Selasa, 26 Februari 2013

Beranda » » PIRAMIDA SADAHURIP, SUKAWENING, WANARAJA GARUT”

PIRAMIDA SADAHURIP, SUKAWENING, WANARAJA GARUT”


Salah satu berita panas di media akhir-akhir ini adalah silang pendapat tentang keberadaan piramida di Gunung Sadahurip, Garut, Jawa Barat. Silang pendapat muncul setelah Andi Arief, Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana, merilis hasil penelitian dari Tim Bencana Katastropik Purba yang difasilitasi oleh Andi Arief tersebut.
Salah satu petikan rilis Andi Arief pada media adalah “Dari beberapa gunung yang di dalamnya ada bangunan menyerupai piramid, setelah diteliti secara intensif dan uji karbon dating, dipastikan umurnya lebih tua dari Piramida Giza” (detikcom, Minggu (22/11/2011)). Kemudian Andi Arief melanjutkan dengan “Ada temuan mencengangkan tentang uji karbon dating pada 3 lapis kebudayaan di kawasan Trowulan yang terlanjur kita sebut Majapahit pada zaman sejarah masehi itu. Juga tentang temuan-temuan lapisan sejarah di Lamri Aceh dan sekitarnya.”
Sesudah berita itu, hari-hari berikutnya sampai sekarang beragam tanggapan muncul. Beberapa arkeolog meragukan dan ada juga yang menyatakan bahwa tidak mungkin ada piramida di Gunung Sadahurip. Para arkeolog yang meragukan kajian Tim Bencana Katastropik Purba tersebut antara lain menyatakan tidak mungkin ada piramida di bawah gunung. Ada pula ahli arkeolog yang menyatakan bahwa bangunan piramida tidak berdiri sendiri, harus disertai peradaban yang ada disekelilingnya, dimana peradaban yang menunjang berdirinya piramida di Garut tidak ada. Kemudian ada pula ahli astronomi yang menyatakan secara geometri dan astronomi tampakan Gunung Sadahurip tersebut tidak seperti piramida atau candi Borobudur, yang semuanya memiliki hitungan geometri dan astronomi.
Pada awalnya penulis juga meragukan adanya piramida di Gunung Sadahurip. Bahkan penulis mulai sepakat dengan beberapa komentar masyarakat di media masa bahwa berita tersebut adalah pengalihan isu dari perkara korupsi yang sekarang menghantam partai Demokrat dengan dahsyat. Kemudian penulis juga ingat beberapa berita-berita yang lain dan mirip seperti harta karun Soekarno, yang ternyata sampai sekarang tidak ada yang benar. Penulis semakin menduga-duga bahwa bakal ada satu lagi berita bohong yang disampaikan ke publik untuk tujuan-tujuan tertentu.
Tapi penulis merasa ada yang ganjil dengan silang pendapat di atas. Penulis juga merasa tidak fair jika tidak mencari berita yang menjelaskan pekerjaan dari Tim Bencana Katastropik Purba. Penulis mendapatkan di salah satu portal vivanews.com penjelasan dari tim tersebut. Pada berita di atas dijelaskan upaya tim untuk mengetahui siklus bencana, yang juga terjadi di masa lalu. Karena itu sebuah kewajaran jika kemudian tim peneliti ini juga melakukan penelitian terhadap peradaban kuno, yang diduga banyak yang ikut terhempas bencana. Tim ini meneliti keterkaitan bencana dan peradaban. Mulai dari meneliti kemungkinan musnahnya suatu peradaban karena bencana, hingga mencari tahu kearifan lokal masyarakat masa lalu dalam menghadapi bencana.
Argumen-argumen yang dikemukan oleh tim terkait tentang latar belakang dilakukan penelitian tersebut sangat logis dan runtut. Tim membantah rumor yang menyebutkan penelitian ini dimaksudkan sebagai pencarian piramid, apalagi pencarian harta karun. “Piramida, itu terlalu awal,” kata anggota tim lain yang juga ahli geologi ITB, Andang Bachtiar. “Bagaimana kami mendapatkan kearifan masa lalu, itulah harta karun bagi kami,” lanjut Andang. Banyak penelitian-penelitian arkeologi yang memang berhasil mengungkap keberadaan peradaban kuno yang tertimbun oleh bencana besar. Sehingga tidak ada salahnya juga para peneliti Tim Bencana Katastropik Purba melakukan hal yang sama di seluruh Indonesia.
Lantas kenapa penelitian oleh Tim Bencana Katastropik Purba menjadi kontroversi? Kenapa muncul bantahan-bantahan terhadap hasil penelitian tim tersebut?
Jika menilik kronologinya, kontroversi dan bantahan muncul setelah hasil penelitian tersebut dirilis. Kontroversi dan bantahan muncul ketika hasil penelitian diartikulasikan ke media masa dan masyarakat umum. Dalam beberapa kasus, kutipan dan interpretasi terhadap hasil penelitian seringkali sepotong-sepotong, bias, atau salah.
