Senin, 11 Maret 2013

Beranda » » Kisah Seorang Dokter Perang

Kisah Seorang Dokter Perang

13629387061627277528
Dr. Soebandi
Hari ini saya baca lagi beberapa tulisan-tulisan lama di kompasiana. Salah satunya adalah tulisan saya yang berjudul Dr. Soebandi. Hehe, tulisan itu sukses mengajak saya terbang kembali ke masa kecil.
Iya benar, dulu saya bersekolah di SD Patrang I Jember. Karena gedung sekolah tersebut bertingkat, saya jadi suka naik ke lantai dua hanya untuk inguk-inguk bangunan RS Dr. Soebandi. Saat itu, rasa penasaran seorang RZ Hakim kecil terusik. “Siapa ya Dr. Soebandi? Apa yang pernah beliau lakukan sehingga namanya terdengar familiar di telinga rakyat Jember?”
Sunyi, tidak seorangpun kala itu yang mau dengan tulus menjawab pertanyaan saya. Pun ketika saya melempar pertanyaan serupa, tentang siapakah Pak Sroedji? Semua terlihat kompak menjawab pertanyaan saya dengan jawaban yang seragam. PEJUANG. Sudah, selesai. Tak ada lagi kisah setelahnya. Aneh, tentang perang Diponegoro saja saya tidak lupa. Tapi saya sama sekali tidak tahu tentang siapa itu Dr. Soebandi, padahal makamnya hanya berjarak kurang lebih 300 langkah dari rumah saya. Saya juga tidak tahu siapa itu Pak Sroedji, padahal jelas-jelas saya sekolah di SD Patrang I yang alamatnya ada di JL. Letkol. Moch Sroedji No. 250 Jember.
Pernah pada suatu hari saya dan kawan-kawan sebaya mengendap-endap mendekati deretan pusara para pejuang. Hari sudah malam, hanya bintang-bintang yang leluasa melihat aksi kami, para bocah yang tinggal di sekitar Taman Makam Pahlawan Patrang. Ya kami harus mengendap agar tak terlihat para peserta upacara peringatan Hari Pahlawan, 10 November entah tahun berapa. Kami harus mengendap, lalu berpencar mencari lokasi strategis. Targetnya adalah lilin.
Tepat pada pukul 00.00 WIB, peserta upacara yang terdiri dari para pelajar dari beberapa sekolah, Pramuka, keluarga angkatan, dan lain-lain, mereka akan bergerak menyebar sesuai koordinasi, untuk kemudian menyalakan lilin di masing-masing pusara. Nah, saat itulah kami para bocah dengan nakalnya memungut lilin-lilin tersebut. Kami para bocah memiliki standart sendiri dalam hal kekerenan. bahwa, semaiki banyak lilin yang kami sikat, maka kami akan tampak keren dimata teman-teman sebaya. Proses pengambilan lilin itu sendiri sudah sangat keren, apalagi ada soundtrack drumband angkatan yang mengiringi kenakalan kami.
Terus terang saja, untuk masalah kekerenan yang satu ini, saya hampir tidak pernah mencicipi. Oleh karena itulah, saat operasi lilin (begitu biasa kami menyebutnya) kali ini, saya berjuang sekuat tenaga untuk menjadi pemulung lilin terkeren.
Sayang, keberuntungan sedang tidak berpihak pada saya. Di suatu titik, di deretan TMP sebelah kiri, operasi lilin yang saya lakukan dipergoki oleh seorang anggota Satpol PP. Meskipun ada di keremangan malam, tapi saya tahu dia terlihat marah. Itu terbukti manakala beberapa detik kemudian dia berlari ke arah saya. Nanggung, pikir saya. Sebelum berlari, masih saja saya sempat meraih satu lilin di dekat pusara.
Langkah-langkah kecil yang sedang diburu oleh langkah orang dewasa. Seperti itulah kira-kira gambarannya. Sampai pada suatu titik, anggota Satpol PP tersebut berhasil mencengkeram lengan baju saya. Saya berhenti, terengah-engah, untuk kemudian..”Bruaaakk..” Ow, sakit rasanya ketika salah satu telapak kaki anggota Satpol PP yang terbungkus sepatu PDL itu menerjang pantat saya. Saat orang itu pergi, saya mencari tempat terdekat untuk merebah, lalu menangis. Saya biarkan tas kresek yang berisi beberapa batang lilin tergeletak begitu saja.
Detik terus berlalu. Prosesi menyalakan lilin selesai. Saya masih ada di tempat semula, duduk dengan kedua kaki menekuk menutupi badan, kedua tangan melilit diantara dua kaki, sementara wajah yang masih berurai air mata ini saya telungkupkan ke arah lutut. Tiba-tiba saya merasa ada jemari yang menyentuh bahu kanan, lalu saya mendongak pelan. Ah, ternyata orang yang tadi mengejar, mencengkeram dan menendang saya. Dia hanya bicara sedikit, tapi entah kenapa saya terhipnotis dan mengikuti kata-katanya.
“Maaf ya le. Ayo pulang,” hanya itu yang dikatakannya.
