Jumat, 15 Februari 2013

Beranda » » Kelompok Sa’alik: Potret Masyarakat Marjinal Pra-Islam

Kelompok Sa’alik: Potret Masyarakat Marjinal Pra-Islam

Secara etimologis, sa‘alik berarti orang-orang miskin di mana kondisi yang diderita mereka karena kekurangan materi (al-faqir alladhi la mala lahu). Kecenderungan pengertian ini sebagaimana yang tercermin dalam puisi Hatim al-Ta’i:
عنيــــنا زمـانا بالتّصعلك والغـنى        كما الدهر في أيامه العسر واليسر
كسينا صروف الدهر لينا وغلظة         فــكلا سقــاناه بكأسيهما الدّهـــــر
Bait puisi al-Ta’i ini kemudian menjadi dalil (shawahid) untuk menguatkan pendapat para linguis bahwa kata tasa‘luk menjadi sinonim dengan kata faqr (miskin), dan lawan dari kata ghina (kaya). Menurut Yusuf Khulayf, dalam konteks pra-Islam, term sa‘alik tidak hanya harus difahami dari sudut pandang etimologis (al-da’irah al-lughawiyah), tetapi juga melihatnya dari sudut pandang sosiologis (al-da’irah al-ijtima‘iyah). Dengan kata lain, sa‘alik tidak sekedar memiliki pengertian orang-orang miskin an sich, tetapi lebih dalam pengertian khusus sesuai dengan konteks sosialnya pada masa pra-Islam, yaitu sekelompok masyarakat miskin yang memilih jalan hidup dengan perampokan. Pengertian ini sebagaimana yang tercermin dalam puisi ‘Amr ibn Barraq al-Hamdani:
تقــول سليـــمى لا تعــرّض لتلفــة       وليلك عن ليــــــل الصّعــــــاليك نائم
وكيف ينــام الليـــل من جــلّ مالــه        حسام كـلون المــــلح أبيــض صـارم
صموت إذا عض الكريهــة لم يــدع        لـهــــا طمعــا طـــوع اليـمين ملازم
نقــــــــــدت به ألفا وسامحت دونـه        على النقــد إذ لا تستطــــاع الدراهـم
ألم تعــــلمي أن الصّعاليك نومهـــم        قليـــــــل إذا نـــام الدّثــور المسالـم
Sesuai dengan konteks sosial pada bait puisi di atas, penggunaan dua kata sa‘alik tersebut tidak menunjukkan makna aslinya yaitu orang-orang miskin (fuqara’) an sich, tetapi lebih dalam pengertian orang-orang yang menghabiskan malam-malam mereka untuk melakukan pekerjaan pada malam hari seperti mencuri, membegal, dan merampok. Oleh karena itu, dalam pandangan Khulayf, penggunaan dua kata sa‘alik dalam bait puisi tersebut keluar dari wilayah pemahaman secara bahasa, yaitu kemiskinan (da’irat al-faqr), lebih lanjut pengertiannya menuju wilayah pemahaman yang lebih luas, yaitu orang-orang miskin yang memilih hidup dengan jalan perampokan dan pemerasan (da’irat al-ghazw wa-al-igharat li-al-salb wa-al-nahb).
Pada masa pra-Islam, kelompok sa‘alik juga dikenal dengan sebutan dhu’ban al-‘Arab (serigala Arab). Menurut Ibn al-Athir, disebut demikian, karena jika merampok atau memeras sesuatu bagaikan serigala yang buas. Selain itu, mereka juga dikenal dengan sebutan al-‘ada’in, yaitu orang-orang yang cepat melakukan permusuhan (sur‘at al-‘aduw). Umumnya mereka adalah orang-orang badawi miskin yang bertempat tinggal di desa-desa, meskipun kelas miskin juga melanda masing-masing individu pada masyarakat perkotaan, namun sangat sedikit di antara mereka yang hidup sebagai sa‘alik. Mungkin ini disebabkan karena kebiasaan dan cara hidup masyarakat badawi pedesaan (badiyah) yang berbeda dengan kehidupan orang-orang yang menghuni pusat-pusat peradaban.
Secara umum kelompok sa‘alik pra-Islam terbagi menjadi dua golongan; pertama, orang-orang miskin yang memilih menetap hidup dalam qabilah dengan menunggu pemberian dari orang lain (al-sa‘luk al-khamil). Kedua, mereka yang memilih jalan memberontak; baik atas keinginan mereka sendiri, maupun karena terusir dari kehidupan qabilah-nya (al-sa‘luk al-‘amil). Menurut Shawqi Dayf, kelompok sa‘alik yang memberontak ini adalah orang-orang yang termarjinalkan dalam qabilah-nya. Mereka terbagi menjadi tiga golongan, yaitu; pertama, golongan khula‘a’, yaitu orang-orang yang terusir dari qabilah-nya karena melakukan kesalahan dan membangkang, seperti Hajiz al-Azdi, Qays ibn al-Hidadiyah, dan Abu al-Tamahan al-Qayni. Kedua, golongan aghribat al-‘Arab, yaitu mereka yang berketurunan hitam seperti orang-orang Habshi yang dibuang oleh bapak-bapak mereka, dan tidak diakui sebagai