Senin, 25 Februari 2013

Beranda » » Muhammad Daud Syah

Muhammad Daud Syah

Saya tertarik menulis artikel ini setelah membaca  berita di harian  Serambi Indonesia  (7/2/13) dengan judul “Keturunan Raja se-Aceh Lakukan Pertemuan”  dalam rangka memperingati 74 tahun  mangkatnya Sultan Muhammad Daud Syah (6 Februari 1939). Muhammad Daud Syah yang mangkat dalam pembuangan di Pulau Jawa dibuang oleh pemerintah Belanda ke luar Aceh pada  24 Desember 1907,   karena dianggap tidak bisa diajak berkerja sama dengan Belanda. Dia bersama keluarga inti diraja yaitu anaknya Tuanku Raja Ibrahim dan  Teungku Bungsu serta pengikutnya  ke luar Aceh yaitu ke Bandung dan  Ambon. Pada tahun 1918 dipindahkan ke Jatinegara, Jakarta,  sampai beliau wafat pada hari senin, 6 Februari  1939 dan dimakamkan di Pekuburan Umum Kemiri, Rawamangun,  Jakarta. Lokasi pusaranya berdekatan dengan  kampus Universitas Negeri Jakarta.

Pada awal Desember 2012, penulis berziarah ke makamnya. Ternyata, tidak sulit menemukannya walaupun tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa di situ makam Sultan Aceh terakhir ini. Masyarakat sekitar tahu dan membantu penulis menunjukkan tempat dimakamkannya. Di pusaranya tertulis,  “Toeankoe Sultan Muhammad Daoed ibnal Marhoem Toeankoe Zainal Abidin Alaiddin Syah, wafat hari Senen 6 Februari 1939.”

 Kehidupan raja Aceh ini  tidak seindah dan semewah raja-raja lain di Nusantara yang mengakui keberadaan penjajah kolonial, dimana mereka menerima kemegahan dan status sosial sampai ke keturunannya kini. Sedangkan Sultan Aceh ini sejak ditabalkan menjadi raja,  hidupnya terus bergerilya dalam hutan-hutan Aceh demi mempertahankan marwah negerinya sampai beliau ditangkap dan dibuang oleh Belanda pada  20 Januari 1903 dan meninggal dalam pengasingan, tanpa pernah menyerahkan kedaulatan Aceh kepada kaum penjajah dan tidak pernah dimakzulkan (diturunkan) secara adat Aceh.

Muhammad Daud Syah dilahirkan pada tahun 1871, dua tahun sebelum Belanda menyerang Aceh pada  26 Maret 1873 M. Sejak berusia 7 tahun,  dia ditabalkan  sebagai Sultan Aceh  di Masjid Indrapuri pada hari Kamis, 26 Desember 1878 M, menggantikan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874)  yang meninggal pada 28 Januari 1874, pukul 12.00 siang hari. Menurut catatan sejarah, Sultan Mahmudsyah  wafat karena wabah kolera dan dimakamkan di Cot Bada Samahani, Aceh Besar. Wabah kolera ini dibawa oleh Belanda dan ini merupakan penggunaan senjata kimia pertama yang digunakan oleh penjajah dalam sejarah peradaban dunia.

Setelah pengangkatan Sultan Muhammad Daudsyah sebagai Sultan Aceh, pembesar-pembesar Aceh seperti Tuanku Hasyem Banta Muda,  Teuku Panglima Polem Muda Kuala, Teungku Syiek di Tanoh Abee terus  menyusun siasat baru untuk menyerang Belanda di Kuta Raja. Pada tahun 1880,  Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah bergabung dengan Sultan Muhammad Daudsyah dalam barisan pejuang dan diangkat sebagai menteri peperangan (amirul harb)  menentang Belanda. Peran Tgk Syik di Tiro Muhammad Saman dan keturunannya sangat besar dalam sejarah Aceh. Belanda sendiri kemudian menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teugku Maat Syiek di Tiro syahid di gunung Halimun (Ismail Yakob: 1943).

Pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim (6) disandera oleh Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie. Tujuan penyanderaan ini agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah menyerahkan diri kepada Belanda. Akhirnya setelah bermusyawarah dengan penasihatnya, Sultan datang dan bertemu dengan Belanda di Sigli. Pada 20 Januari 1903, Sultan Muhammad Daud Syah dibawa ke Kuta Raja menghadap Gubernur Aceh Jenderal Van Heutz dengan harapan dia akan mengakui kekuasaan pemerintah penjajah di Aceh. Tetapi,  harapan pembesar Belanda ini tidak menjadi kenyataan karena dia menolak menandatangani MoU damai dengan Belanda. Bahkan draf surat damai dirobek oleh Muhammad Daud Syah di pendopo Jenderal Van Heutz (pendopo Gubernur Aceh sekarang).

Pada  3 Februari 1903, Muhammad Daud Syah diintenir (tahanan rumah) di kampung Kedah, Banda Aceh. Dia hanya diperbolehkan bergerak bebas di sekitar Kuta Raja. Walau Muhammad Daud Syah berada dalam tahanan rumah, menurut  penyelidikan intelijen Belanda, dia masih memberi sumbangan dan dukungan kepada para pemimpin gerilyawan Aceh. Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih sebagai perantara. Ketika tempat kediaman Sultan Muhammad Daud Syah digeledah pada Agustus 1907, ditemukan sejumlah surat milik sultan yang ditujukan kepada para pejuang. Di samping itu, terjadinya serangan kilat ke markas Belanda di Kuta Raja pada 6 Maret 1907 malam, secara tidak langsung juga diatur oleh Sultan Muhammad Daud Syah.(T. Ibrahim Alfian, 1999 : 141).

Pengaruhnya yang masih sangat besar terhadap rakyat menyebabkan Gubernur Aceh, Letnan Jenderal Van Daalen mengusulkan Sultan Muhammad Daud Syah dibuang dari Aceh. Maka pada 24 Desember 1907, Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah, istri, dan anaknya Tuanku Raja Ibrahim, serta Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Batavia dan menetap di Jatinegara (sekarang Gudang Bulog).

Di Batavia, Sultan Muhammad Daud Syah terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang untuk membantu Kerajaan Aceh guna melawan Belanda. Surat itu sekarang didokumentasikan dengan baik oleh cucunya, Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibrahim. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut: “Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap ke hadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong oleh orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun beta melawan sampai 30 tahun. Jika boleh sahabat bagi, mari kapal sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini.”

Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon. Pada tahun 1918, sultan dipindahkan kembali ke Rawamangun, Jakarta,  sampai beliau menghembuskan nafas terakhir pada 6 Februari 1939.  Ketika penulis menziarahi makam sultan tersebut,  kondisinya sangat menyedihkan. Tidak tampak bahwa di situ terbaring seorang pejuang yang tak pernah kenal menyerah demi membela nasib agama dan bangsanya.

Membaca ulang sejarah Sultan Muhammad Daud Syah ini memang menyedihkan. Sultan rela meninggalkan istana untuk berjuang. Adapun saat ini, suasananya memang sudah berubah. Istana menjadi incaran kita semua. Kisah keluarga sultan dan bagaimana hubungan baik mereka dengan para ulama tentu dapat menjadi i’tibar bagi pemimpin saat ini.

Kepahitan perjuangan mereka telah kita nikmati hasilnya hari ini. Kisah perjuangan Sultan dan Ulama Aceh tersebut masih tercatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah perjuangan bangsa Aceh, walaupun kisah tersebut sudah mulai hilang dalam ingatan generasi kini. Kisah perjuangan Sultan Muhammad Daud Syah ini diangkat agar dapat dihayati oleh generasi penerus. Selain itu, kita juga berharap pemimpin Aceh hari ini mampu mengambil i’tibar dari perjuangan endatu Aceh. Melihat situasi Aceh hari ini, i’tibar dan hikmah perjuangan tersebut ternyata belum mampu dilihat secara nyata. Raja Aceh telah meninggalkan kita, namun semangat dan nilai perjuangan mereka masih dapat kita rasakan. Bagaimana dengan pemimpin Aceh hari ini?

* M Adli Abdullah adalah Pendiri Dayah Najmul Hidayah Al Aziziyah Meunasah Subung, Cot Meurak Samalanga dan Pemerhati Adat dan Sejarah Aceh. Email: bawarith@gmail.com