Proses kejadian dimana saya ditendang, dan ketika saya duduk berlama-lama sambil berlinang, itu tepat di depan pusara yang bertuliskan, Dr. Soebandi. PA. DKT 1949. Sementara di sebelah kanannya ada tertulis, R. Prawoto Hadikusumo. ALRI 1949.
Masih ada banyak lagi kenakalan-kenakalan kecil yang dulu pernah saya lakukan di sekitar nisan Pak Bandi (sebutan para bocah untuk Dr. Soebandi). Apalagi, pusara beliau ada tak jauh dari tugu makam, tempat favorit saya dan kawan-kawan. Ketika operasi keranjang (berebut keranjang saat ada tabur bunga), operasi peluru (biasanya saat ada upacara pemakaman, kami para bocah selalu hadir untuk mencari selongsong peluru), mengeringkan rambut sesaat setelah mandi di sungai bedadung yang letaknya di belakang TMP, dan atau saat saya dan kawan-kawan nglimput (mbolos) ngaji. Kami selalu ada di areal yang dekat sekali dengan pusara beliau.
Dan.. benar. Dr. Soebandi tidak pernah marah atas apa yang dulu saya lakukan.
Bulan demi bulan pun berganti. Entah di purnama yang keberapa, tiba-tiba saya sudah merasa besar, sudah memahami musabab kenapa dulu saya dikejar dan ditendang oleh anggota Satpol PP. Begitupun, saya masih belum mengerti benar, siapa sebenarnya Dr. Soebandi. Saya terus mencoba mencari tahu.
Alhamdulillah, ibarat sedang melangkah di gelapnya goa, pelan tapi pasti saya mulai melangkah mendekat ke arah seberkas cahaya. Pengetahuan saya tentang sosok Dr. Soebandi semakin bertambah manakala saya berjumpa dengan cucu-cucu dari Letkol Moch. Sroedji. Perjumpaan di dunia maya tersebut bersambung ke perjumpaan di dunia nyata. Ya, dari maya ke nyata.
Kisah Seorang Dokter Perang
Pada waktu zaman Jepang, diadakan pembentukan pasukan sukarela. Sebagai seorang pemuda, Dr. Soebandi juga tak mau ketinggalan dan segera bergabung dengan ketentaraan Suka-Rela tersebut. Beliau menjadi Shoodantyo Eisei (bagian kesehatan) dan kemuadian atas kecakapannya naik menjadi Tyudantyo.
Pada pecahnya revolusi pertama tahun 1945 dengan seketika beliau masuk ketentaraan dan mendapat pangkat Mayor bagian kesehatan. Di jaman Re-Ra alias Rekonstruksi dan Rasionalisasi, pangkatnya turun menjadi Kapten, dan akhirnya naik kembali hingga menjadi Letnan Kolonel.
Sebagai Dokter ketentaraan, Dr. Soebandi selalu mencurahkan tenaganya dengan sepenuh hati. Ketika Belanda masuk di kota Jember pada bulan Juli 1947, beliau sedang melakukan operasi pada seorang prajurit yang mendapat luka di pahanya akibat dari tembakan matraililleur peswat terbang. Dr. Soebandi terkepung, tetapi dengan tenang dan penuh rasa tanggung jawab beliau meneruskan pekerjaannya dengan tuntas.
Ketika ditanya oleh pihak Belanda siapa yang dioperasi itu, beliau menjawab dengan tenang bahwa pasien tadi adalah seorang prajurit TNI biasa. Walaupun prajurit biasa, namun sebagai dokter beliau harus menolong si korban dengan sebaik-baiknya.
Apa benar prajurit tersebut adalah seorang prajurit biasa? Ternyata tidak. Dokter Soebandi mengatakan itu hanya agar si pasien terlepas dari tangkapan Belanda. Pasien tersebut adalah Mayor Abd. Rivai, yang saat itu masih menjabat Komandan Batalyon Banyuwangi.
Begitu mulianya sosok seorang Dr. Soebandi. Dia mengabdikan hidup sebagai seorang dokter ketentaraan atas dasar hati nurani, sama sekali bukan atas dasar ekonomi. Alangkah indahnya jika kita bisa mengadopsi teladan yang telah beliau contohkan.
Hmmm, penyakit lama. Saya selalu kesulitan menghentikan jemari saat menulis. Tiba-tiba sudah panjang, tapi saya masih belum sempat menceritakan kisah Dr. Soebandi ketika menemani Letkol. Moch. Sroedji sewaktu hijrah ke Blitar (efek dari Perjanjian Renville) hingga WINGATE (kembali ke kantong masing-masing) dari Blitar ke Jember dengan rombongan yang besar serta peperangan di berbagai titik. Semoga kedepan saya ada waktu untuk menuliskan itu.
Sedikit Tambahan
Kisah di atas sebagian besar saya sarikan dari Keluarga Letkol Moch. Sroedji ketika pada 16 Februari 2013 kemarin saya mendapat kesempatan menemani mereka napak tilas (dari desa Karang Kedawoeng tempat pertempuran Brigade III Divisi I Damarwoelan, hingga ke makam Letkol Moch. Sroedji di desa Kreongan).
Foto Dr. Soebandi saya dapatkan dari buku milik Mbak Irma Devita (cucu Letkol Moch. Sroedji dari putri beliau yang bungsu). Foto di atas saya potret kembali dengan menggunakan kamera digital pinjaman, lupa merk-nya.
Tulisan ini terbuka pada koreksi. Terima kasih.
Rz Hakim