anak keturunannya karena lahir sebagai aib. Adapun mereka yang termasuk golongan ini seperti Ta’abbata Sharran, al-Sulayk ibn al-Sulakah, dan al-Shanfara. Sedangkan golongan ketiga adalah mereka yang bukan termasuk golongan khula‘a’ dan juga aghribat al-‘Arab. Umumnya mereka adalah orang-orang miskin yang melakukan perampokan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (sa‘alik fuqara’). Perampokan yang mereka lakukan adakalanya secara individual, seperti ‘Urwah ibn al-Ward, dan adakalanya dengan berkelompok, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian warga qabilah Fahm, dan Hudhayl, seperti Abu Khirash al-Hudhali, Sakhr al-Ghayy al-Hudhali, al-A‘lam al-Hudhali. Kemudian selain tiga golongan di atas, terdapat beberapa nama seperti ‘Amr ibn Barraq al-Hamdani, Malik ibn Hurraym al-Hamdani, dan lain sebagainya, yang juga dikenal sebagai sa‘alik pada masa itu.
Jika dilihat dari asal muasal setiap pemberontakan berawal dari rasa frustrasi (the basic frustration) dari problem-problem individual yang dialami seseorang, atau sekelompok orang. Akumulasi dari rasa frustrasi yang bertumpuk-tumpuk inilah kemudian yang melahirkan pemberontakan. Dengan kata lain, munculnya pemberontakan diawali hadirnya ketidakadilan di tengah masyarakat. Kasus sa‘alik, pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh mengemukanya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam kehidupan qabilah. Kesenjangan yang mendorong terjadinya konflik sosial (al-suluk al-sira‘i) dari masalah-masalah sosial yang dialami individu-individu dalam qabilah. Sebagaimana diakui Khalil ‘Abd al-Karim, memberontaknya kelompok sa‘alik pra-Islam merupakan konsekuensi dari terceraiberainya hukum positif yang berlaku dalam masyarakat Arab pada masa itu, selain juga disebabkan karena terpusatnya kekayaan di tangan kelas kaya dalam kehidupan qabilah, sementara mayoritas warganya terjerat dalam kemiskinan.
Meskipun kelompok sa‘alik dikenal sebagai masyarakat miskin, namun kemiskinan bukan satu-satunya faktor yang melatarbelakangi pemberontakan mereka. Dari perspektif ini, berkaitan dengan latarbelakang pemberontakan kelompok sa‘alik pra-Islam, paling tidak dapat dikelompokkan menjadi dua karakteristik, yaitu; prestise sosial dan ekonomi. Pertama, prestise sosial terkait dengan memberontaknya individu dari akibat hilangnya identitas kesukuan, dan diskriminasi terhadap ras dan kualitas darah keturunan (nasab). Kelompok sa‘alik dari golongan khula‘a’ merupakan bukti nyata dari memberontaknya individu-individu dari akibat hilangnya identitas kesukuan dan terusirnya mereka dari kehidupan qabilah-nya. Pengusiran ini merupakan bentuk hukuman bagi mereka yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam kehidupan qabilah, seperti membunuh individu sedarah, atau mencemarkan nama baik qabilah-nya. Jika salah seorang dalam qabilah melakukan pelanggaran, maka ia akan dikenakan sangsi atas apa yang telah diperbuatnya, yaitu diusir, dan identitas kesukuannya akan dicabut dari qabilah-nya. Sedangkan kelompok sa‘alik dari golongan aghribat al-‘Arab yang berketurunan hitam merupakan potret memberontaknya individu dari akibat diskriminasi terhadap ras dan kualitas nasab. Mereka yang digolongan ke dalam aghribat ini biasanya terlahir dengan kualitas keturunan yang berbeda; bapak dari keturunan asli qabilah, dan ibu berketurunan asing, atau sering juga dikenal dengan sebutan hujana’, yang tidak diakui sebagai anak keturunan bapaknya karena kelahiran mereka dianggap sebagai aib yang mencoreng kehormatan keluarganya.
