Kamis, 31 Januari 2013

Beranda » » Turki Usmani; Representasi Terakhir Politik Kekhalifaan Islam

Turki Usmani; Representasi Terakhir Politik Kekhalifaan Islam

Pengantar
Setelah jatuhnya kota Bagdad sebagai sentral kekhalifaan Abbasiyah pada tahun 1258 M akibat serangan-serangan tentara mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis.[1] Keruntuhan kekhalifaan Abasiyah ini sekaligus merupakan awal dari kemunduran politik dan peradaban Islam. Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang kaya dengan berbagai khazanah ilmu pengetahuan itu lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Jengis Khan (Timujin) dan Hulagu Khan.
Setelah lebih dari satu abad umat Islam menderita dan berusaha bangkit dari kehancuran akibat serangan-serangan Jengis Khan dan Hulagu Khan, malapetaka yang kurang dahsyatnya datang kemabali. Serangan kali ini juga datang dari keturunan bangsa Mongol yaitu Timur Lenk. Berbeda dengan Jengis Khan dan Hulagu Khan dan keturunannya dari dinasti Ilkan, Timur Lenk saat itu sudah masuk Islam, namun sisa-sisa kebiadaban masih melekat kuat.[2] Pada awal abad ke lima belas, para penerus Timur Lenk meredakan kekejamannya dengan merendah kepada sastrawan dan astronom.[3]
Salah satu wilayah kekuasaan Islam yang selamat dari serangan pasukan Mongol tersebut adalah Mesir, di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Menurut Philip K. Hitti, seandainya dinasti Mamluk gagal bertahan , tetentu seluruh tatanan sejarah dan kebudayaan di Asia Barat dan Mesir akan berubah drastis. Berkat kegigihan mereka, Mesir bisa bertahan dan selamat dari serangan Mongol, sehingga penduduk Mesir bisa tetap menyaksikan kesinambungan budaya dan institusi politik.[4]
Selain serangan dari Timur Lenk, kekuatan politik Islam baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi Mamluk adalah kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamluk. Dinasti Mamluk kalah melawan pasukan Usmani dalam pertempuran pada tahun 1517 M, sejak itulah Mesir berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani.[5]
Keadaan politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar, yakni, kerajaan Usmani di Turki, Safawi di Persia, dan kerajaan Mughal di India. Yang tertua diantara tiga kerajaan Islam tersebut adalah kesultanan Usmani. Kerajaan ini memperoleh pijakan pertamanya di Eropa, menegakkan pemerintahannya di Asia dan menaklukan seluruh wilayah kekuasaan Bizantium.
Pada awal abad ke-16 seluruh dunia Arab berada dibawah kekuasaan Turki Usmani. Penguasa baru ini bergelar Sultan, sementara gelar khalifah yang menjadi bagi sebutan penguasa Muslim sebelumnya hanya bertahan sampai zaman dinasti Mamluk, dan akhirnya lenyap.[6]
Pembentukan Negara dan Perkembangannya
Turki Usmani (disebut Ottoman) berasal dari nama nenek moyang mereka yakni Usman. Ia merupakan salah satu dinasti besar dan lama di dunia, yang berkuasa sejak tahun 1300 M hingga 1922 M.[7] Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara negeri Cina. Mereka pindah ke Turkistan kemudian ke Presia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah.[8]
Pendirinya adalah Usman (1300-1324) putra Ertogrul. Ertogrul adalah kepala suku Kayi di Asia Kecil yang datang ke Turki dan mendapat kepercayaan dari sultan – Alauddin Kaikobad (Alauddin II) – Saljuk untuk menjadi panglima pasukan perangnya. Dibawah pimpinan Ertogrul, mereka mengabdi kepada sultan Saljuk yang sedang berperang melawan Bizantium. Karena mendapat kemenangan, sultan Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Biazantium sebagai imbalan kepada mereka. Sejak saat itulah mereka membina dan mengembangkan wilayah baru tersebut. Jabatan panglima perang beralih ke Usman setelah Ertogrul meninggal tahun 1289.[9]
Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa kepada sultan Saljuk dengan menduduki benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M ketika bangsa Mongol menghancurkan kerajaan Saljuk, sultan Alauddin meninggal dan kerajaan Saljuk-pun terpecah. Usman pun segera menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya.[10] Sejak saat itulah kerajaan Usmani dinyatakan berdiri dengan Usman (Usman I) sebagai penguasa pertamanya.
