Senin, 04 Februari 2013

Beranda » » Tuan Seunuet

Tuan Seunuet

Sejarah Aceh menyimpan penyelesaian kasus dengan cara-cara yang beraroma pendekatan kultural. Belanda misalnya, sempat kewalahan dan kelelahan menaklukkan Aceh. Persenjataan  Belanda yang jauh lebih baik, hanya dilawan oleh rakyat Aceh dengan semangat heroisme dan patriotisme berbungkus keyakinan agama yang mengalir deras dalam darah mereka.

Selama peperangan dengan Belanda, berbagai upaya dilakukan untuk  mengakhiri perang yang telah banyak menjadi korban. Menjelang akhir abad XIX, Belanda melaksanakan suatu tindakan kekerasan melalui pasukan elite yang mereka namakan Het Korps Marechaussee (pasukan marsose). Tugas mereka adalah melacak dan mengejar pejuang Aceh yang melawan Belanda ke segenap pelosok Aceh. Mereka membunuh pejuang Aceh yang berhasil ditemukan atau setidaknya mengasingkan mereka ke luar Aceh.

Melalui cara kekerasan tersebut Belanda mengharapkan rakyat Aceh menjadi takut dan menghentikan perlawanan terhadap Belanda. Namun, tindakan kekerasan tersebut menimbulkan rasa benci dan dendam yang mendalam rakyat Aceh. Untuk membalas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Belanda, pejuang Aceh melakukan suatu cara yang kemudian diistilahkan oleh Belanda dengan nama Atjeh Moorden atau Het een Typische Atjeh Moord (suatu pembunuhan khas Aceh). Di sini pejuang Aceh tidak lagi melakukan peperangan secara bersama-sama atau berkelompok, tetapi secara perseorangan. Secara nekat seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda.

Untuk mengetahui sikap nekat tersebut, pihak Belanda mengadakan suatu penelitian psikologis terhadap orang-orang Aceh. Atas kesimpulan bahwa banyak orang sakit jiwa di Aceh, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang. Dr. Latumeten yang menjadi kepala rumah sakit tersebut (1931—1935), melakukan studi terhadap pelaku-pelaku pembunuhan khas Aceh,  yang oleh pemerintah Belanda dianggap dihinggapi penyakit saraf atau gila. Namun, hasil penelitian Latumeten tersebut menunjukkan bahwa semua pelakunya adalah orang-orang yang normal. Mereka melakukan perbuatan nekat tersebut didorong  sifat dendam terhadap orang Belanda. Oleh karena itu, seharusnya tindakan kekerasan jangan diperlakukan terhadap rakyat Aceh.

Misi penaklukan Aceh
Belanda yang kewalahan berpikir ulang, mencari cara lain untuk dapat menaklukkan  Aceh. Sampailah Belanda pada kesimpulan bahwa cara lain itu dengan memahami latar belakang militansi orang Aceh. Untuk itulah Belanda menggunakan kemampuan seorang pakar budaya yang berkelas. Pakar itu bernama Prof Dr C Snouck Hurgronje, seorang antropolog yang ahli tentang Islam, bahasa Arab, dan bidang kebudayaan umumnya.

Misi utama Snouck Hurgronje adalah “menaklukkan” Aceh. Nama lengkapnya, Christian Snouck Hurgronje, lahir 8 Februari 1857 di Tholen, Oosterhout, Belanda. Orang Aceh menyebutnya sebagai Tuan Seunuet. Hal itu disebabkan oleh misinya yang bersifat merusak atau “melibas” yang dalam bahasa Aceh disebut seunuet. Pada 9 Juli 1891, ia berangkat ke Aceh dan sejak 16 Juli 1891 hingga 4 Februari 1892  menetap di Banda Aceh. Setelah itu, ia kembali lagi ke Batavia. Antara tahun 1898 hingga 1903, ia sering pergi ke Aceh untuk membantu Van Heutsz dalam menaklukkan Aceh.

