pertama, Memberi corak dan sifat kebelandaan-belandaan pada sekolah kelas I, misalnya:
  1. Bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran sejak kelas 3

  2. Di kelas 6 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar

  3. Lama belajar menjadi 7 tahun.

  4. Tahun 1914 dijadikan KIS dan menjadi bagian pengajaran rendah barat

  5. Murid-muridnya anak-anak bangsawan dan terkemuka



Kedua, Mendirikan Sekolah Desa
Maksud pemerintah untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia tidak tercapai, karena sekolah-sekolah bumi putra kelas II merupakan lembaga yang mahal dan memerlukan anggaran yang besar. Maka atas perintah Gubernur Jendral Van Heutsz tahun 1907 didirikan sekolah-sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh desa dan guru-gurunya juga diangkat oleh desa pula, jadi bukan pegawai negeri.
Jadi susunan pengajaran bagi anak-anak Indonesia untuk sekolah rendah ada tiga, yaitu:
  1. Sekolah Desa, bagi anak-anak biasa

  2. Sekolah kelas II (rakyat biasa), yang kemudian diubah menjadi sekolah Vervolg

  3. Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak bangsawan dan aristocrat

    1. 4. Sistem pendidikan pada periode politik etis
Selanjutnya secara umum sistem pendidikan pada periode ini didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.
Pertama, Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system pokok yaitu:
  1. Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.

  2. Sekolah rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school), yaitu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau Bumi putra dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818.

  3. Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan tmur asing, khususnya keturunan Cina. Pertama didirikan pada tahun 1908 lama sekolah tujuh tahun.

  4. Sekolah Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli (anak-anak priyayi). Pada umumnya disediakan untuk anak-anak golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri. Lamanya sekolah tujuh tahun dan pertama didirikan pada tahun 1914.

    1. Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah

    2. Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk golonagan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892

    3. Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra. Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907.

    4. Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakan kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali didirikan pada tahun 1914.

    5. Sekolah Peralihan (Schakelschool).Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.




Kedua, Pendidikan lanjutan (Pendidikan Menengah)
  1. MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai empat tahun. Yang pertama didirikan pada tahun 1914 dan diperuntukan bagi golongan bumi putra dan timur asing. Sejak zaman Jepang hingga sampai sekarang bernama SMP. Sebenarnya sejak tahun 1903 telah didirikan kursus MULO untuk anak-anak Belanda, lamanya dua tahun.

  2. AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra golongan priyayi dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915. AMS ini terdiri dari dua jurusan (afdeling=bagian), Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (pengetahuan alam ) pada zaman Jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan disebut SMA.

  3. HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan golongan bumi putra golongan priyayi atau tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda dan berorentasi ke Eropa Barat, khususnya dirikan pada Belanda. Lama sekolahnya tiga tahun dan lima tahun. Didirikan pada tahun 1860[9]

Ketiga, Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )

Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah sebagai berikut:
  1. Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah dan menerima sekolah lulusan bumi putra golongan priyayi kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan (vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang. didirikan pada tahun 1881

  2. Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS atau schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piƱata batu

  3. Sekolah teknik (Technish Onderwijs) adalah kelanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah dibawah insinyur.

  4. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat.

  5. Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs) pada tahun 1903 didirikan sekolah pertaian Yang menerima lulusan sekolah dasra yang berbahasa penganatar belanda. Pada tahun 1911 mulai didirikan sekolah pertanian (cultuurschool) yang terdiri dari dua jurusan, pertanian dan kehutanan. Lama belajaranya sekitar 3-4 tahun, dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas-pengawas pertanian dan kehutanan. Pada rtahun 1911 didirikan pula sekolah pertanian menengah atas (Middelbare Landbouwschool) yang menerima lulusan MULO atau HBS yang lamanya belajar 3 tahun.

  6. Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs). Pendidikan ini merupakan kejuruan yang termuda. Kemudian sekolah yang sejenis yang didirikn oleh swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga (Huishoudschool). Lama belajarnya tiga tahun.

  7. Pendidikan keguruan (Kweekschool). Lembaga keguruan ini adalah lembaga yang tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Sekolah guru negeri yang pertama didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Sebelum itu pemerintah telah menyelenggarakan kursus-kursus guru yang diberi nama Normal Cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan guru-guru sekolah desa. Pada abad ke-20 terdapat tiga macam pendidikan guru, yaitu:

  8. Normalschool,sekolah guru dengan masa pendidikan empat tahun dan menerima lulusan sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar bahasa dearah.