Setelah Usman menyatakan dirinya sebagai Padisyah Al-Usman (raja besar keluarga Usman) tahun 699 H/1300 M, ia menaklukan kota Broessa (Bursa) pada 1317 M, dan pada 1326 M kota ini dijadikan sebagai ibu kota kerajaan.[11] Sebagai sultan pertama, Usman lebih banyak berkonsentrasi untuk memperkuat kekuasaannya dari ancaman serangan Bizantium.
Diranjang kematiannya, Usman menunjuk anaknya yang lebih mudah, Orkhan (1324-1360) berusia 42 tahun – yang memang telah didik sebagai seorang prajurit – untuk menggantikannya[12]. Untuk membentengi kekuasaannya, Orkhan membentuk pasukan tangguh Janissary, dan selanjutnya melakukan usaha-usaha perluasan wilayah. Dibawah pimpinan Orkhan secara berturut-turut Turki Usmani dapat menguasai Izmir (Smirna), Ankara, dan Galipoli. Daerah ini adalah bagian benua Eropa yang pertama kali diduduki kerajaan Usmani.
Orkhan mengkonsentrasikan perhatiannya ke Eropa, dan hingga kematiannya tahun 1359 ambisi yang tidak henti-hentinya ditujukan untuk melawan Bizantium.[13] Ia menduduki Bizantium hingga hampir merupakan daerah jajahan. Keberhasilan Orkhan tidak hanya karena kekuatan militer, tapi juga karena kemahiran diplomasi dan memanfaatkan kelemahan Bizantium.[14]
Ekpansi yang lebih besar lagi terjadi pada masa Murad I (1360-1389) ketika mengganti ayahnya, Orkhan. Dimasanya ia berhasil menaklukan Balkan, Andrianopel – kemudian dijadikan sebagai ibukota kerajaan yang baru – Sofia (Bulgaria), Macedonia, Serbia, dan seluruh bagian utara Yunani.[15] Kemenangan Turki Usmani merupkan pukulan telak bagi persekutuan Kristen dan membuat mereka – melalui komando Paus – mengobarkan semangat perang melawan Turki Usmani.
Mereka menyusun kekuatan dari Bulgaria, Serbia, Rumania, Hongaria, dan Rumania untuk menggempur kerajaan Usmani. Dalam pertempuran ini, sultan Murad I tewas, namun kemenangan tetap dipihak Usmani. Eksapnsi selanjutnya dipimpin oleh Bayazid I (1389-1402) yang menggantikan ayahnya, Murad I. Pada 1391 M pasukan Bayazid merebut Philadelphia dan Garamania atau Kirman (Iran). Kesuksesan Bayazid kembali menimbulkan keresahan Eropa yang membuat Paus kembali menyeru untuk berperang. Terjadilah pertempuran di Nicopolis pada 1396, dan kerajaan Ottoman kembali meraih kemenangan[16]. Dengan demikian kerajaan Ottoman secara bertahap bangkit menjadi adikuasa, dan mempersiapkan kekuatan menyerang Konstantinopel.
Rencana yang sangat ambisius ini untuk beberapa waktu memudar. Ketika penyerangan diarahkan ke Konstantinopel, pasukan Mongol yang dipimpin Timur Leng menggempur Turki Usmani. Pertempuran yang hebat terjadi di Ankara tahun 1402 M. Tentara Turki Usmani mengalami kekalahan, Bayazid tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403.[17] Kekalahan Bayazid membawa akibat buruk bagi Turki Usmani. Selain itu putra-putra Bayazid yang saling berebut kekuasaan lebih menambah ketidakstabilan politik dilingkungan kerajaan.
