Sebuah usaha perebutan kekuasaan (kudeta) pernah terjadi di Jepang yang dilakukan oleh kalangan militer ultra-nasionalis. Kejadian yang dikenal sebagai “Insiden 26 Februari” tersebut dilakukan oleh sekitar 1,400-an pasukan dari angkatan bersenjata kekaisaran. Beberapa politisi terbunuh dalam insiden tersebut dan pusat pemerintahan di Tokyo juga sempat dikuasai oleh tentara pemberontak.
Kalangan militer yang ikut andil besar dalam Insiden 26 Februari adalah perwira-perwira muda (kebanyakan berpangkat dibawah Mayor). Mereka gerah dengan tingkah politisi-politisi korup. Sementara kemiskinan yang parah melanda pelosok-pelosok desa. Dengan berslogan “Restorasi Showa” dan “Lindungi Kaisar, Ganyang Para Setan”, perwira-perwira tadi merasa terpanggil untuk “menghancurkan hantu yang meracuni Jepang”.
Slogan “Restorasi Showa” dan “Lindungi Kaisar, Ganyang Para Setan” tadi sangat dipengaruhi oleh pikiran Ikki Kita, seorang ultra-nasionalis berhaluan kiri. Dia percaya bahwa kondisi Jepang yang timpang kesejahteraannya antara pusat dan daerah sangat diperngaruhi oleh hubungan yang penuh kepalsuan antara para politisi dan pejabat dengan Kaisar.
Para pejabat dan politisi sebagai kalangan yang dekat dengan kaisar dianggap sering menyembunyikan fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan akibat kondisi ekonomi yang lesu. Selain itu mereka juga dianggap korupsi karena kongkalikongnya dengan perusahaan-perusahaan besar di Jepang atau yang kerap dikenal sebagai zaibatsu.
Ketimpangan yang dilihat di pemerintahan juga terjadi di kalangan militer. Para perwira yang tidak melanjutkan pendidikan militernya hingga ke tingkat lanjut tidak bisa maju ke posisi-posisi penting. Apalagi perwira berpendidikan lanjut tadi kemudian seperti membentuk sebuah kelompok elit yang hampir pasti karirnya akan ke pusat pemerintahan. Kecemburuan timbul dari para perwira non-elit, terutama yang masih berusia muda.
Dua hal tersebut dianggap sebagai hal yang memicu terjadinya “Insiden 26 Februari”.
Tanggal 26 Februari 1936 di pagi buta yang dingin karena malamnya turun salju lebat, pasukan pemberontak sudah terbagi menjadi 6 kelompok dan mulai meninggalkan barak antara pukul 03.30 hingga pukul 04.00 waktu setempat. Direncanakan serangan ke kediaman para politisi dan pejabat yang telah ditentukan akan dimulai serentak pukul 05.00.
Beberapa politisi dan pejabat yang menjadi target berhasil dibunuh. Namun ada juga yang berhasil selamat dari usaha pembunuhan itu. Selain para politisi dan pejabat yang menjadi target, beberapa pengawal juga menjadi korban disamping beberapa anggota pasukan pemberontak.
Salah satu yang berhasil lolos dari usaha pembunuhan itu adalah perdana menteri saat itu, Keisuke Okada. Okada adalah seorang Laksamana Angkatan Laut yang diangkat menjadi Perdana Menteri Jepang pada tahun 1934.
Saat insiden terjadi, Okada lolos dari maut, tetapi ajudannya, Kolonel Denzo Matsuo, yang juga merupakan saudara iparnya, menjadi korban saat berusaha menyelamatkan Sang Perdana Menteri. Setelah menyembunyikan Okada, Matsuo menemui tentara pemberontak yang menyerang kediaman resmi perdana menteri tersebut dan mengaku bahwa dirinya adalah Perdana Menteri Okada. Tanpa pikir panjang, tentara pemberontak mengeksekusi Matsuo. Mereka meninggalkan kediaman Okada setelah mengkonfirmasi wajah Matsuo sesuai dengan foto Okada yang dibawa tentara pemberontak.