  9. Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang menerima lulusan berbahasa belanda.

  10. Hollandschool Indlandschool kweekschool, sekolah guru 6 tahun berbahasa pengantar Belada dan bertujuan menghasilkan guru HIS-HCS.








Keempat, Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:
  1. Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School).Sekolah Tehnik Tinggi ini yang diberi nama THS didirikan atas usaha yayasan pada tahun 1920 di Bandung. THS adalah sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia, lama belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB.

  2. Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school). RHS didirikan pada tahun 1924 di Jakarta. Lama belajarnya 5 tahun, yang tama AMS dapat diterima di RHS. Tamatan ini dijadikan jaksa atau hakim pada pengadilan.

  3. Pendidikan tinggi kedokteran. Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah dasar lima tahun. Bahasa pengantarnya bahasa melayu . pada tahun 1902 sekolah dokter jawa diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen) yang menerima lulusan ELS, dan berbahasa pengantar Belanda. Lama belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat penerimaannya ditingkatkan menjadi lulusan MULO. Pada tahun 1913 disamping STOVIA di Jakarta didirikan sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) Yang lama belajaranya 6 tahun dan menerima lulusan AMS dan HBS.

2. Pendidikan Islam pada masa Penjajahan Belanda.
Kehadiran Belanda tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, tetapi juga menekan politik dan kehidupan keagamaan rakyat. Segala aktivitas umat Islam yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan ditekan. Belanda terus menerapkan langkah-langkah yang membatasi gerak pengamalan agama Islam. Termasuk juga terhadap pendidikan Islam sendiri. Politik pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya dan rasa kolonialismenya.[10]
Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat, sedikit banyak mempengaruhi sistem pendidikan di Indonesia, yaitu pesantren. Padahal di ketahui bahwa pesantren merupakan merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia sebelum adanya kolonial Belanda, justru sangat berbeda dalam sistem dan pengelolaannya dengan sekolah yang diperkenalkan oleh Belanda. [11]
Betul pada zaman kolonial Belanda telah didirikan beraneka masam sekolah, ada yang bernama Sekolah Dasar, Sekolah Kelas II, HIS, MULO, AMS dan lain-lain. Tetapi sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya mengajarkan mata pelajaran umum, tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa setiap guru agama harus minta izin dahulu. Peraturan itu besar sekali pengaruhnya dalam menghambat perkembangan pendidikan Islam.
Umat Islam pada masa itu mengenal dua bentuk lembaga pendidikan yang dikelola umat Islam dan yang dikelola kolonial. Sistem pendidikan yang dikelola Belanda adalah pendidikan modern liberal dan netral agama. Namun kenetralan Belanda ternyata tidak konsisten karena Belanda lebih melindungi Kristen dari pada Islam. Mereka menganggap Islam memiliki kekuatan politik yang membahayakan mereka. Maka Islam senantiasa mengalami tekanan dan selalu diawasi gerak geriknya.
Pada tahun 1832 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Presterraden. Atas nasihat dari badan inilah maka pada tahun 1905 M pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran (pengajian) harus meminta izin lebih dahulu. Pada tahun 1925M pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Pada tahun 1932M keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut ordanansi sekolah liar.[12]
Selanjutnya pada bagian ini akan dijelaskan periode pendidikan Islam yang dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, pendidikan Islam sebelum tahun 1900. Kedua, pendidikan pada masa peralihan. Ketiga, Pendidikan Islam sesudah 1909.
2.1 Pendidikan Islam sebelum tahun 1900
Dua lembaga pendidikan memegang peranan penting pada penyebaran agama Islam, yaitu langgar dan Pesantren. Karena Islam berprinsip demokratis, maka pengajarannya merupakan pengajaran rakyat.[13] Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut kedua lembaga tersebut.
2.1.1. Langgar
  1. tujuan : memberikan pengetahuan tentang agama (membaca al-Quran sampai tamat), bukan memberikan pengetahuan umum.