Adapun motif kedua dari pemberontakan kelompok sa‘alik adalah ekonomi. Kecenderungan ini merupakan bentuk pemberontakan yang dilatarbelakangi dari akibat kesenjangan ekonomi yang terjadi dalam kehidupan qabilah. Munculnya individu dari kalangan elit dan pemimpin qabilah yang mengkooptasi kekayaan, menyebabkan timbulnya pengkotakan individu ke dalam kelas ekonomi kaya dan miskin. Sebagaimana diakui Ahmad Amin, sumber kekayaan dalam qabilah sepenuhnya dikooptasi oleh kelas kaya. Jika mereka mendapat harta rampasan atau yang sejenisnya, maka para elit dan pemimpin qabilah-lah yang mengambil dan menikmatinya, sedangkan masyarakat miskin hanya menikmati sedikit. Keistimewaan dan kekayaan yang dimiliki kelas kaya ini menjadikan mereka sombong atas orang-orang miskin, sesuatu yang semakin mempertajam adanya jurang pemisah antara kelas kaya dan miskin. Perbedaan yang tajam dalam hal kekayaan ini berdampak pada terkikisnya hubungan antarindividu dalam qabilah. Orang-orang miskin mulai merasa bahwa kelas mereka berbeda jauh di bawah kelas kaya yang hidup dalam penguasaan sumber kekayaan. Hal ini menunjukkan bahwa determinasi ekonomi memiliki peranan penting dalam menghancurkan semangat kesukuan. Dampak dari kondisi inilah kemudian yang menyebabkan orang-orang miskin lari dari kesatuan masyarakatnya.
Akumulasi dari problem-problem individual inilah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan. Bentuk pemberontakan yang mereka lakukan adalah dengan keluarnya mereka dari kehidupan qabilah-nya, dan memilih jalan hidup sebagai sa‘alik. Hal itu mereka lakukan secara sadar sesuai dengan keinginan mereka sendiri, ataupun karena terusirnya mereka dari kehidupan qabilah-nya. Tujuan dari semua itu adalah sebagai bentuk perlawanan dan protes terhadap kehidupan qabilah yang telah menghilangkan hak-hak sosial mereka. Dengan demikian, meskipun latar belakang pemberontakan individu-individu dalam kelompok sa‘alik memiliki karakteristik dan motif yang berbeda-beda, tetapi umumnya mereka adalah orang-orang miskin. Banyak dari puisi-puisi mereka yang menyiratkan informasi tersebut.
Dalam kehidupan sosial, kelompok sa‘alik hadir sebagai kelas bawah setelah kelompok mawali, dan posisi mereka sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan ‘abid (budak). Dan yang menjadi motto mereka adalah perampokan dan pemerasan (al-ghazwu wa-al-igharat li-al-salb wa-al-nahb). Hal tersebut merupakan tujuan hidup mereka sebagai orang-orang yang hidup dalam kemiskinan, sehingga telah menjadi karakteristik tersendiri yang lekat dalam kehidupan mereka. Dalam pandangan ‘Abd al-Halim Hifni, pada masa pra-Islam, perampokan dan pemerasan tidak hanya sebatas pada kelompok sa‘alik an sich, tetapi telah menjadi karakteristik masyarakat Arab, khususnya masyarakat badawi. Dalam cerita-cerita atau riwayat-riwayat banyak ditemukan bagaimana misalnya suatu qabilah merampas qabilah lainnya, atau seperti orang-orang badawi selain kelompok sa‘alik melakukan perampokan dan pemerasan, dan bahkan tokoh-tokoh elit Arab pada masa itu, seperti ‘Amr ibn Ma‘dikarib, Durayd ibn al-Simmah, al-Nabighah al-Dhubyani, dan lain sebagainya, juga melakukan perampokan dan pemerasan. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa perampokan dan pemerasan tidak hanya terbatas untuk kelompok sa‘alik, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa karaktersitik tersebut telah melekat dalam kehidupan mereka. Namun perampokan dan pemerasan tersebut bukan satu-satunya tujuan mereka, tetapi terdapat tujuan lain, yaitu memberontak dan menuntut balas (al-tha’r wa-al-intiqam) terhadap kondisi sosial yang melatarbelakangi perampokan dan pemerasan yang mereka lakukan (ihtiraf al-suluk al-‘udwani bi-qasd al-maghnam).
Menurut Hasan Muhammad Rababa‘ah, terdapat dua motif perampokan yang dilakukan kelompok sa‘alik pra-Islam, yaitu motif material (al-dafi‘ al-jasadi), dan sebagai prestise dan harga diri (al-dafi‘ al-nafsi). Kecenderungan pertama merupakan bentuk perampokan yang umumnya dilakukan kelompok sa‘alik sebagai orang-orang miskin yang hidup dalam kelaparan dan membutuhkan makanan. Maka dalam kondisi seperti ini, perampokan merupakan satu-satunya cara untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam menjalankan perampokan, biasanya mereka melakukannya di wilayah-wilayah subur yang memiliki sumber penghidupan. Menurut Ahmad Kamal Zaki, umumnya target operasi perampokan kelompok sa‘alik pra-Islam terdiri dari tiga titik sentral, yaitu pertama, wilayah-wilayah subur di mana terdapat sumber mata air. Kedua, pusat-pusat perdagangan dan jalan-jalan tempat para kafilah dagang lewat. Ketiga, pasar-pasar umum.
