Senin, 18 Februari 2013

Beranda » » Ibrahim Abdullah (Sebuah Otobiografi)

Ibrahim Abdullah (Sebuah Otobiografi)

Ketika saya mengunjungi Jakarta untuk beberapa hari, tanpa disangka saya melewati Jakarta yang banjir. Meskipun cuaca beratmosfer murung plus dengan penderitaan korban banjir, saya mendapat undangan dari seorang akademisi senior Aceh untuk menghadiri peluncuran sebuah buku di Universitas Nasional (UNAS) yang terletak di Pejaten, Jakarta. Untuk memenuhi undangan tersebut, saya datang lebih awal ke lokasi kampus untuk sekadar penyegaran sambil minum kopi meskipun bukan kopi Aceh.

Sebelum bertatap muka secara langsung dengan pengarang buku, saya melihat figurnya yang terpampang dalam sebuah banner di sekitar lokasi. Dalam banner itu tertulis “Nyak Beurahim Utoh Perjuangan Panjang: Aneukmiet Gampong 80 tahun Ibrahim Abdullah”. Saya mengerti  kalimat ‘perjuangan panjang’ setelah saya mulai membaca buku tersebut yang totalnya 388 halaman. Buku ini dipenuhi dengan catatan memori dari gampong Blang Anoe ke Kuta Radja selama masa penjajahan Belanda. Kemudian menapaki perjalanan ke Jakarta, Manila, dan New York yang kemudian diakhiri dengan balik ke gampong halaman. Inilah perjuangan yang riil jika ditilik dari umurnya yang sangat belia ketika memulai perjalanannya yang penuh dengan kebetulan-kebetulan manis dan pahit dan keyakinan yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Prof  Ibrahim Abdullah merupakan sosok yang tidak berbeda dengan abangnya Abdullah Arif, yang namanya menyertai halaman-halaman sejarah Aceh pada awal abad ke-20.

Meskipun tidak meninggalkan karya tertulis yang dominan, Ibrahim Abdullah telah menancapkan kesan perjuangan praktikal yang begitu mendalam,  yang ia tuang dalam buku otobiografinya tersebut. Sebelum mengenal Ibrahim, saya telah terlebih dahulu bersinggungan dengan karya karya Abdullah Arif baik secara sengaja di perpustakaan-perpustakaan ataupun secara kebetulan seperti buku-buku pantunnya yang diserahkan oleh putrinya Dr Salmawaty.

Sebagaiman tertera dalam undangan,  saya tiba dengan tepat waktu di gedung yang dijanjikan. Ketika memasuki ruangan, secara simbolik saya terperanjat mendengar lantunan yang familiar, suara Rafly. Saya tidak ingat judul lagu yang dibawakannya tapi apa pun itu, mendengar dendangan Rafly saya seakan sedang berada di Aceh. Di antara para hadirin yang menarik perhartian saya adalah sebarisan senior elite Aceh yang cukup dikenal duduk sedia dalam ruangan. Meskipun saat itu hari Sabtu,  mereka tidak meninggalkan Prof  Ibrahim sendirian dan menghadiri acara tersebut secara tulus jika dilihat dari konsentrasi mereka yang tidak teralihkan.

Orang pertama yang saya jumpai adalah Dr Kamal Arif yang sedang duduk di bangku depan. Kemudian dia memperkenalkan saya pada pamannya, sang pengarang buku yang usianya telah beranjak 80 tahun. Dia memiliki kharisma yang kuat. Dengan usianya yang lanjut, kesegaran jiwa dan kesadaran ucapannya masih tergolong sangat muda, ditambah lagi dengan senyuman yang terus menyertai wajahnya. Perawakannya sedang, berkacamata, berambut kelabu yang dikuncir di bagian belakang kepalanya. Dia berpakaian jaket kotak-kotak hitam putih blaze dengan syal yang melingkar di sekeliling lehernya.

Setelah pengenalan singkat saya meninggalkannya meskipun dalam hati kecil saya ingin menjalani percakapan yang panjang. Niat itu tak terlanjutkan karena kedatangan beberapa orang Aceh senior yang menghampiri untuk menyapanya. Selain Dr  Kamal Arif, dalam ruangan tersebut juga terlihat Prof Dr Syamsuddin Mahmud, Prof Dr  Nazaruddin Syamsuddin, Farhan Hamid dll. Tentu mereka adalah orang orang yang dikenali dengan mudah.

Acara ini dimulai dengan diskusi antara dua orang dari UNAS dan seorang perempuan yang menjadi moderator. Dari awal acara saya mendengar panggilan “Utoh” yang ditujukan untuk Ibrahim. Saya bertanya dengan seorang perempuan yang duduk di samping saya--kemudian saya ketahui adalah salah satu putri kandungnya--tentang arti dari Utoh. Dia menjelaskan Utoh berarti insinyur. Kemudian, dalam bahasa Aceh sebagaimana yang tertulis pada halaman XX buku tersebut, Utoh berarti Tukang. Mereka memanggilnya “Utoh Him” yang kemudian lebih sering dipakai sebagai pangganti panggilan insinyur Ibrahim. Selama masa percakapan dengan wanita tersebut, saya mengetahui bahwa Utoh telah melalui 8 kali pernikahan dalam hidupnya. Mungkin siapa pun akan tersenyum melihat wajah terkejut saya. Wanita itu menganjurkan untuk membaca buku tersebut. Maaf, bukan maksud saya mendiskusikan persoalan gender di sini,  tapi hanya sekadar penambahan gambaran dari karakter seorang Ibrahim yang luar biasa.