Selain pengorbanan Kolonel Matsuo, ada kisah heroik lainnya dalam Insiden 26 Februari itu. Yaitu saat tentara pemberontak menyergap kediaman Laksamana Saito Makoto yang saat itu memegang jabatan yang berfungsi seperti Menteri Dalam Negeri. Saito juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri yang kemudian digantikan oleh Keisuke Okada.
Setelah penjaga kediaman pribadi Saito menyerah disergap pemberontak, beberapa pasukan pemberontak segera masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke ruang tidur Saito yang terletak di lantai dua. Begitu Saito terlihat berdiri di dalam kamar tidur spontan pasukan pemberontak menembaknya. Saito tersungkur dan langsung meninggal. Haruko, sang istri, pun kontan merebahkan dirinya untuk melindungi tubuh Saito yang tergeletak karena akan ditembak yang kedua kalinya di bagian kepala untuk memastikan bahwa Saito sudah meninggal. Haruko memohon kepada mereka untuk menembak dirinya juga. Salah satu tentara lalu menarik paksa tubuh Haruko supaya menjauh dari tubuh Saito. Terjadi tarik-menarik karena Haruko bersikeras menelungkupkan badannya diatas tubuh Saito dengan mendekapnya erat-erat. Di tengah tarik-menarik itu, saat sedikit celah terbuka bagi pemberontak untuk menembak bagian kepala Saito, ditembaklah kepala Saito. Sayangnya sebutir peluru sempat menyerempet nyasar mengenai Haruko hingga terluka.
Kudeta tersebut akhirnya gagal setelah Kaisar Hirohito, yang mendengar tentang percobaan kudeta tersebut pada 09.30 pagi hari tidak lama setelah insiden dimulai, menolak tegas permintaan pemberontak untuk merombak kabinet. Bahkan kaisar memerintahkan untuk menumpas pemberontak dengan mengembalikan pasukan ke barak dan menghukum mereka yang berperan penting.
Penolakan kaisar tersebut diikuti dengan pemberlakuan keadaan darurat militer mulai 01.20 dini hari tanggal 27 Februari.
Namun setelah beberapa negosiasi alot antara pemerintahan darurat militer dengan pemberontak berakhir buntu, akhirnya kaisar memberikan lampu hijau untuk digunakannya kekuatan militer untuk meredam pemberontakan.
Akhirnya, pada 29 Februari 1936 pagi, lebih dari 20,000 pasukan pemerintah darurat militer ditambah 22 tank bergerak mengepung pasukan pemberontak atas perintah dari kaisar. Pemberontak yang berjumlah sekitar 1,500 pasukan tersebar di beberapa tempat yang mereka kuasai di pusat pemerintahan di Tokyo. Sudah sejak pukul 05.30, seluruh warga sipil di wilayah yang dikuasai pemberontak dievakuasi. Dari pukul 08.00, pasukan darurat militer telah memulai propagandanya dengan cara menjatuhkan leaflet dari udara yang berisi ajakan untuk tidak melawan perintah kaisar. Selain itu, balon udara bertuliskan ajakan yang sama juga berputar-putar di atas daerah yang dikuasai pemberontak. Tidak ketinggalan siaran radio pemerintah NHK yang mengulang-ulang himbauan agar pemberontak menyerah.
Akhirnya pada pukul 10.00, sudah banyak pasukan pemberontak yang meninggalkan posnya dan kembali ke baraknya. Namun baru pukul 13.00, pimpinan pemberontak memerintahkan pasukannya untuk meninggalkan posisinya dan kembali ke barak. Beberapa komandan pemberontak melakukan bunuh diri sebagai ungkapan rasa malu. Pada pukul 18.00, seluruh perwira dari kubu pemberontak ditangkap oleh polisi militer.
Akhirnya sebuah pengadilan militer khusus digelar sebagai buntut dari usaha kudeta gagal tersebut. Pemeriksaan maraton oleh pengadilan militer memakan waktu sekitar 18 bulan. Khusus para pelaku utama, yaitu para perwira muda ultra-nasionalis diadili secara tertutup. Kesemuanya, berjumlah 17 perwira, diganjar hukuman mati. Eksekusi oleh regu tembak dilaksanakan pada 15 Juli 1937 bertempat di penjara militer di daerah Shibuya.