Perseteruan ini akhirnya dimenangkan oleh putra Bayazid yang bernama Muhammad I (1413-1421). Dengan memanfaatkan kerapuhan Mongol pasca kematian Timur Leng, Muhammad I melepaskn diri dari kekuasaan Mongol dan berusaha keras mengembalikan kekuasaannya. Usaha ini dilanjutkan oleh Murad II (1421-1444 dan 1446-1451), dan selajutnya oleh anaknya Muhammad II (1444-1446 dan 1451-1481) yang dikenal dengan gelar al-fâtih (sang penakluk), karena pada masanya terjadi penaklukan secara besar-besaran.
Pada masa Muhammad II kota penting Konstantinopel dapat ditaklukan pada 1453 dan dijadikan sebagai ibu kota kerajaan baru, dan diubah menjadi Istanbul (tahta Islam). Perebutan Konstantinopel yang merupakan benteng pertahanan paling kuat Bizantium mempermudah ekspansi Turki Usmani ke Benua Eropa. Penguasaan Konstantinopel mempermudah pasukan Usmani untuk menaklukan wilayah lainnya, seperti Serbia, Albania, dan Hongarias.[18] Ira M. Lapidus menulis bahwa penaklukan Konstantinopel merupakan sebuah kemenangan gemilang sekaligus merealisasikan ambisi umat Islam zaman lampau untuk dapat mewarisi wilayah-wilayah kekuasaan imperium Romawi.[19]
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih memfokuskan kegiatan dalam hal kemiliteran, sedangkan dalam bidang keilmuan, mereka tidak begitu menonjol, karenanya, dalam khazanah intelektual Islam, kita tidak menemukan ilmuan terkemuka dari Turki Usmani. Namun demikian mereka banyak berkiprah dalam hal seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan masjid yang indah, seperti; masjid Al-Muhammad atau masjid Jami’ Sultan Muhammad Al-Fatih, masjid Agung Sulaiman, dan masjid Abi Ayyub Al-Anshari. Masjid tersebut dihiasi dengan kaligrafi yang indah. Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid yang awalnya gereja Aya Sopia.[20]
Puncak Kegemilangan Tukri Usmani
Kerajaan Usmani semakin memantapkan kedudukannya pada masa Sulaiman I (1520-1566), sehingga pada masanya wilayah kekuasaan Usmani mencakup Asia kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis dan Al Jazair di Afrika, Bulgaria, Yunani, Yugaslapia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa. Pada masanya, seluruh Afrika Utara, kecuali Maroko, berhasil dijadikan bagian dari kerajaan.[21] Karena keluasan wilayahnya, kerajaan Usmani menjadi Negara adikuasa waktu itu.
Untuk mengatur pemerintahan Negara disusunlah sebuah kitab undang-undang (qanun) yang berjudul Multaqa al-Abhur (titik pertemun lautan), yang selanjutnya menjadi karya standar menyangkut undang-undang hukum Usmani sampai datangnya reformasi pada abad ke 19. Sebab itulah Sultan Sulaiman I juga diberi gelar al-Qanuni (pembuat undang-undang).[22]
Pada masa al-Qanuni, ia menyempurnakan dan memperindah ibu kota, serta kota-kota lain dengan mendirikan masjid, sekolah, rumah sakit, istana, museum, jembatan, terowongan, jalur kereta, dan pemandian umum. Disebutkan bahwa 235 diantaranya dibangun oleh arsitek kepercayaannya, Sinan, seorang Kristen Anatolia. Karya agungnya adalah madjid Agung Sulaiman yang dirancang untuk menandingi Santa Shopia yang tinggi kuba utamanya enam belas kaki lebih tinggi dari Katerdal Justine. Mihrab dan dinding belakangnya dihiasi dengan gaya Persia, lampu-lampunya menerangi Barsporus yang suatu ketika menjadi Madinah paling indah. Sedangkan ibukota kerajaan Islam terdahulu seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, berfungsi sebagai ibukota provinsi.[23]
Akhir Kekuasaan Turki Usmani
Karena maksud kami tidaklah untuk menuliskan sejarah yang lengkap tentang sultan-sultan Usmaniyah, tetapi lebih mengutamakan menuliskan secara sederhana dan padat tentang awal perluasan imperium secara umum dan juga kondisi melemahnya kerajaan hingga akhirnya hancur, maka tidak perlu penguraiannya dilakukan secara panjang lebar. Namun perlu juga ditegaskan bahwa pada sultan Sulaiman al-Qanunilah kerajaan Usmani berada pada puncak kegemilangannya, dan setelah masa al-Qanuni, kekuasaan Usmani semakin lama semakin melamah.