  2. Kurikulum : mempelajari abjad Arab, kemudian mengeja ayat-ayat al-Quran pertama dengan irama suara tertentu.

  3. Pendidik : adalah seorang yang sudah memiliki pengetahuan agama yang agak mendalam. Guru itu dipandang sebagai seseorang yang sakti. Murid-murid tidak boleh mengecam guru. Mengecam guru dianggap berdosa.

  4. Peserta didik : semua anak dari berbagai kalangan.

  5. Metode: halaqoh

  6. Waktu belajar: biasanya berlangsung kurang lebih setahun, tetapi kadang-kadang hanya diikuti beberapa bulan saja. Biasanya pelajaran diberikan pada pagi hari dan malam hari, berlangsung kira-kira dua jam lamanya.




Sebagai lembaga sosial langgar itu penting artinya. Anak-anak rakyatlambat laun menyadari menjadi anggota persekutuan besar, yaitu persekutuan umat Islam.[14]
2.1.2. Pesantren
Pengajaran yang lebih lanjut dan lebih mendalam diberikan di pesantren. Berikut komponen lembaga pesantren pada masa ini:
  1. Tujuan : sama dengan pendidikan langgar yaitu memberikan pengetahuan tentang agama (membaca al-Quran sampai tamat), bukan memberikan pengetahuan umum.

  2. Kurikulum : Ushuluddin (pokok-pokok ajaran kepercayaan), Usul Fiqh (alat penggali hukum dari Quran dan Hadist, Fiqih, dan ilmu Arobiyah (untuk mendalami bahasa agama)

  3. Metode : sorogan (bimbingan individual) dan bandongan atau halaqah (semaca, ceramah umum)[15]

  4. Pendidik: disebut ajengan atau kiyai.

  5. Peserta didik : dinamakan santri pada umumnya terdiri dari anak-anak yang lebih tua dan telah memiliki pengetahuan dasar yang telah mereka peroleh di langgar.

  6. Lama belajar : ada yang setahun, ada juga yang sampai sepuluh tahun atau lebih. Banyak santri yang belajar pada beberapa pesantren. Pelajaran pertama diberikan pada pagi hari, sesudai selesai sembahyang subuh. Sesudah itu para santri melakukan kerja bakti bagi bagi gurunya, umpamanya: membersihkan halaman, berkebun, bekerja di sawah, dan sebagainya. Sesudah makan siang semua istirahat, untuk kemudian dimukai lagi dengan pelajaran dan diselingi dengan menghapal. Ba’da maghrib ataau ba’da isya dimulai lagi dengan pelajaran.




Pendidikan Islam pada masa ini bercirikan hal-hal berikut:
  1. Pelajaran diberikan satu demi satu