Muhammad Kunta B
Kalangan militer yang ikut andil besar dalam Insiden 26 Februari adalah perwira-perwira muda (kebanyakan berpangkat dibawah Mayor). Mereka gerah dengan tingkah politisi-politisi korup. Sementara kemiskinan yang parah melanda pelosok-pelosok desa. Dengan berslogan “Restorasi Showa” dan “Lindungi Kaisar, Ganyang Para Setan”, perwira-perwira tadi merasa terpanggil untuk “menghancurkan hantu yang meracuni Jepang”.
Slogan “Restorasi Showa” dan “Lindungi Kaisar, Ganyang Para Setan” tadi sangat dipengaruhi oleh pikiran Ikki Kita, seorang ultra-nasionalis berhaluan kiri. Dia percaya bahwa kondisi Jepang yang timpang kesejahteraannya antara pusat dan daerah sangat diperngaruhi oleh hubungan yang penuh kepalsuan antara para politisi dan pejabat dengan Kaisar.
Para pejabat dan politisi sebagai kalangan yang dekat dengan kaisar dianggap sering menyembunyikan fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan akibat kondisi ekonomi yang lesu. Selain itu mereka juga dianggap korupsi karena kongkalikongnya dengan perusahaan-perusahaan besar di Jepang atau yang kerap dikenal sebagai zaibatsu.
Ketimpangan yang dilihat di pemerintahan juga terjadi di kalangan militer. Para perwira yang tidak melanjutkan pendidikan militernya hingga ke tingkat lanjut tidak bisa maju ke posisi-posisi penting. Apalagi perwira berpendidikan lanjut tadi kemudian seperti membentuk sebuah kelompok elit yang hampir pasti karirnya akan ke pusat pemerintahan. Kecemburuan timbul dari para perwira non-elit, terutama yang masih berusia muda.
Dua hal tersebut dianggap sebagai hal yang memicu terjadinya “Insiden 26 Februari”.
Tanggal 26 Februari 1936 di pagi buta yang dingin karena malamnya turun salju lebat, pasukan pemberontak sudah terbagi menjadi 6 kelompok dan mulai meninggalkan barak antara pukul 03.30 hingga pukul 04.00 waktu setempat. Direncanakan serangan ke kediaman para politisi dan pejabat yang telah ditentukan akan dimulai serentak pukul 05.00.
Beberapa politisi dan pejabat yang menjadi target berhasil dibunuh. Namun ada juga yang berhasil selamat dari usaha pembunuhan itu. Selain para politisi dan pejabat yang menjadi target, beberapa pengawal juga menjadi korban disamping beberapa anggota pasukan pemberontak.
Salah satu yang berhasil lolos dari usaha pembunuhan itu adalah perdana menteri saat itu, Keisuke Okada. Okada adalah seorang Laksamana Angkatan Laut yang diangkat menjadi Perdana Menteri Jepang pada tahun 1934.
Saat insiden terjadi, Okada lolos dari maut, tetapi ajudannya, Kolonel Denzo Matsuo, yang juga merupakan saudara iparnya, menjadi korban saat berusaha menyelamatkan Sang Perdana Menteri. Setelah menyembunyikan Okada, Matsuo menemui tentara pemberontak yang menyerang kediaman resmi perdana menteri tersebut dan mengaku bahwa dirinya adalah Perdana Menteri Okada. Tanpa pikir panjang, tentara pemberontak mengeksekusi Matsuo. Mereka meninggalkan kediaman Okada setelah mengkonfirmasi wajah Matsuo sesuai dengan foto Okada yang dibawa tentara pemberontak.
Selain pengorbanan Kolonel Matsuo, ada kisah heroik lainnya dalam Insiden 26 Februari itu. Yaitu saat tentara pemberontak menyergap kediaman Laksamana Saito Makoto yang saat itu memegang jabatan yang berfungsi seperti Menteri Dalam Negeri. Saito juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri yang kemudian digantikan oleh Keisuke Okada.