Kerajaan Usmani mulai melemah setelah wafatnya Sulaiman al-Qanuni. Sultan-sultan yang menggantikannya, umumnya lemah dan tidak berwibawa. Penyebab lainnya adalah kondisi kehidupan yang mewah dan berlebih-lebihan dikalangan pembesar istana, sehingga banyak terjadi penyimpangan dalam keuangan Negara.[24]
Secara umum gambaran tentang kondisi awal melamahnya kerajaan Usmani yang dianggap merupakan tanda-tanda bagi kehancurannya, seperti di tulis oleh Philip Hitti;
Tidak lama setelah wafatnya Sulayman, kerajaan mulai menapaki jalan yang menurun curam, sebuah perjalanan yang panjang dan berliku. Kegagalan serangan kedua ke Wina pada 1683 dianggap sebagai tanda-tanda awal berkahirnya kejayaan kerajaan; ekspansi Turki ke Eropa tidak mengalami kemajuan yang berarti. Setelah itu, penguasa Turki memilihi untuk mempertahankan apa yang telah mereka dapatkan ketimbang mencoba mendapatkan lebih banyak…. Kekuatan internal yang semakin melemah bertambah buruk dengan munculnya gangguan dari luar ketika pada abad ke-18 Prancis, Inggris, Australia, dan terkahir Rusia mulai melebarkan pengaruh mereka dan melirik wilayah-wilayah yang dikuasai oleh “orang sakit” dari Eropa ini. Bagaimanapun, kecemburuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam persaingan dan tiadanya kerjasama di antara mereka memberikan waktu yang cukup luang bagi “si sakit” untuk meneruskan hidupnya.[25]
Memang setelah serangan kedua ke Wina menuai kekalahan, sejak itu keruntuhan yang berjalan lambat mulai terjadi. Turki berubah menjadi seperti “orang sakit” di Eropa. Berbagai kekuatan Eropa melakukan upaya untuk merebut apa yang bisa mereka rebut dari kerajaan Ottoman.
Pada masa sultan Salim II (1566-1574) pasukan Usmani mengalami kekalahan dari sekutu Kristen Eropa pada pertempuran di Lipoto yang menyebabkan Tunisia lepas dari Usmani. Kemudian pada masa Ahmad I (1603-1617), Australia kembali berhasil mengalahkan pasukan Usmani, kajayaan kerjaan Usmanipun dianggap lemah di mata orang-orang Eropa.[26] Akibatnya upeti yang biasa dikirimkan oleh wilayah-wilayah yang berada dibawah kekuasaan Usmani tidak lagi diberikan, dan berakibat pada melemahnya perekonomian kerajaan. Ketika sultan Ibrahim (1640-1648) berkuasa, suasana dalam negeri menjadi semakin kacau, sehingga kelompok Janissari (pasukan elite kerajaan) mengambil kekuasaan dan mengangkat Muhammad IV (1648-1687) sebagai gantinya.
