Senin, 18 Februari 2013

Beranda » » Tueng Bila Pembalasan ala Aceh

Tueng Bila Pembalasan ala Aceh


Ureung (orang) Aceh memiliki budaya tersendiri dalam bertingkah laku, bersikap, beradat, berbudaya, dan sebagainya. Ureueng Aceh umumnya berkarakter keras, tidak mau begitu saja didikte, tidak cepat menyerah hampir dalam semua kesempatan dan teguh dalam menghadapi masalah (Kurdi, 2001: 29; Zainuddin, 2007: 124). Sedangkan menurut pandangan Abdullah (2007: 2-3) lebih mempertegas lagi bahwa adat tata kelakuan masyarakat Aceh identik dengan nilai-nilai budaya Islam. 

Hal ini ditandai dengan empat ikon nilai-nilai budaya Islami yang menandakan keberadaan ureueng Aceh. Pertama, Aceh dikenal sebagai tempat di mana agama dan adat menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial: “Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala”. Sisi kehidupan sosial budaya Aceh yang dibangun atas dasar agama dan adat membentuk suatu sumber penataan sosial (Sufi dan Wibowo, 2004: 88). 

Kedua, ureueng Aceh dikenal sebagai pemberani yang mendapatkan pembenaran historis pada perang melawan Portugis selama 120 tahun dan perang Aceh melawan Belanda hampir 70 tahun sejak maklumat perang disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Kedua perang memperlihatkan keteguhan hati orang Aceh dalam mempertahankan wilayah dan sesuatu yang diyakini benar, khususnya jika itu menyangkut kebenaran agama. 

Ketiga, ureueng Aceh juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi yang disebabkan oleh adanya kebanggaan sebagai ureueng Aceh. Kebanggaan ini tentu saja bersumber dari sejarah dan hikayat yang terus menerus dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Keempat, ureueng Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif. Hal ini antara lain tampak dari kebiasaan ureueng Aceh untuk berkumpul di warung kopi, saling mengunjungi, kenduri, serta ucapara-upacara yang melibatkan banyak orang (Wibowo, 2004).

Pada bagian lain Sufi (1997: 4) mengatakan bahwa salah satu karakteristik budaya masyarakat Aceh adalah suka melakukan “tueng bila”, maksudnya menuntut bela. Stereotif tersebut, benar atau salah, sering memberikan kesan yang menakutkan bagi pihak luar. Stereotif ini menjadi negatif apabila tidak dimaknai dengan benar. Ada pendapat bahwa menuntut bela ini dapat dimaknai sebagai dendam dalam arti negatif sehingga masyarakat Aceh dianggap sebagai masyarakat yang pendendam. 

Oleh karena itu, pemaknaan sebuah karakter komunitas harus dilihat dari sudut pandang pemilik karakter tersebut. Dengan demikian, tidak akan menimbulkan sikap etnosentrisme yang sempit. Apalabila dirunut sejarahnya, “tueng bila” telah dilakukan oleh ureueng Aceh sejak zaman kolonialis Belanda, bahkan mungkin terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Arti “Tueng Bila”

“Tueng bila” merupakan bagian dari protipe watak orang Aceh, yang tampak pada pikiran, perilaku, tindakan, sikap, dan tutur kata. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Harun (2008: 16) terhadap hadih maja yang mengandung nilai filosofis, tampak bahwa orang Aceh memiliki prototipe watak yang (1) reaktif, (2) militan, (3) optimis, (4) konsisten, dan (5) loyal. Ciri-ciri tersebut mewarnai pola pikir dan pola tindak mereka dalam kehidupan, salah satunya terkait dengan perilaku “tueng bila” yang dilakukan oleh ureueng Aceh.

Menurut Syamsuddin (2000) bahwa “tueng bila” itu sifat dari orang Aceh untuk balas dendam terhadap sesuatu yang mana balas dendam tersebut dapat dilakukan kapanpun juga tergantung kesempatan. Oleh karena itu, istilah “tueng bila” merupakan suatu kata yang tidak asing lagi bagi kalangan ureung Aceh. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam adat dan kebiasaan ureueng Aceh perkataan “tueng bila” sudah sangat terikat dengan kepribadiannya (Sufi, 2003; Adan, 2006: 86).