  2. Pelajaran ilmu sharf didahulukan dari ilmu nahu

  3. Buku pelajaran pada mulanya dikarang oleh ulama Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa daerah setempat

  4. Kitab yang digunakan umumnya ditulis tangan

  5. Pelajaran suatu ilmu, hanya diajarkjan dalam satu macam buku saja

  6. Toko buku belum ada, yang ada hanya diajarkan dalam satu macam buku saja

  7. Karena terbatasnya bacaan, materi ilmu agama sangat sedikit

  8. Belum lahir aliran baru dalam Islam.[16]






Pada periode ini memang sulit untuk menentukan secara pasti kapan dan dimana surau atau langgar dan pesantren pertama kali berdiri. Kendati demikian dapat diketahui bahwa pada abad ke-17 M di Jawa telah terdapat pesantren Sunan Bonang di Tuban, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti dan sebgainya. Namun sebenarnya jauh sebelum itu telah ada sebuah pesantren di hutan Glagah Arum (sebelah selatan Jepara) yang didirikan oleh Raden Fatah tahun 1745. Sementara di Sumatra tempat pengajian diseb surau yang sangat sulit untuk dilacak secara pasti tahun dan dimana berdirinya.
2.2 Pendidikan Islam pada masa peralihan (1900-1908)
Kalau sebelum tahun 1900 lembaga-lembaga pendidikan Islam masih relatif sedikit dan berlangsung secara sederhana. Lain halnya setelah itu. Dalam periode yang disebut peralihan ini telah banyak berdiri tempat pendidikan Islam terkenal di Sumatera, seperti Surau Parabek Bukit Tinggi (1908) yang didirikan oleh Syekh H. Ibarahim Parabek dan di Pulau jawa seperti pesantren Tebuireng pendirinya adalah K.H. Hasyim Ashari. Namun sistem madrasah belum dikenal.[17]
Periode peralihan ini boleh dikatakan dipelopori oelh Syekh Kharib Minangkabau dan kawan-kawannya yang banyak mengajar menddik dan mengajar pemuda di Mekkah, terutama pemuda-pemuda yang berasal dari Indonesia dan Malaya. Murid-murid beliau seperti H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) di Yogyakarta dan kemudian Nahdatul Ulama. Dengan demikian sudah barang tentu murid-murid mereka yang kembali dari Mekkah ikut andil dalam pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia sekembalinya dari Mekkah.[18]
Berikut ini adalah materi pendidikan Islam yang berkembang di Minangkabau :
- Belajar huruf Hijaiyyah
- Pengajian kitab yang terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:
  1. Mengaji Nahwu, Sarf, dan fiqih dengan kitab-kitab Ajrumiyah, Matan bina, Fathul Qarib, dan sebagainya.

  2. Mengaji Tauhid dengan kitab-kitab sanusi, Syekh Khalid (Azhari dan Asymawi), Fathul Mu’in, dan lainnya.

  3. Mengaji tafsir dengan kitab Kifayatul Awam (Ummul Barahin, Baidawi, Jalalin, dan lain-lain.

- Penga;jian ilmu tasawuf, mantiq, dan Balagoh. Kitab yang digunakan adalah kitab Sullam, Idahul Mubham, Jauhar Maknun/Talkhis, dan Ihya Ulumudin.[19]
Adapun ciri-ciri pelajaran agama Islam pada masa peralihan ini berupa :
  1. Pelajaran untuk dua sampai enam ilmu dihimpun secara sekaligus.

  2. Pelajaran ilmu Nahwu didahulukan atau disamakan dengan ilmu sarf

  3. Buku peljaran semuanya karangan ulama Islam kuno dan dalam bahasa Arab

  4. Buku-buku semuanya dicetak

  5. Suatu ilmu diajarkan dari beberapa macam buku, rendah, menengah, dan tinggi.

  6. Lahirnya aliran baru dalam Islam seperti yang dibawa oleh Majalah al-Manar di Mesir mulai lahir[20]




Dengan demikian terlihat jelas adanya perbedaan pelaksanaan pendidikan islam pada masa peralihan dengan masa sebelum tahun 1900. Terlihat bahwa pendidikan Islam setelah tahun 1900 sudah mengalami kemajuan sedemikian rupa. Padahal waktu itu kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap poendidikan Islam di Indonesia sedang ketat-ketatnya.
2.3 Pendidikan Islam sesudah tahun 1909
Isu nasionalisme tampak gaungnya kemana-mana berkat tampilnya Budi Utomo pada tahun 1908, yang menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa perjuangan mereka yang selama ini Cuma mengandalkan kekuatan dan kedaerahan tampa memperhatikan persatuan, sulit untuk mencapai keberhasilan, karena itulah sejak tahun 1908 timbul semacam kesadaran baru dari bangsa Indonesia untuk memperkuat persatuan.
Tak terkecuali kesadaran yang demikian juga muncul pada kalangan pendidik Islam. Ulama-ulama yang pada waktu itu menyadari bahwa sistem pendidikan langgar dan pesantren tradisional sudah tidak begitu sesuai dengan iklim Indonesia dan jumlah murid yang ingin belajar dari hari ke hari semakian bertambah. Maka dirasakan penting memberikan pendidikan secara teratur d madarasah atau sekolah.
Dengan demikian selain dua corak pendidikan sebelumnya, yaitu corak pendidikan Belanda yang khusus berpusat pada pengetahuan dan keterampilan duniawi serta dikelola secara modern dan hanya kalangan tertentu yang bisa memasuki sekolah ini, serta pendidikan Islam yang berpusat pada pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama yang dikelola secara tradisional, maka muncullah corak pendidikan ketiga yang merupakan perpaduan antara corak pertama dan kedua. Corak pendidikan ini muncul bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah yang berkelas yang muncul sejak tahun 1909 yang dipelopori oleh para pembaharu di Indonesia.
Tampaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai latar belakang, diantaranya:
  1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.