Adapun motif perampokan kedua yang menjadi kecenderungan kelompok sa‘alik adalah sebagai bentuk harga diri dan protes terhadap kehidupan qabilah yang telah merampas hak-hak sosial mereka. Asma’ Abu Bakr Muhammad berpendapat bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi karakteristik perampokan kelompok sa‘alik pra-Islam, yaitu; pertama, mereka sangat membenci orang-orang kaya yang pelit, sehingga orang-orang tersebut adalah target operasi perampokan mereka. Kedua, mereka tidak memonopoli harta rampasan yang mereka peroleh, namun dibagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan dengan mengutamakan prinsip keadilan dan tidak membedakan antara satu sama lainnya, bahkan pemimpin dari mereka pun tidak disebarkan, dan memeroleh perlakuan yang sama. Ketiga, kelompok sa‘alik memiliki kepedulian dan kepekaan sosial yang sangat tinggi dengan mengutamakan kepentingan masyarakat miskin. Dan keempat, mereka menganggap apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah perilaku yang buruk, sebaliknya, mereka menganggapnya sebagai sebuah prestise, sikap ksatria, dan ancaman bagi orang-orang kaya yang pelit.
Perampokan dan pemerasan merupakan dasar dari falsafah hidup kelompok sa‘alik. Hal tersebut mereka lakukan untuk mewujudkan perjuangan mereka dengan menolak segala bentuk eksploitasi dan merendahkan masyarakat miskin. Itu merupakan satu-satunya cara untuk menuntut hak-hak sosial mereka terhadap orang kaya. Tujuan dari semua itu adalah untuk merealisasikan sebuah keadilan sosial. Dan yang menjadi keistimewaan kelompok sa‘alik ini adalah bahwa mereka tidak memonopoli sendiri harta rampasan yang mereka rampok dari orang-orang kaya yang pelit, akan tetapi membagi-bagikannya kepada masyarakat miskin yang berada dalam kesulitan dan kesusahan. Meskipun mereka terkenal dengan keganasannya, tetapi mereka memiliki solidaritas sosial yang sangat kuat antarsesama. Mereka memiliki pandangan humanis yang berpegang pada prinsip keadilan dan kedermawanan untuk menolong orang-orang miskin. Jika orang-orang miskin sedang ditimpa kesusahan, maka mereka dengan senang hati mengumpulkan, melindungi, dan memberi pertolongan kepada mereka yang membutuhkan.
Dari perspektif ini, perampokan yang dilakukan kelompok sa‘alik guna membantu masyarakat miskin, dapat dikatakan merupakan fenomena; meminjam istilah E. J. Hobsbawm, ‘bandits’ (bandit sosial) seperti halnya fenomena Robin Hood di Inggris, Janosik di Polandia dan Slowakia, dan Diego Corrientes di Andalusia. Mereka dianggap sebagai pahlwannya masyarakat miskin, yang dapat melindungi dan merampok orang-orang kaya guna membagi-bagikannya kepada orang miskin. Perampokan tersebut tidak semata-mata merupakan kejahatan, tetapi sebagai bentuk protes sosial.
Dengan demikian, apapun persoalannya, munculnya kelompok sa‘alik pra-Islam merupakan fenomena sosial dari memudarnya fanatisme kesukuan individu terhadap qabilah. Sebagaimana diakui Khulayf, fenomena sa‘alik pra-Islam merupakan gambaran nyata dari memudarnya fanatisme kesukuan (‘asabiyah qabaliyah) individu, seiring dengan tumbuhnya sektarianisme (‘asabiyah madhhabiyah) dalam struktur sosial masyarakat Arab pra-Islam. Memudarnya fanatisme kesukuan berakibat pada hilangnya keyakinan mereka terhadap norma-norma yang berlaku dalam qabilah, sehingga norma-norma tersebut tidak dijadikan sebagai sumber nilai dalam kehidupan, dan bahkan mereka menganggap hubungan dengan qabilah-nya sebagai permusuhan. Fenomena sa‘alik ini terus berlanjut sampai pada masa Islam, Umayyah, ‘Abbasiyah. Dan bahkan menurut Ahmad Sulayman Ma‘ruf, fenomena sa‘alik ini merupakan genealogi dari munculnya kelompok khawarij dalam sejarah kekhalifahan Islam (wa-anna al-sa‘alik, sa‘alik al-Jahiliyah hum ajdad al-khawarij).
Daftar Bacaan:
  1. Adonis. al-Thabit wa-al-Mutahawwil: Bahth fi al-Ibda‘ wa-al-Itba‘ ‘Inda al-‘Arab. Jilid. 1. Beirut: Dar al-Saqi, 1994.