Menurut Aboebakar dkk (2001: 1004) dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, Teung bila berasal dari dua suku kata, yaitu tueng dan bila yang artinya mengambil atau menuntut bela. Akan tetapi, dalam buku Kamus Aceh-Bahasa Indonesia (Aboebakar dkk, 2001: 83) terdapat juga kata bila yang merupakan kata benda dari bela yang artinya pembalasan, menuntut ajal lawan atau keluarganya sedangkan kata Tueng dapat diartikan sebagai menerima (Daud dan Durie, 2002: 42), atau dapat juga diartikan menjemput, Dengan demikian, “tueng bila” dapat diartikan menjemput atau menuntut balas/ajal terhadap lawan atau keluarganya.

Sufi (2003: 14) mengartikan “tueng bila” sebagai menuntut bela. Tentunya, seorang Aceh akan menuntut atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela ini hendaknya diartikan dalam kerangka yang positif karena memang dalam bahasa Aceh terdapat pula perkataan menuntut balas (dendam) yang disebut dam dan menyimpan dendam (tr?h dam). Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif.

Adan (2006: 85) menyatakan bahwa "tueng bila” yang dalam bahasa Melayu bermakna sebagai balas dendam merupakan sebuah fenomena lama yang dapat dikonotasikan juga sedikit negatif dalam arti sebuah pembalasan dendam. Selanjutnya, apabila kita telusuri lebih jauh makna serta hakikat daripada kata “tueng “bila, ia tidak terlepas dari sebuah manifestasi imaginasi konkrit dari seseorang yang merasa dikhianati untuk meluruskan persoalan yang sebenarnya.

Ajaran agama Islam sebenarnya juga mengenal menuntut balas atau membela kehormatan. Akan tetapi, menuntut balas yang dilakukan adalah atas kerugian yang diderita. Pada masa Nabi Muhammad SAW penyerangan-penyerangan tentara Islam terhadap orang kafir dilakukan setelah lebih dahulu diberikan peringatan serta ajakan untuk memilih agama yang benar. Selain itu, keputusan untuk melaksanakan hukum hudud dan qishas, merajam melalui persetujuan Nabi Muhammad SAW.

Menuntut balas bukan dilakukan berdasarkan pada subjektifitas seseorang dan merupakan wajib bagi umat Islam. Dasar dari menuntut balas ini terdapat pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178, yang Artinya ;

Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas2 berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (pampasan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rakhmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia mendapat azab yang sangat pedih.

Selain itu juga pada surat Al Maidah ayat 45 disebutkan upaya menuntut balas diwajibkan bagi umat Islam, yang artinya,

Kami telah menetapkan bagi mereka didalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus bagi dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.

Oleh karena itu, menurut Ismail (2006:3), asas “tueng bila” yang dilakukan oleh ureueng Aceh harus memenuhi kriteria tertentu, tidak asal melakukannya begitu saja. Selanjutnya Ismail menyatakan sebagai berikut, “Dalam kehidupan keluarga Aceh, tidak ada ”dendam”, karena amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). ”Tueng bila” dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain”.

Sebagai Harkat dan Martabat

Dipermalukan secara terbuka atau di muka umum berupa provokasi tertentu pada hal-hal khusus sampai batas derajat tertentu pasti membuat luka yang dalam dan mengganggu keseimbangan emosi. Hal yang disebutkan itu dapat menjadi awal dari perilaku “tueng bila” bagi ureueng Aceh. Lebih lanjut ureueng Aceh akan merasa terhina akibat perlakuan buruk yang dirasakan dan menjatuhkan martabat kemanusiaannya.

Malu (bahasa Aceh: malee) bagi ureueng Aceh adalah sesuatu yang harus ditutupi, harus “ditelan” dan tidak boleh orang tahu. Tidak ada air talang dipancung, tak ada emas bungkal diasah adalah alasan untuk melakukan apa saja, apabila suatu keadaan menjadi darurat (noodzaak), yaitu untuk menutupi malu. Kehilangan harga diri bagi orang Aceh adalah kehilangan segala-galanya karena tidak hanya membuat diri sendiri, tetapi juga malu kawom. Menurut Sufi (2000) mengatakan bahwa,

Yang namanya orang Aceh, hubungan kaum atau kekerabatannya sangat tinggi. Kalau salah satu anggota kaum tersebut terkena sesuatu, maka keluarga dari anggota kaum itu akan menuntut. Mereka akan “tueng bila”.

Membuat tingkah laku yang memalukan tidak hanya merusak diri pribadinya, tetapi juga memalukan dan merusak kawomnya secara keseluruhan, keluarga, dan kampungnya (saboh keubeue meukubang, ban saboh weue meuleuhob) (Satu kerbau berkubang, seisi kandang berlumpur). Dalam hal ini juga Islam juga memerintahkan untuk menjaga martabat, harga diri, dan malu (Aswar, 2007: 25-27). Selain itu juga rasa malu merupakan refleksi daripada kata hati yang dapat berupa perasaan salah, penyesalan, kesadaran atau kewajiban, tanggung jawab, dan ketaatan agama (Alisyahbana, tt: 56-57; Hasyim dkk, 1997: 30).