  2. Unruk penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya kesamaan kesempatan kerja dan memperoleh ijazah

  3. Adanya sikap mental pada sebagian umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka

  4. Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.[21]


Adapun madrasah-madrasah yang didirikan di Indonesia antara lain:
  1. Madrasah Adabiyah School.
Berdiri pada tahun 1907 di Padang Panjang. Pendirinya adalah H.Abdullah. sekolah ini merupakan HIS pertama di Minangkabau.
Sebagai sekolah yang merupakan bentuk adaptasi dati sistem pendidikan suarau ke sistem Barat maka perhatian terhadap pendidikan agama sangat kecil. Pendidikan umum lebih ditekankan daripada pendidikan agama. Hal inilah yang membedakan antara HIS Belanda dan HIS H. Abdullah yaitu diajarkannya pendidikan agama dan Al-Quran sebagai mata pelajaran wajib.[22]
  1. Madrasah Diniyyah School
Pendirinya adalah Zainuddin Labia El-Yunisi, berdiri pada tahun 1915.
Pembaharuan yang dilakukan oleh Zainuddin adalah dengan sistem klasikal. Kurikulumnya pengetahuan umum (hikmah Tasyri, akhlak , ilmu bumi, tarih Islam dan menulis) dan pengetahuan agama[23]. Diniyah school terdiri dari 7 kelas seperti HIS.
  1. Sumatera Thawalib
Lahirnya madrasah pada tahun 1918 di padang karena jasa Syekh H. Abdul Karim Amrullah. Sistem pendidikan halaqah diganti dengan sitem pendidikan berkelas-kelas. Berbeda dengan diniyah school, thawalib belum menambahkan materi pelajaran umum namun sudah menggunakan literatur klasik dan modern[24]
  1. Madrasah Muhammadiyah
Pendirinya adalah K.H.Ahmad Dahlan. Didirikan tahun 1912 di kota Yogjakarta.
Asa pendidikannya adalah Islam. Tujuannya adalah mewujudkan orang-orang muslim yang berakhlak mulia, cakap, percaya kepada diri sendiri, dan berguna bagi masyarakat dan negara.[25]
Karena rencana pengajarannya sesuai dengan pengajaran pemerintah Hindia Belanda, maka banyak sekolah-sekolahnya yang mendapat subsidi dari pemerintah. Sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah adalah, Ibtidaiyyah, Tsanawiyah, Diniyah, Mualimin/mualimmat, Kuliyyatul Mubaligin.
2.4. Organisasi Islam dan Pendidikan di Indonesia (Tahun 1905-1930)
Dibawah ini adalah nama-nama organisasi massa Islam yang berdiri antara tahun 1905-1930, yaitu:
  1. Jami’ah al- Khairiyah
Organisasi sosial yang berperan dalam melakukan perubahan sistem atau lembaga pendidikan Islam terutama di Jakarta. Lengkapnya Al-Jamiatul Khairiyah. Merupakan organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta, didirikan tahun 1901 dengan peran besar para ulama asal Arab Hadramaut dan juga pemuda Alawiyyin, seperti Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, Sayid Muhammad Al-Fakir Ibn. Abn. Al Rahman Al Mansyur, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin Muhammad Alhabsyi dan Syechan bin Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama inilah Jamiatul Khair tumbuh pesat.
Organisasi Pembaharuan Islam ini berkantor di daerah Pekojan di Tanjung Priok (Jakarta). Oleh karena perkembangannya dari waktu ke waktu semakin pesat, maka pusat organisasi ini dipindahkan dari Pekojan ke Jl. Karet, Tanah Abang. Organisasi ini dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, terdiri dari tokoh-tokoh gerakan pembaharuan agama Islam antara lain, Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Sarekat Dagang Islam), dan H. Agus Salim. Bahkan beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiatul Khair.
Awalnya memusatkan usahanya pada pendidikan, namun kemudian memperluasnya dengan dakwah dan penerbitan surat kabar harian Utusan Hindia di bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto (Maret 1913). Kegiatan organisasi juga meluas dengan mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, Habib Abubakar bersama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jl. Karet dan putri (banat) di Jl. Kebon Melati serta cabang Jamiatul Khair di Tanah Tinggi Senen.