Bantahan dari ahli geologi lain atau masyarakat umum tentang kemungkinan adanya struktur bangunan atau peradaban kuno di bawah gunung atau suatu daerah purba yang diduga sudah terkena bencana muncul ketika menanggapi hasil penelitian yang dipahami secara sepotong-sepotong. Tidak ada salahnya tim di atas membuat hipotesis tentang kemungkinan adanya struktur bangunan dan peradagan kuno yang terkubur di suatu tempat jika mereka dapat menunjukkan dan membuktikan hipotesis tersebut. Kita tinggal mencermati metode penelitian dan pembuktian hipotesis mereka. Keadaan ini analog dengan yang terdapat dalam ilmu matematika, klaim dan teorema tidak dapat dipisahkan dari pembuktian. Kita harus membaca utuh semua rangkaian argumen, mulai dari klaim atau teorema yang dikemukakan (dalam ilmu lain disebut dengan hipotesis) sampai dengan argument penutup dari pembuktian klaim atau teorema tersebut.
Peneliti yang baik selalu menjunjung tinggi salah satu pilar dalam etika penelitian yaitu kejujuran. Peneliti yang baik selalu menyatakan secara jelas ruang lingkup dari klaim yang sudah dibuktikan atau dapat diterangkan dari klaim yang sudah dibuktikan. Peneliti yang baik selalu berhati-hati menginterpretasikan dan mengkomunikasikan hasil penelitiannya sendiri. Coba tengok apa yang dinyatakan oleh Andang Bachtiar di atas bahwa dugaan adanya piramida di situs-situs yang mereka teliti terlalu awal. Apalagi jika dikaitkan dengan adanya harta karun di dalam piramida yang belum jelas juntrungan-nya.
Hasil penelitian yang dikemukan sepotong-sepotong berpotensi menimbulkan bantahan, tudingan bahwa peneliti tidak kompeten, atau tuduhan kebohongan yang dilakukan tim penelitian. Padahal jika semua pihak yang ingin memahami suatu penelitian dengan sabar dan teliti maka mereka akan dapat menilai dengan jernih apakah tim penelitian sudah melakukan semua komponen penelitian dengan benar atau tidak. Hendaknya kita tidak menjadi seperti seorang dengan mata tertutup yang langsung memberi tanggapan setelah dengan hanya sekali meraba bagian tertentu dari seekor gajah. Sehingga ketika seseorang yang tidak buta menyatakan yang kita pegang adalah gajah, kita ngotot menyatakan tonggak karena kebetulan bagian yang kita pegang adalah kaki gajah yang keras dan kokoh.
Interpretasi hasil penelitian dapat menjadi bias jika dikaitkan dengan situasi kalangan lebih luas yang diinformasikan dan pihak yang menginformasikan. Masyarakat yang khatam dengan film Holywood ala Indiana Jones pasti sedikit banyaknya berharap penelitian-penelitian arkeolog selalu berakhir dengan situasi mencengangkan tentang adanya lokasi harta karun yang melimpah atau adanya fenomena yang menandai kedigjayaan kita di masa lampau. Masyarakat yang sedang frustasi dengan keadaan sehari-hari yang semakin lama semakin sulit sangat berharap ada mukjizat yang “logis” tentang adanya harta karun yang dapat membantu mereka keluar dari kesulitan tersebut. Sehingga interpretasi tentang harta karun yang bisa didapat dari penelitian akan selalu diasosiasikan dengan uang, emas, atau kekayaan.
Penulis berpendirian bahwa peneliti juga bertanggung jawab pada interpretasi hasil penelitiannya, tidak hanya hasil penelitian itu sendiri. Penulis harus dapat mengawal interpretasi hasil penelitiannya masih relevan dan berkaitan dengan hasil penelitian yang sudah diperoleh. Pihak-pihak tertentu dapat melontarkan interpretasi yang berbeda dari hasil penelitian sesuai dengan interes mereka masing-masing. Jika dikaitkan dengan istilah sekarang berarti interpretasi hasil penelitian mungkin saja “digoreng” oleh pihak-pihak tertentu. Para politikus dapat menginterpretasikan hasil penelitian sehingga interpretasi tersebut mendongkrak popularitasnya di mata pemilih. Para birokrat dapat saja berkepentingan dengan interpretasi hasil penelitian jika hal itu dapat mendongkrak karirnya. Bahkan kaum usahawanpun akan berminat jika hasil penelitian berkaitan dengan keuntungan usaha.

© 2013 Universitas Surabaya. 

Hazrul Iswadi
Departemen MIPA Ubaya