Ibrahim telah menyelesaikan program insinyur dan ekonominya dan sempat menjabat sebagai sekretaris Fakultas Ekonomi Unsyiah pada tahun 1960-an. Ia kemudian melanjutkan pendidikan multidisiplin dan menjadi dosen tetap di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAS Jakarta yang sudah dimulai pada tahun 1982.

Di antara barisan catatan kariernya, terdapat beberapa posisi penting yang berkaitan dengan perkembangan Aceh. Ia misalnya sempat menjadi pimpinan pelabuhan bebas Sabang atau KP4BPS (Komando Pelaksanaan Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang) atas undangan Prof  Ali Hasjmy yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Aceh. Ia juga mendirikan Institut Teknologi Sabang dan menjadi Kepala Dinas Perindustrian pada tahun 1960-an. Saat itu, ia telah bekerja dalam koordinasi yang mapan dengan gubernur Aceh.

Yang menyenangkan dari buku ini adalah, di antara gambaran-gambaran pejuangan politik sosial Aceh dan  Java yang telah saya baca dan dengar selama berada di Aceh, dia merupakan salah satu tokoh yang berada di tengah-tengah setiap peristiwa di Aceh. Seperti aliran-aliran peristiwa yang menyertai Daud Beureueh, Soekarno, Ali Hasjmy,  Takdir Alisyahbana, dan Hasan Muhammad Di Tiro.

Dia merupakan sejarawan  yang hidup dan aktif. Bukunya meskipun hampir 400 halaman, wajib dibaca oleh anak-anak Aceh, baik tingkat menengah dan atas, intelektual, birokrat, dan alumni-alumni dayah. Tidak hanya membaca sebagian sejarah dalam mata seorang Utoh,  tapi juga belajar dari perjuangan hidupnya dan menjadi pelaku utama dalam menentang kesulitan hidup.

Dalam persoalan pembanguan Aceh, dia mengatakan bahwa pembangunan tidak mungkin terjadi tanpa adanya pertumbuhan plus perubahan. Dan  perubahan itu sangat jarang terjadi tanpa adanya protes (hal. xxxi).

Sebagai seorang non-Aceh, saya mendukung ucapan Dr Kamal Arif dalam pengenalan yang ditulisnya dalam buku tersebut  “The man with confidence in himself gained the confidence of others (Lelaki yang percaya terhadap dirinya memperoleh kepercayaan dari yang lain)”. Merupakan hal yang bermanfaat jika ia dapat diundang untuk berdialog seputar perjuangan hidupnya selama 80 tahun terutama di kalangan pemuda-pemudi Aceh dan intelektual.

Beberapa poin yang saya ingat dari bacaan saya tentang buku ini, salah satunya adalah kedatangan Bung Karno dalam rangka rapat dengan Abu Daud Beureueh di pendopo kewedanan Bireuen. Hal lainnya adalah pertemuan dia dengan Hasan Di Tiro yang disapa Cutbang. Hubungan mereka terjalin tidak hanya karena saboh gampong, tapi juga berlanjut selama keberadaannya di Amerika.

Hal menarik lainnya adalah catatannya mengenai Hasan Di Tiro. Sebelum Ibrahim berangkat ke New York, dia mendapatkan surat pernyataan penerimaan dari Universitas New York melalui Abang Hasan Muhammad Di Tiro yang sedang bertugas sebagai konsulat Jenderal RI di sana. Setelah berlayar dengan kapal, dia langsung mengunjungi rumah Hasan Di Tiro di Manhattan. Secara jelas, dikarenakan hubungan yang dekat dengan Hasan Di Tiro, dia menjadi salah satu saksi utama perjuangan Hasan Di Tiro dalam meneriakkan hak-hak kemanusiaan Aceh, sejak insiden tahun 1954 yang berakhir dengan pencabutan Hasan Di Tiro dari posisinya sebagai Konsulat Jenderal RI. Sebelum pencabutan itu, Ibrahim telah mengingatkan Hasan Di Tiro  konsekuensi dari aksi tersebut yang dijawab oleh Hasan Di Tiro dengan tekad yang bulat: “Itu adalah risiko perjuangan adoe meutuah (hal. 58)”.

Saya tidak akan menceritakan seluruh pengalaman yang dialami oleh Ibrahim dalam bukunya. Namun bacaan ini merupakan hal yang sangat efektif jika dilihat dari perspektif pengarang, seakan menyaksikan sebuah teater hidup dari cerita tentang seorang aneukmiet dari Gampong Blang menuju timur dan barat. Saya percaya buku ini akan menjadi sesi pembelajaran dan kesadaran yang baik bagi setiap kalangan Aceh.

* Mehmet Özay, peneliti independen, pendiri Pusat Kebudayaan Aceh Turki (PuKAT)