Selain terjadinya kekacauan internal di lingkungan kerajaan, Turki Usmani juga secara terpaksa harus menandatangani beberapa perjanjian yang isinya justru memojokkan pihak Usmani sendiri, diantara perjanjian itu adalah; (1) Perjanjian Karlowitz yang terjadi pada tahun 1699 yang memaksa sultan Mustafa II (1695-1703) harus melepaskan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Kroasia kepada Hapsburg (nama dinasti raja-raja Eropa) serta daerah-daerah Dalmatia kepada Venetia. (2) Perjanjian Passarowitz tahun 1718 antara sultan Mustafa II dengan Australia dan Venesia, yang isinya Usmani harus menyerahkan seluruh wilayah yang dikuasasi oleh Australia. (3) Perjanjian Kinarji tahun 1774 antara sultan Abdul Hamid I (1774-1789) dengan Rusia yang isinya memberikan Azov (laut dangkal, bagian dari laut hitam), dan kapal-kapal Rusia diijinkan melewati laut hitam. (4) Perjanjian Jassy tahun 1792 antara sultan Salim III (1789-1807) dengan Rusia, yang isinya Usmani harus menyerahkan Crimea (kota dekat laut hitam) kepada pihak Rusia.[27]
Keadaan ini semakin para tatkala Napoleon, jenderal dan kaisar Perancis berhasil menguasai Mesir pada tahun 1798. Perancis akhirnya berhasil merebut Aljazair (1830) dan Tunisia (1881), Italia menduduki wilayah Usmani di Afrika Utara. Kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh wilayah lain untuk melepaskan diri dari Usmani, seperti Rumania, Yunani, Bulgaria, Cyprus, Albania, dan Mecdonia.[28] Ketika dahulu penguasa Usmani dapat mengalahkan Eropa, tetapi kini mereka membiarkan wilayahnya dirampas oleh orang Eropa. Keadaan ini juga memberi peluang bagi daerah-daerah lainnya untuk melepaskan diri dari Usmani.
Perjanjian-perjanjian diatas menyebabkan kemunduran ekonomi Usmani dan menjadi alasan bagi Negara-negara Eropa untuk mencapuri urusan dalam negeri kerjaan. Sebelum campur tangan langsung dari Negara-negara Eropa pada masalah-masalah Usmani, perjanjian-perjanjian ini menjadi alat yang penting bagi infiltrasi budaya Eropa. Kelamahan ini membawa Usmani kepada pengakuan atas superioritas Barat dalam hal persenjataan dan teknik perang. Usaha-usaha pembaratan pertama kali dilakukan disini.[29]
Pembaruan-pembaruan ala-Barat yang dilakukan oleh sultan Salim II (1687-1691) yang dikenal dengan Nizam-l-Cedid (Orde Baru) merupakan usaha yang kuat untuk proses pembaratan, meskipun sultan tidak mendapat dukungan dari para ulama yang menentang usaha pembaruan itu. Usaha pembaruan ini semakin kuat dengan lahirnya piagam Tanzimat dalam sejarah Turki. Lahirnya Tanzimat diikuti dengan asumsi baru bahwa pembaruan tidak hanya dengan meminjam teknik dan ide-ide ala Barat, namun institusi-institusi Baratpun diambil untuk merubah pola kebudayaan Turki.[30]
Ketika sultan Abdul Hamid II (1876-1909) naik tahta, ia mengundangkan suatu konstitusi pada 23 Desember 1876 yang disusun oleh Midhat Pasha. Namun rezim konstitusiaonal ini tidak berlangsung lama, karena tidak adanya pengawasan dan dukungan yang baik.[31] Pemerintahan sultanpun menjadi sangat absolut, yang menimbulkan rasa tidak senang dikalangan sipil dan militer sehingga lahirnya gerakan-gerakan oposisi terhadap pemerintahan. Gerakan- oposisi ini dikenal dengan gerakan Turki Muda. Komite rahasia dibentuk, seperti Komite Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan, dan berhasil mendesak sultan Abdul Hamid II memberlakukan kembali konstitusi 1876.[32]
Akibat desakan itu, diadakanlah pemilihan umum dan terbentuklah parleman baru yang diketuai oleh Ahmad Riza dari kelompok Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan. Dalam perkembangan selanjutnya, Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan menggiring Usmani untuk berpihak kepada Jerman dalam kanca perang dunia I, namun perang dunia I berakhir dengan kekalahan pihak Jerman dan Turki.
Akibat kekalahan ini, tentara sekutu menduduki bagian-bagian tertentu kota Istanbul. Hal ini menimbulkan amarah dan semangat rakyat Turki untuk mempertahankan tanah air mereka. Dalam keadaan seperti ini muncullah Mustafa Kemal untuk berjuang untuk menyelamatkan kerajaan Usmani dari kehancuran total dan ekspansi Eropa.