  2. Shawqi Dayf. al-‘Asr al-Jahili. Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2003.

  3. Yusuf Khulayf. al-Shu‘ara’ al-Sa‘alik fi al-‘Asr al-Jahili. Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1978.

  4. ‘Abd al-Halim Hifni. Shi‘r al-Sa‘alik: Manhajuhu wa-Khasa’isuh. Kairo: al-Hay’at al-Misriyah al-‘Ammah li-al-Kitab, 1987.

  5. Roger Allen. An Introduction to Arabic Literature (Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

  6. Khalil ‘Abd al-Karim. Quraysh Min al-Qabilah Ila al-Dawlah al-Markaziyah. Kairo: Sina, 1997.

  7. Sa‘di Dannawi, ed. Diwan ‘Urwah Ibn al-Ward. Beirut: Dar al-Jil, 1996.

  8. Emil Badi‘ Ya‘qub, ed. Diwan al-Shanfara. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1996.

  9. Saghir Ibn Raghib ‘Abd Allah al-‘Anzi. “Ru’yat al-‘Alam fi Shi‘r al-Sa‘alik Hatta Nihayat al-Qarn al-Thalith al-Hijri.” Dr. dis., Jami‘at Umm al-Qura Saudi Arabia, 1431 H.

  10. Ahmad Amin. al-Sa‘lukah wa-al-Futuwwah fi al-Islam. Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1986.

  11. ‘Abd al-Jawwad al-Tayyib. Hudhayl fi Jahiliyatiha wa-Islamiha. Libya: al-Dar al-‘Arabiyah li-al-Kitab, 1982.

  12. Hasan Muhammad Rababa‘ah. “al-Gharat ‘Inda al-Shu‘ara’ al-Sa‘alik fi al-Jahiliyah,” al-Adab 1. (1998/1418 H): 58-65.

  13. Asma’ Abu Bakr Muhammad, ed. Diwan ‘Urwah Ibn al-Ward Amir al-Sa‘alik. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.

  14. E. J. Hobsbawm, “Bandit Sosial,” dalam Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, terj dan peny. Sartono Kartodirdjo (Jakarta: LP3ES, 1984): 74-94.

  15. Muhammad Rida Muruwwah. al-Sa‘alik fi al-‘Asr al-Umawi: Akhbaruhum wa-Ash‘aruhum. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990.

  16. Husayn ‘Atwan. al-Shu‘ara’ al-Sa‘alik fi al-‘Asr al-‘Abbasi al-Awwal. Beirut: Dar al-Jil, 1997.

  17. Ahmad Sulayman Ma‘ruf, Qira’at Jadidah fi Mawaqif al-Khawarij wa-Fikrihim wa-Adabihim. Damaskus: Dar Talas, 1988.
Andre Ilham