Senin, 04 Februari 2013

Beranda » » Menguak Tabir Gayo: dari Luttawar hingga Linge

Menguak Tabir Gayo: dari Luttawar hingga Linge

Catatan Akhir Pekan a.ZaiZa
CERDAS. Satu kata itu sangat layak diberikan kepada masyarakat Gayo secara umum. Mengapa? Karena dalam sepekan terakhir ini, masyarakat tercerdaskan dan tercerahkan pikiran dan memorinya, untuk mengungkap tabir misteri yang menyelimuti “Gayo”.
Betapa tidak, Gayo yang dijuluki “nengeri antara”, negeri diatas awan, negeri legenda, Negeri dari kepingan tanah surga dan banyak julukan lainnya yang sifatnya antara ada dan tiada. Negeri yang pernah menuai masa kejayaan yang hebat di zamannya dan ini diakui dan selalu kita bangga-banggakan.
Namun, negeri “khayalan” ini yang berbalut legenda mulai terkuak kepermukaan, bahwa Gayo itu memang ada, bukan hanya cerita belaka. Ada dua catatan penting yang saya lihat dalam akhir-akhir bulan Januari hingga awal Februari tahun ini. Pertama, terungkap bahwa danau Lut Tawar sudah didiami sejak 7525 tahun yang lalu dan kedua, dinobatkannya Iklil Ilyas Leube sebagai Reje Linge XX pada Senin 28 Januari 2013 di Buntul Linge.
Meyangkut hal yang pertama, dimana berdasarkan hasil penelitian arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Medan akhir tahun 2012 lalu ternyata kawasan tepi danau Lut Tawar sudah didiami sejak 7525 tahun yang lalu. Lebih tua 125 tahun dari temuan sebelumnya, 7400 tahun.
“Dari sejumlah sampel yang kita analisa carbon datin pasca penggalian terakhir yang hasilnya kami terima beberapa hari lalu, ternyata di gua Mendale sudah dihuni sejak 7525 tahun lalu,” kata Ketut Wiradnyana sebagaimana yang dilansir media online Lintas Gayo yang sedang kita baca ini.
Selain itu, di Loyang (gua) Mendale juga ditemukan manik-manik dari berbagai bahan seperti kaca dan kulit kerang. Manik-manik berbahan kulit kerang berumur 3100 tahun sementara berbahan kaca berasal dari Asia Pasifik Cina yang diproduksi di abad 12-an.
Kesimpulan lainnya, pada abad 12 di Gayo sudah terjadi perdagangan yang dilakukan oleh orang India. Karenanya ada pengaruh India di Gayo. Saat itu, bahan dagangan yang populer dari Gayo adalah hasil dari hewan seperti daging, kulit, gading serta hasil hutan lainnya.
“Di abad 12, kawasan Aceh pesisir sudah ramai begitu juga di Gayo. Dan untuk temuan artefak dan ekofak di Buntul Linge pernah dipakai di abad 5, 8 dan 12,” tutup Ketut Wiradnyana.
Bagian kedua, dimana tak lama berselang setelah berita hasil temuan Balar Medan itu dilansir oleh Lintas Gayo yang kemudian banyak di kutip media cetak lainnya baik terbitan Aceh maupun regional sumatera, media Online yang berbasis di Aceh Tengah ini kembali menyajikan berita pencerdasan dan pencerahan, yakni tentang penobatan Reje Linge ke XX.
Dalam catatan akhir pekan di awal bulan Februari ini, saya tidak membahas pro-kontra tentang Reje Linge tersebut. Siapa Iklil Ilyas Leube itu, apakah ada keturunan “darah biru” atau tidak, layak atau tidakan dia sebagai reje dan berbagai intrik dan pro-kontra lainnya.
Hanya saja saya melihat, dari dua catatan tersebut merupakan isyarat yang diberikan Allah kepada masyarakat Gayo untuk kembali memutar otak dan pikirannya, bahwa peradaban Gayo itu sungguh besar dan sudah mengisi peradaban dunia jauh sebelum kehidupan modern seperti saat ini terjadi.
Kita dihadapkan pada satu problematikan duniawi dan kita (masyarakat Gayo-red) juga harus mampu membaca isyarat yang tersirat ini. Sehingga peradaban yang hakiki yang pernah besar itu pada tempoe doeloe itu bisa kembali hadir di masa modern ini.
Dengan demikian, sejarag Gayo ini bisa terungkap semuanya dengan satu benang merah yang jelas, tidak samar-samar lagi. Maaf, mengapa saya sebut samar-samar, karena sulit melakukan pembuktian yang benar jika semua kita saling klaim dan melakukan pembenaran bahwa kitalah yang benar.
Salah satu yang tersirat yang masih perlu dipecahnya yakni masalah silsilah Reje Linge dengan runutan silsialahnya. Bukti kecil, awal pemberitaan penobatan Iklil Ilyas Leube, disebutkan ia sebagai Reje Linge ke XVIII, lalu setelah masukanya berbagai pendapat dan pandangan, ternyata katanya Iklil itu Reje Linge ke XX.
Belum lagi hasil penelitian sejarah secara akademik yang dilakukan budayawan Gayo, Salman Yoga yang menyatakan bahwa Reje Linge pertama tersebut Ahmad Syarif, sedangkan banyak refrensi menyebutkan Reje Linge pertama itu Adi Genali.