Snouck Hurgronje ditugaskan untuk menyelidiki mengapa orang Aceh begitu gigih mempertahankan tanah airnya. Untuk memperoleh pemahaman tentang kebudayaan Aceh, Snouck Hurgronje melakukan penelitian lapangan dan menghasilkan sebuah karya etnografi penting. Hasil kajiannya kemudian dibukukan dalam dua jilid buku yang begitu terkenal, yaitu  De Atjehers (1892-1893), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Achehenese (1906).  Selain itu, C. Snouck Hurgronje juga meneliti kebudayaan Gayo, yang kemudian menghasilkan karya etnografi yang berjudul Het Gajoland en Zijne Bewoners (1930).

Setelah melakukan studi mendalam tentang semua yang terkait dengan masyarakat Aceh, Snouck Hurgronje menulis laporan panjang yang berjudul kejahatan-kejahatan Aceh. Hasil kajiannya tentang Aceh ini kemudian dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda dalam rangka menaklukkan Aceh.

 Pada bagian pertama laporannya, Snouck Hurgronje menjelaskan tentang kultur masyarakat Aceh, peran Islam, ulama, dan peran tokoh pimpinannya. Ia menegaskan bahwa yang berada di belakang perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ulama. Snouck Hurgronje menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan pejuang Aceh. Apabila dimungkinkan, disarankan  “pembersihan” ulama di tengah masyarakat,  sehingga Islam tidak lagi punya kekuatan di Aceh.

Snouck Hurgronje membagi Islam yang dipraktekkan oleh masyarakat Aceh atas tiga bagian, yaitu ibadah, muamalah, dan politik. Terhadap ibadah harus diberi toleransi kepada orang Aceh. Adapun terhadap yang berhubungan dengan politik, haruslah dihadapi dengan kekuatan senjata.

Bagian kedua laporannya adalah usulan strategis soal militer. Snouck Hurgronje mengusulkan dilakukannya operasi militer di desa-desa di Aceh untuk melumpuhkan perlawanan rakyat yang menjadi sumber kekuatan ulama. Snouck Hurgronje melemparkan provokasi bahwa yang berhak memimpin Aceh bukanlah uleebalang, tapi ulama. Snouck Hurgronje kemudian mendekati dan memengaruhi ulama untuk memberikan fatwa agama, tetapi fatwa-fatwa itu diarahkan bagi politik adu domba Belanda.

Kekeliruan lain yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje adalah menyelewengkan pemahaman Hadih Maja hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut (‘hukum (Islam) dengan adat seperti zat dengan sifat’). Cara tersebut dilakukan sebagai upaya pendangkalan pemahaman masyarakat Aceh terhadap Islam yang kaffah. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi sikap fanatisme masyarakat Aceh terhadap agamanya. Dengan itu diharapkan, masyarakat Aceh tidak lagi memusuhi Belanda.

Hasil penelitian atau karya-karya etnografi itu menjadi bahan untuk memahami Aceh dan berdasarkan pemahaman tersebut, Snouck Hurgronje memberikan nasihat-nasihatnya kepada pusat kekuasaan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta). Ia dianggap seorang yang melakukan tugas intelijen dengan cara ilmiah. Hal yang demikian menyebabkan ia tetap hidup dalam perbincangan yang kontrovesial, baik di Eropa maupun di Indonesia.

Neo Snouck Hurgronje
Adanya orang yang ingin memecah belah dan melakukan pembodohan terhadap rakyat Aceh, juga misi pendangkalan terhadap pemahaman Islam bagi masyarakat Aceh, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Cara-cara seperti itu sudah pernah dilakukan oleh Snouk Hurgronje dalam menaklukkan Aceh. Banyak orang yang tidak senang melihat masyarakat Aceh bersatu dan hidup dalam budaya dan agama yang diyakininya. Mereka tidak senang melihat masyarakat Aceh yang sedang membangun peradaban melalui syariat Islam. Untuk itu, mereka berusaha melemahkannya dengan melemparkan berbagai isu dan provokasi, seperti melanggar HAM.  Oleh karena itu, perlu diwaspadai munculnya manusia yang melakukan misi seperti halnya Snouck Hurgronje.

Sudirman
Penulis adalah PNS pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh-Sumut. 

E-mail: dirmanaceh@ymail.com