Setelah penjaga kediaman pribadi Saito menyerah disergap pemberontak, beberapa pasukan pemberontak segera masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke ruang tidur Saito yang terletak di lantai dua. Begitu Saito terlihat berdiri di dalam kamar tidur spontan pasukan pemberontak menembaknya. Saito tersungkur dan langsung meninggal. Haruko, sang istri, pun kontan merebahkan dirinya untuk melindungi tubuh Saito yang tergeletak karena akan ditembak yang kedua kalinya di bagian kepala untuk memastikan bahwa Saito sudah meninggal. Haruko memohon kepada mereka untuk menembak dirinya juga. Salah satu tentara lalu menarik paksa tubuh Haruko supaya menjauh dari tubuh Saito. Terjadi tarik-menarik karena Haruko bersikeras menelungkupkan badannya diatas tubuh Saito dengan mendekapnya erat-erat. Di tengah tarik-menarik itu, saat sedikit celah terbuka bagi pemberontak untuk menembak bagian kepala Saito, ditembaklah kepala Saito. Sayangnya sebutir peluru sempat menyerempet nyasar mengenai Haruko hingga terluka.
Kudeta tersebut akhirnya gagal setelah Kaisar Hirohito, yang mendengar tentang percobaan kudeta tersebut pada 09.30 pagi hari tidak lama setelah insiden dimulai, menolak tegas permintaan pemberontak untuk merombak kabinet. Bahkan kaisar memerintahkan untuk menumpas pemberontak dengan mengembalikan pasukan ke barak dan menghukum mereka yang berperan penting.
Penolakan kaisar tersebut diikuti dengan pemberlakuan keadaan darurat militer mulai 01.20 dini hari tanggal 27 Februari.
Namun setelah beberapa negosiasi alot antara pemerintahan darurat militer dengan pemberontak berakhir buntu, akhirnya kaisar memberikan lampu hijau untuk digunakannya kekuatan militer untuk meredam pemberontakan.
Akhirnya, pada 29 Februari 1936 pagi, lebih dari 20,000 pasukan pemerintah darurat militer ditambah 22 tank bergerak mengepung pasukan pemberontak atas perintah dari kaisar. Pemberontak yang berjumlah sekitar 1,500 pasukan tersebar di beberapa tempat yang mereka kuasai di pusat pemerintahan di Tokyo. Sudah sejak pukul 05.30, seluruh warga sipil di wilayah yang dikuasai pemberontak dievakuasi. Dari pukul 08.00, pasukan darurat militer telah memulai propagandanya dengan cara menjatuhkan leaflet dari udara yang berisi ajakan untuk tidak melawan perintah kaisar. Selain itu, balon udara bertuliskan ajakan yang sama juga berputar-putar di atas daerah yang dikuasai pemberontak. Tidak ketinggalan siaran radio pemerintah NHK yang mengulang-ulang himbauan agar pemberontak menyerah.
Akhirnya pada pukul 10.00, sudah banyak pasukan pemberontak yang meninggalkan posnya dan kembali ke baraknya. Namun baru pukul 13.00, pimpinan pemberontak memerintahkan pasukannya untuk meninggalkan posisinya dan kembali ke barak. Beberapa komandan pemberontak melakukan bunuh diri sebagai ungkapan rasa malu. Pada pukul 18.00, seluruh perwira dari kubu pemberontak ditangkap oleh polisi militer.
Akhirnya sebuah pengadilan militer khusus digelar sebagai buntut dari usaha kudeta gagal tersebut. Pemeriksaan maraton oleh pengadilan militer memakan waktu sekitar 18 bulan. Khusus para pelaku utama, yaitu para perwira muda ultra-nasionalis diadili secara tertutup. Kesemuanya, berjumlah 17 perwira, diganjar hukuman mati. Eksekusi oleh regu tembak dilaksanakan pada 15 Juli 1937 bertempat di penjara militer di daerah Shibuya.
Muhammad Kunta B