Pemimpin-pemimpin Jamiatul Khair mempunyai hubungan yang luas dengan luar negeri, terutama negeri-negeri Islam seperti Mesir dan Turki. Mereka mendatangkan majalah-majalah dan surat-surat kabar yang dapat membangkitkan nasionalisme Indonesia, seperti Al-Mu’ayat, Al-Liwa, Al-ittihad dan lainnya. Tahun 1903 Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi atau perkumpulan dan tahun 1905 permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan catatan tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar di Batavia.[26]
  1. Perserikatan Ulama Indonesia
Dalam merealisasi cita-citanya untuk pertama kalinya Abdul Halim mendirikan Majlis Ilmu (1911) sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambu. Pada majlis ini ia meberikan pengetahuan agama kepada para santrinya. Dengan bantuan mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, serta dukungan masyarakat Abdul Halim dapat terus mengembangkan idenya. Pada perkembangan berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Untuk memantapkan langkah-langkahnya pada tahun 1912 ia mendirikan suatu perkumpulan atau organisasi bernama “Hayatul Qulub. Melalui lembaga ini ia mengembangkan ide pembaruan pendidikan, juga aktif dalam bidang sosialo ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas para tokoh masyarakat , santri, pedagang, dan petani.
Langkah-langkah perbaikannya meliputi delapan bidang perbaikan yng disebut dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al-mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong).
Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Untuk ini ia menjalin hubungan dengan Jam’iyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan. Dengan dorongan dari sahabatnya, HOS. Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan Persyarikatan Ulama. Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. Pada tahun 1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia.
Abdul Halim juga memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada anak didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini direalisasinya dengan mendirikan sekolah /pesantren kerja bersama bernama Santi Asromo pada bulan April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Di samping mengembangkan bidang pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti dakwahnya adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna mengusir penjajahan. Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham ahlussunnah waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942 ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi “Persatuan Umat Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung[27]
  1. Muhammadiyah (DIY, 18 November 1912)
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam ang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.[28]
  1. Al-Ishlah Wa Irsyad (Jakarta, 1915)
Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-’Alamah Syeikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami’at Khair -yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905.
Perhimpunan Al-Irsyad mempunyai sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah Islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran, serta social dan dakwah bertingkat nasional. (AD, ps. 1 ayat 2).
  1. Persatuan Islam (Bandung, 12 September 1923)
Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.[29]
  1. Nahdatul Ulama (Surabaya, Januari 1926)
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional“. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana – setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Usaha yang dirintis oleh Nahdatu Ulama adalah :
  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.

  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.

  3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.

  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.

  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.[30]



  1. B. Sejarah Pendidikan Pada masa Penjajahan Jepang (1942-1945)
1.1. Pendidikan pada masa Jepang
Kejayaan penjajah Belanda lenyap setelah Jepang berada di Indonesia. Mereka bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942. Tujuan Jepang ke Indonesia ialah menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan mentah dan tenaga manusia yang sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik. Hal ini sesuai dengan cita-cita politik ekspansinya.[31]
Mengenai pendidikan zaman jepang disebut “Hakko Ichiu”, yakni mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh karena itu pelajar setiap hari terutama pada pagi hari harus mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran. Sistem persekolahan di zaman pendudukan Jepang banyak perbedaannya dibandingkan dengan penjajahan Belanda.[32]
Jepang mengadakan perubahan di bidang pendidikan, di antaranya menghapuskan dualisme pengajaran. Dengan begitu habislah riwayat penyusunan pengajaran Belanda yang dualistis membedakan antara pengajaran barat dan pengajaran pribumi. Adapun susunan pengajaran menjadi, pertama, Sekolah Rakyat enam tahun (termasuk sekolah pertama). Kedua, sekolah menengah tiga tahun. Ketiga, sekolah menengah tinggi tiga tahun (SMA pada zaman Jepang).
Kebijakan politik Jepang tampaknya tidak jauh dari skenario yang dibuat Snouck Hurgronje, yaitu memisahkan Islam dari politik praktisnya. Jepang mulai menerapkan pengawasan secara ketat terhadap organisasi-organisasi Islam, terutama terhadap pendidikan Islam. Namun, paradok dengan yang pertama, rezim pendudukan Jepang juga membuka peluang bagi pemimpin-pemimpin Islam terlibat dalam organisasi-organisasi politis yang diciptakannya. Dalam memobilisasi Islam Indonesia, pemerintah Jepang menciptakan hubungan yang sangat dekat dengan elit muslim.[33]
Dengan semboyan Asia untuk bangsa Asia, Jepang menguasai daerah yang berpenduduk lebih dari 400 juta jiwa, yang antara lain menghasilkan 50% produksi karet dan 70% produksi timah dunia, Indonesia yang kaya akan sumber bahan mentah merupakan sasaran yang perlu dibina dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan perang Jepang. Itulah sebabnya, Jepang menyerbu Indonesia, karena tanah air Indonesia merupakan sumber bahan-bahan mentah dan tenaga manusia yang kaya raya sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik. Hal ini sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya.
Tujuan pendidikan pada zaman Jepang tidaklah hanya memenangkan peperangan. Secara konkret tujuan yang ingin dicapai Jepang adalah menyediakan tenaga cuma-cuma (rumosha) dan prajurit-prajurit yang membantu peperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh karena itu, para pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, kemiliteran dan indoktrinasi ketat. Pada akhir zaman Jepang tampak tanda-tanda tujuan menjepangkan anak-anak Indonesia. Maka dikerahkan barisan propaganda Jepang yang terkenal dengan nama sedenbu, untuk menanamkan ideologi baru, untuk menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Untuk menyebarluaskan ideologi dan semangat Jepang, para guru digembleng secara khusus oleh pemimpin-pemimpin Jepang, selama tiga bulan di Jakarta. Mereka diwajibkan meneruskan materi yang telah diterima itu kepada teman-temannya. Untuk menanamkan semangat Jepang, murid-murid diajarkan bahasa Jepang, nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran.[34]
Ada beberapa segi positif pada zaman penjajahan Jepang, yaitu :
  1. Jepang memerikan pendidikan militer kepada para pemuda Indonesia, dengan maksud memperkuat pertahanan mereka. Namun, pendidikan ini secara tidak langsung memberikan bekal kepada para pejuang bangsa dalam bidang keprajuritan untuk mewujudkan cita-cita merdeka.

  2. Menghapus dualisme pendidikan penjajahan belanda dan nenggantinya dengan dengan pendidikan yang sama bagi setiap orang. Sehingga bukan hanya kelompok-kelompok tertentu yang dapat menikmati pendidikan, melainkan semua lapisan masyarakat. Hal ini sudah tentu menguntungkan perjuangan kita.

  3. Pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh penjajah Jepang. Bahasa Indonesia mulai dipakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari.[35]

1.2. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang
Tentang sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Masalahnya, Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, yang penting bagi mereka adalah demi keperluan memenangkan perang, dan kalau perlu pemuka agama lebih diberikan keleluasan dalam mengembangkan pendidikannya. Berlainan dengan kolonial Belanda, di samping bertindak sebagai kaum penjajah, tetapi ada misi lain yang tidak kalah penting yang mereka emban yaitu misi agama Kristen, dan untuk ini tentu saja agama Islam yang menjadi mayoritas penduduk pribumi sekaligus sebagai penentang pertama kehadirannya, harus ditekan dengan berbagai cara, dan kalau perlu dilenyapkan sama sekali. [36]
Karena berseberangan dengan Belanda itulah Jepang berusaha menarik simpati ummat Islam dengan menempuh beberapa kebijaksanaan, di antaranya:
  1. Kantor Urusan Agama yang ada pada zaaman belanda disebut Kantor Voor Islamistische Zaken yang dipimpin oleh orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri yaitu KH. Hasyim Asy’ari, dan di daerah-daerah juga disebut Sumuka.

  2. Pondok Pesantren yang besar-besar seringkali mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.

  3. Sekolah Negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.

  4. Disamping itu pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam. Barisan ini dipimpin oleh KH. Zainal Arifin.

  5. Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakar, dan Bung Hatta.

  6. Para ulama bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta).

  7. Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.