Dua kasus diatas saja, masih terlihat hal yang simpang siur. Inilah yang harus dibuktikan dan dipecahkan tabirnya. Sehingga peradaban Gayo tempoe doeloe itu bisa terang benderang terbuka dan sejarah itupun terluruskan.
Musara Gayo
Sekiranya, guna mengungkap tabir yang menyelimuti Gayo ini perlu segera disingkap. Salah satunya dengan melakukan Musyawarah Raya Rakyat Gayo atau yang saya singkat dengan kata “Musara Gayo” yang melibatkan semua pihak termasuk rakyat atau masyarakat Gayo se dunia.
Musara Gayo ini bisa saja difasilitasi oleh Pemerintah kabupaten di Gayo (Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara) atau minimal dua kabupaten yakni Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kalau peran tersebut tak bisa dilakukan pemerintah, maka komponen dan komunitas tertentu bisa menjadi fasilitatornya. Tentunya, fasilitator ini pihak yang bisa dipercaya semua komponen masyarakat Gayo.
Dalam Musara Gayo ini, perlu diundang semua pihak, mulai dari para keturunan Reje Linge yang kini tersebar di berbagai daerah di Aceh bahkan luar Aceh. Lalu, hadirkan para reje-reje lainnya yang pernah ada di Gayo, seperti Reje Bukit, Reje Guru, Reje Ilang dan reje-reje lainnya. Peserta lainnya para penelitih, tokoh masyarakat, cerdik pandai, tokoh muda dan komponen lainnya untuk duduk bersama guna meluruskan sejarah ini.
Selain tokoh lokal, juga perlu datangkan para keturunan raja-raja nusantara yang paham atau masih tau perkembangan Reje Linge. Satu lagi yang snagat layak di undang, yakni para pakar sejarah dunia, yang paham tentang perkembangan raja-raja nusantara termasuk Reje Linge. Sebab, konon dari penuturan seseorang yang memiliki darah keturunan Ilang, kepada penulis, mengakui kalau di sebuah perpustakaan Belanda, ada beberapa buku yang memuat daftar silsilah reje-reje di Gayo.
Tentu ini pekerjaan berat dan tak hanya cukup dengan melibatkan satu atau dua orang saja, melainkan harus melibatkan banyak pihak. Namun itu harus kita lakukan, guna mengungkan jati diri kita sesunggunya, Suku Bangsa Gayo, sebagai suku bangsa yang tertua yang pernah ada dalam catatan sejarah dunia.
Jika ini bisa diluruskan, sebagaimana yang pernah saya tulis dalam catatan akhir pekan lalu, kita Gayo, kembali selangkah lebih maju dari saudara kita di pesisir. Bahwa kita suku bangsa Gayo merupakan suku bangsa yang memiliki peradaban lebih maju dan sudah ada sejak zaman dahulu. Dari pelurusan sejarah tersebut kita juga bisa buktinya siapa Reje Linge sesunggunya dan siapa yang lebih layak jika masa kejayaan kerajaan itu kembali dihadirkan, sebagai penerus reje di bumi Gayo.
Dari pro kontra yang berkembang menunjukan, kita masih jauh lebih demokratis dari saudara kita di pesisir. Sebab, sebagai bukti dalam hal pengukuhan Wali Nanggroe, tidak ada yang berani mengkritisi, kecuali mahasiswa dan masyarakat Gayo serta jumlah kecil suku lainnya di Aceh. Selebihnya, manut akan apa yang telah diputuskan.
Sehingga ada anekdot yang berkembang di masyarakat yang mendiami pesisir Aceh, bahwa dari 9 Wali Nanggroe, Wali Nanggroe 1-8 berasal dari Tiro, Pidie dan satu orang dari Singapura yang notabene tidak ada pertalian darah. Dan saya pikir juga Iklil Ilyas Leube bukanlah orang yang gila kekuasaan atau jabatan, karenanya, jika sejarah terluruskan, saya rasa ia pun akan legowo (meminjam istilah Jawa) untuk menyerahkan kepada yang lebih berhak untuk jabatan Reje Linge tersebut.
Toh, Fauzan Azima selaku inisiator pengukuhan Reje Linge mengakui kalau Reje Linge itu dikukuhkan bertujuan hanya untuk mermpersatukan masyarakat Linge Raya meliputi kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Kalul di kabupaten Tamiang dan Lukup Serbejadi di Aceh Timur.
Dari itu pernyataan Fauzan Azima itu juga menunjukan, bahwa Reje Linge ini bukan hanya milik satu golongan tertentu saja, meski saat pengukuhannya dilakukan, pada acara silaturrahmi dan maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar pengurus dan anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA) sedataran tinggi Gayo serta sebagian masyarakat.
Mari kita curahkan pikiran dan tenaga untuk menjemput peradaban emas Gayo. Insya Allah, isyarat yang tersirat ini bisa kita pecahkan.

(aman...@yahoo.com)