Pada tahun 1920 dibentuklah Majelis Agung yang diketuai oleh Mustafa Kemal. Akhirnya pada tahun 1922 Majelis Agung dibawah pimpinan Mustafa Kemal menghapuskan jabatan Sultan dan memproklamirkan berdirinya Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923. Kemudian pada tahun 1924, jabatan Sultan dihapuskan.[33]
Sejak terhapusnya jabatan sultan dalam sistem pemerintahan Turki Usmani dan diikuti dengan berdirinya sistem pemerintahan republik, Tukri mengalami perubahan tidak hanya dalam batas-batas sistem demokrasi dan tatanan kenegaraan, namun juga diikuti oleh perubahan budaya. Dan Tukri Usmani pun menjadi akhir dari cerita kejayaan Islam dengan bangunan kekhalifaan Islam yang terkahir.

[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (edisi I, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006), h. 129
[2] Ibid, h. 117-118
[3] Arnold Toynbee, Mankind and Mother Earth, A Narative History of the World. Diterjemahnkan oleh Agung Prihantoro dkk, dengan judul Sejarah Umat Manusia, Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif, (Cet IV, Pustaka Pelajar, Yogykarta, 2007), h. 618
[4] Philip K. Hitti, History of the Arab, Diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi, (Cet II, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006), h. 859
[5] Badri yatim, Op.Cit, h. 128
[6] Asghar Ali Engineer, Islamic State, terjemahan Indonesia oleh Imam Mutaqin, dengan judul Devolusi Negara Islam, (Cet; I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000), h. 142
[7] Akbar S. Ahmad, Discovering, Islam, Making Sence of Muslim History and Society, Terjemahn Indonesia oleh; Nuding Ram & Ramli Yakub dengan judul, Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, (Cet;I, Erlangga, t.tt, 1992), h. 71
[8] Badri Yatim, Op.Cit , h. 129
[9] Proyek Pengembangan Sistem dan Standar Perbukuan Dasar dan Menengah, Ensiklopedi Islam (Cet II; Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2003), h. 58
[10] Badri Yatim, Op.Cit, h. 130
[11] Ibid
[12] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, terjemahan Indonesia, Adang Affandi, (Cet; IV, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005), h. 316
[13] Ibid, h. 318-319
[14] Ibid h. 321. Perlu dikemukakan bahwa pada waktu itu (pertengahan abad ke-XIV) Bizantium telah mengalami kemerosotan. Selain itu, ketika kaisar Yunani saat itu, Andronicus III meninggal, penasihatnya, Cantacuzene diangkat dengan surat wasiat menjadi wali dengan Ratu Anna (Janda Andronicus III). Cantacuzene merasa tidak puas, dan ambisinya untuk memdapat kekuasaan membuatnya mengklaim diri sebagai kaisar. Hal ini membuat Ratu Anna marah, dan akhirnya terjadi perang saudara. Lihat juga, h. 319-320
[15] Proyek Pengembangan…, Ensiklopedi, Loc.Cit
[16] Ibid
[17] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Imperium Turki Usmani, (Cet I; Jakarta, Kalam Mulia, 1988), h. 2
[18] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Cet;V, Jakarta, UI Press, 1985), h. 84, Lihat juga, Ensiklopedi, Op.Cit, h. 59
[19] Lihat, Ira M. Laipdus, A History of Islamic Societies, terjemahan Indonesia oleh Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam, (Edisi; I, Cet;I, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1999), h. 474
[20] Badri Yatim, Op.Cit, h. 136. Lihat juga, Akbar S. Ahmad, Loc.Cit
[22] Philip K. Hitti, History of the Arab, Diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi, (Cet II, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006), h. 910-911
[23] Ibid, h. 912
[24] Proyek Pengembangan…, Ensiklopedi, Op.Cit, h. 61
[25] Philip K. Hitti, Op.Cit, h. 915
[26] Badri Yatim, Op.Cit, h. 163-264
[27] Proyek Pengembangan…, Ensiklopedi, Loc.Cit
[28] Ibid, h. 62
[29] Lihat, H. A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, (Jakarta,1994), h.12-13
[30] Ibid, h. 14-15
[31] Ibid, h. 46
[32] Proyek Pengembangan…, Ensiklopedi, h. 62
[33] Ibid, h. 63

Rully Asrul Pattimahu