Pada masa pendudukan Jepang, ada satu hal istimewa dalam pendidikan sebagaimana telah dikemukakan, yaitu sekolah-sekolah telah diseragamkan dan dinegerikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain, seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain diizinkan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh pendudukan Jepang.
Sementara itu khususnya pada awal-awalnya, madrasah dibangun dengan gencar-gencarnya selagi ada angin segar yang diberikan oleh Jepang. Walaupun lebih bersifat politis belaka, kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja dan umat Islam Indonesia memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Ini tampak di Sumatera dengan berdirinya madrasah Awaliyahnya, yang diilhami oleh Majelis Islam Tinggi.
Hampir seluruh pelosok pedesaan terdapat madrasah Awaliyah yang dikunjungi banyak anak-anak laki-laki dan perempuan. Madrasah Awaliyah ini diadakan pada sore hari dengan waktu kurang satu setengah jam. Materi yang diajarkan ialah membaca Alquran, ibadah, akhlak dan keimanan sebagai pelatihan pelajaran agama yang dilakukan di sekolah rakyat pagi hari.
Oleh karena itu, meskipun dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-muridnya setiap harinya hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan sebagainya, madrasah-madrasah yang berada di dalam lingkungan pondok pesantren bebas dari pengawasan langsung pemerintah pendudukan Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren dapat berjalan dengan wajar.[37].
BAB III
Kesimpulan
  1. Kebijakan pendidikan pada masa penjajahan Belanda bersifat weternisasi dan kristenisasi. Tujuan pendidikan pada masa itu hanya untuk melahirkan pegawai-pegawai yang diharapkan membantu pemerintahan Belanda. Perkembangan pendidikan Islam pada masa ini berkembang dengan pesat. Pendidikan Islam mencoba memadukan antara pendidikan modern Belanda dengan pendidikan tradisional sehingga melahirkan madrasah-madarasah berkelas yang tidak hanya memberikan pengetahuan agama saja akan tetapi juga memberikan pengetahuan umum.

  2. Berbeda dengan Belanda, imperiaslismenya terhadap negara jajahan adalah 3G (ekonomi, politik dan agama), imperialisme Jepang justru bertujuan demi kepentingan perang antara Jepang dengan sekutu. Berbagai upaya dilakukan untuk memperkuat kedudukan Jepang, mulai dari cara yang halus sampai yang paling kejam. Jepang berusaha mengendalikan sumber daya manusia dan sumber daya alam negara jajahannya Indonesia. Walaupun sikap Jepang terhadap umat Islam lebih lunak (ini dilihat dari kebijaksanaan-kebijaksanaan Jepang) dari Belanda, namun di balik semua itu tersembunyi maksud untuk menarik simpati umat Islam agar mendukung dan membantu kepentingan perang Jepang, karena Jepang menyadari melalui agama dapat mempengaruhi masyarakat.

  3. Untuk mempercepat usaha Jepang tersebut segala cara ditempuh dalam segala segi kehidupan. Salah satunya dengan mengubah sistem pendidikan. Oleh sebab itu, Jepang menguasai kurikulum baru, yang berlaku secara umum untuk semua sekolah. Dalam kurikulum ini bahasa Indonesia menjadi pelajaran utama, bahasa Jepang menjadi pelajaran wajib. Para pelajar harus mempelajari adat istiadat Jepang, taiso, melagukan lagu Jepang, melakukan penghormatan (selkerei) ke arah istana kaisar Tokyo. Guru-guru juga harus dilatih agar dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan Jepang. Selain itu, diberi pelajaran tentang dasar-dasar pertahanan dan kemiliteran. Dualisme pendidikan pada masa Belanda dihapus dan diganti dengan sekolah secara umum. Kelak kebijakan ini sangat menguntungkan Indonesia diantaranya dalam penyeragaman kurikulum, bangsa Indonesia tidak lagi mengalami diskriminasi pendidikan.

DAFTAR BACAAN
Ally, Abdullah H. A. Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, CV. Pustaka Setia. Bandung, 1998
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999
Hasbullah, kapita Selekta Pendidikan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2001
I Djumhur dan Danasaputra. Sejarah Pendidikan¸ CV. Ilmu, Bandung, 1976.
Pidarta, Made, Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2007.
Nizar, Samsul, Sejarah pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007.
Suwendi, (2004), Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan Melacak Geneologi Pendidikan Islam Indonesia,Media Press, Bandung, 2008.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, hidakarya Agung, Jakarta, 1985, hal. 62
Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2010.