Untuk itu, provokasi yang membuat malu harus dihindari atau pantang (tabu). Bahkan untuk sekedar mencoba-coba atau bergurau sekalipun. Menurut Dally (2006: 1) ada lima perilaku yang tidak boleh dilakukan agar tidak mendorong “tueng bila” bagi ureueng Aceh. Pertama, menyangkut penghinaan terhadap agama Allah, Tuhan, Rasul-rasul Allah, pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW, para Rasul Anbiya, Kitab Suci Al Qur’an, dan segala simbol yang dianggap suci dalam agama Allah. 

Kedua, mempermalukan kedua orang tua di depan umum lebih-lebih jika anak-anaknya (laki-laki) hadir di sana. Lembaga orang tua sangat dimuliakan, sangat terhormat di mata anak-anaknya dan keturunannya. Ketiga, mempecundangi, menggoda atau berselingkuh dengan istrinya. Istri merupakan lambang kesucian dan kehormatan diri, keluarga, dan keturunannya kelak. Bagi lelaki Aceh hal ini tidak ada toleransi sedikitpun.

Keempat, mengganggu anak gadisnya yang mana sama kedudukannya dengan istrinya sebagai lambang kesucian keturunannya. Apabila berminat lamarlah dengan baik dan terhormat. Kelima, tanah (lahan) dan air sawah saat segera akan bertanam padi. Membuat provokasi berupa menggeser sempadan atau garis batas lahan walau sejengkal sekalipun. Mengeringkan air sawahnya pada saat bertanam mutlak suatu penghinaan yang sangat serius. Ungkapan ini sering dikembangkan sebagai membela “tanah air”. Kelima hal tersebut di atas terangkum dalam narit maja di bawah ini,

Méë ta maté bak limong pat maleë
Keu sa bak agama Allah ji peuhina
Dua ma ngon ku teuh ji peumaléë
Lhee aneuk dara teuh ji peukaru
Peuet inong peurumoh ka gop cuca
Limong ceue ji peuiseuk ie ji peutho jan seumula

Artinya:
Patut di (bela sampai) mati pada lima macam perlakuan melalukan
Yang pertama jika Agama Allah (Islam) diperhinakan
yang Dua ibu dan ayah dipermalukan
yang Tiga istri diselingkuhi orang lain
ke Empat anak gadis dilecehkan orang
ke Lima pematang digeserkan, dikeringkan air sawah saat padi akan ditanam

Setiap perilaku terhadap seseorang yang menyangkut lima hal tersebut dapat menjadi sebuah penghinaan. Setiap penghinaan akan dirasakan sebagai kehilangan martabat atau harga diri, tidak dihargai, dianggap sepi sehingga secara total merasa diri tidak berharga. Akibatnya, orang akan berusaha membela kehormatan diri dengan berbagai cara dan bentuknya, baik bertindak positif maupun negatif, untuk membuat perhitungan agar diri kembali berharga, termasuk menyambung nyawa, memamerkan kemampuannya dalam membinasakan hidup orang lain dengan nyawanya sendiri sebagai taruhan. 

Nibak putéh mata get putéh tulueng (daripada putih mata lebih baik lebih baik putih tulang) merupakan ungkapan yang mendukung pertaruhan terhadap harga diri ureueng Aceh. Jadi kebanggaan bagi laki-laki Aceh adalah jadi orang akan memilih mati (sebagai satria) daripada hidup terhina.

Untuk itu, konsep “tueng bila” ini merupakan salah satu prinsip hidup yang masih sulit ditinggalkan sebagian besar ureueng Aceh, karena berkaitan dengan harkat dan martabat dirinya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Karena itu, jika suatu pembunuhan tidak diselesaikan dengan perdamaian, terutama perdamaian menurut adat, hampir dipastikan bakal ada pembunuhan balasan dengan cara yang sama atau lebih jahat lagi. Dalam konteks ini lebih jauh berkaitan dengan perbenturan fisik atau dalam konsep “tueng bila” ‘menuntut balas’, tidak lagi pada tataran hinaan dengan kata-kata atau perilaku. []

***
oleh Agus Budi Wibowo
Penulis adalah salah seorang peneliti di 
Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh