Kejutan torpedo jarak jauh Jepang yang menyodok lambung De Ruyter itu mungkin telah hilang dari ingatan kita, namun mereka mengenangnya.
Suatu pagi saya meniti hamparan rumput yang basah karena embun. Berjalan di antara burung-burung ketitir yang bertengger di deretan salib kayu bercat putih di Taman Makam Kehormatan Belanda, Ereveld Kembang Kuning Surabaya.
Di bawah bayang-bayang nisan kayu itu terbaring jasad para tawanan-perang ketika pendudukan Jepang, para serdadu Koninklijke Landmach, Koninklijke Nederlandche Indische Lerger, dan Koninklijke Marine. Umumnya mereka adalah orang Belanda dan orang Indonesia yang berada di pihak Belanda.
Di tengah permakaman itu terdapat sebuah monumen bercat krem dengan desain anjungan kapal. Bangunan itu untuk mengenang Laksamana Muda Karel Willem Frederik Marie Doorman. Perancangnya adalah W. J. G. Zeedijk, diresmikan pada 7 Mei 1954.
Kita, bangsa Indonesia, bisa jadi hanyalah penonton dalam laga Perang Pasifik. Bahkan, banyak dari kita yang melalaikan peristiwa Pertempuran Laut Jawa yang kelak mengubah nasib Nusantara.
Setelah peristiwa Pearl Harbor pada akhir 1941, sumbu mesiu Perang Pasifik mulai menyala. Jelang masuknya Jepang ke Laut Jawa, pada 23 Februari 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyampaikan pidato terakhirnya lewat radio soal perkembangan kondisi kegentingan Hindia Belanda.
Dia mengatakan bahwa kondisi pantai Jawa yang memanjang menjadikan Jawa mudah diserang, sementara bantuan masih didambakan. Sebuah ajakan untuk tetap bertahan, namun juga menyiratkan keputusasaan.
Saat itu Jepang telah menguasai Singapura, Palembang, Tarakan, dan Selat Makassar. Pergerakan militer Jepang di Selat Makassar mulai tercium Doorman yang sejak awal Februari 1942 telah menjadi komandan skuadron “Striking Force” (ABDACOM). Pada 26 Februari petang armada empat kebangsaan dalam skuadron itu telah bersiaga meninggalkan Surabaya untuk kiprah pamungkasnya.
Foto-foto indah formasi kapal-kapal penjelajah Koninklijke Marine yang berpadu dengan pesawat pembom Dornier 24-K dan Fokker T IV tampaknya menjadi kenangan belaka. Suatu kesalahan dalam komunikasi, aksi-aksi armada laut sekutu pada Pertempuran Laut Jawa tidak diketahui oleh benteng-benteng terbangnya.
Armada sekutu itu tetap memotong laju konvoi-konvoi Jepang dan bertempur di Laut Jawa. Setelah bertahan 24 jam dalam pertempuran yang tak seimbang, Doorman dan armadanya binasa pada 27 Februari 1942, hari ini 71 Tahun silam, di sekitar perairan antara Tuban dan Pulau Bawean. Inilah pertempuran laut terpanjang selama perang dunia kedua.
Sang Laksamana Muda tewas bersama tenggelamnya kapal penjelajah “De Ruyter” karena —nasib sial dan—torpedo Jepang yang di luar dugaan berjangkauan jarak jauh. Sebuah kebanggaan seorang pelaut apabila bisa tenggelam bersama kapal yang dinahkodainya.
Dalam pertempuran itu armada ABDACOM kehilangan telak dua kapal penjelajah dan tiga kapal perusak, sementara Jepang hanya menderita kerusakan satu kapal.
Pada 1 Maret 1942 serdadu-serdadu Jepang telah medarat di Pantai Kragan, Eretan Wetan, Merak, dan Teluk Banten. Mereka bergerak cepat masuk ke pedalaman. Dalam hitungan seminggu, imperium Hindia Belanda itu pun tamat.
Monumen Karel Doorman di Ereveld Kembang Kuning mengabadikan semangat dan pengorbanan Sang Laksamana Muda dan awaknya. Terdapat tiga lempengan logam pada monumen itu. Lempengan tengah menggambarkan profil Doorman bersama kata-kata terakhirnya yang melegenda “Ik val aan, volgt mij!” —Saya menyerang, ikuti saya!
Sementara lempengan sisi kanan menjelmakan kapal penjelajah De Ruyter dengan teks “In eerbied opgedragen aan alle mannen der Koninklijke Marine die niet uit de strijd terug keerden. Slag in de java zee 27 Februari 1942. Harer Majesteit kruiser De Ruyter” —Didedikasikan untuk semua orang dari Angkatan Laut Kerajaan yang tidak kembali dari pertempuran. Pertempuran Laut Jawa 27 Februari 1942. Kapal Penjelajah De Ruyter.
Sedangkan lempengan kiri mencitrakan Kapal ”De Zeven Provincien”, yang dikomandoi Michiels Adriaanszoon de Ruyter (1607-76) dalam Perang Empat Hari antara Inggris dan Belanda pada abad ke-17. Lempengan ini bagaikan nyala gelora dalam monumen ini lantaran petikan kata-kata de Ruyter tentang kepatuhan, semangat bertempur, dan pengorbanan.
Di dinding belakang monumen itu saya terperanjat dengan daftar nama-nama korban Pertempuran Laut Jawa, lengkap dengan tahun kelahiran dan jabatan terakhir. Sebuah pengabdian paripurna yang diberikan para pribumi dan Belanda dalam armada Doorman untuk mempertahankan Jawa. Sejumlah 915 orang telah binasa dan hilang!
Enam tahun silam di sebuah dek kapal angkatan laut kerajaan Belanda, Hr.Ms. Tromp, digelar upacara peringatan 65 tahun tenggelamnya De Ruyter.
Peringatan dilaksanakan tepat di sebuah lokasi tenggelamnya kapal penjelajah legendaris itu. Acara dihadiri perwakilan-perwakilan dari Kedutaan Besar Belanda, Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda), TNI Angkatan Laut, dan Oorlogsgravenstichting (Lembaga Pemakaman Perang Belanda). Di akhir upacara para perwakilan tersebut secara bergantian melepas karangan bunga ke Laut Jawa.
Perang di manapun juga adalah bencana yang membinasakan manusia. Semoga jiwa para korban itu telah terbebas dan beristirahat dalam damai. Bagaikan burung-burung ketitir yang bebas terbang dan hinggap di nisan-nisan kayu Ereveld Kembang Kuning, mereka mungkin berpesan kepada kita untuk melestarikan perdamaian dunia.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI, atas budi baik Oorlogsgravenstichting)
Di bawah bayang-bayang nisan kayu itu terbaring jasad para tawanan-perang ketika pendudukan Jepang, para serdadu Koninklijke Landmach, Koninklijke Nederlandche Indische Lerger, dan Koninklijke Marine. Umumnya mereka adalah orang Belanda dan orang Indonesia yang berada di pihak Belanda.
Di tengah permakaman itu terdapat sebuah monumen bercat krem dengan desain anjungan kapal. Bangunan itu untuk mengenang Laksamana Muda Karel Willem Frederik Marie Doorman. Perancangnya adalah W. J. G. Zeedijk, diresmikan pada 7 Mei 1954.
Kita, bangsa Indonesia, bisa jadi hanyalah penonton dalam laga Perang Pasifik. Bahkan, banyak dari kita yang melalaikan peristiwa Pertempuran Laut Jawa yang kelak mengubah nasib Nusantara.
Setelah peristiwa Pearl Harbor pada akhir 1941, sumbu mesiu Perang Pasifik mulai menyala. Jelang masuknya Jepang ke Laut Jawa, pada 23 Februari 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyampaikan pidato terakhirnya lewat radio soal perkembangan kondisi kegentingan Hindia Belanda.
Dia mengatakan bahwa kondisi pantai Jawa yang memanjang menjadikan Jawa mudah diserang, sementara bantuan masih didambakan. Sebuah ajakan untuk tetap bertahan, namun juga menyiratkan keputusasaan.
Saat itu Jepang telah menguasai Singapura, Palembang, Tarakan, dan Selat Makassar. Pergerakan militer Jepang di Selat Makassar mulai tercium Doorman yang sejak awal Februari 1942 telah menjadi komandan skuadron “Striking Force” (ABDACOM). Pada 26 Februari petang armada empat kebangsaan dalam skuadron itu telah bersiaga meninggalkan Surabaya untuk kiprah pamungkasnya.
Foto-foto indah formasi kapal-kapal penjelajah Koninklijke Marine yang berpadu dengan pesawat pembom Dornier 24-K dan Fokker T IV tampaknya menjadi kenangan belaka. Suatu kesalahan dalam komunikasi, aksi-aksi armada laut sekutu pada Pertempuran Laut Jawa tidak diketahui oleh benteng-benteng terbangnya.
Armada sekutu itu tetap memotong laju konvoi-konvoi Jepang dan bertempur di Laut Jawa. Setelah bertahan 24 jam dalam pertempuran yang tak seimbang, Doorman dan armadanya binasa pada 27 Februari 1942, hari ini 71 Tahun silam, di sekitar perairan antara Tuban dan Pulau Bawean. Inilah pertempuran laut terpanjang selama perang dunia kedua.
Sang Laksamana Muda tewas bersama tenggelamnya kapal penjelajah “De Ruyter” karena —nasib sial dan—torpedo Jepang yang di luar dugaan berjangkauan jarak jauh. Sebuah kebanggaan seorang pelaut apabila bisa tenggelam bersama kapal yang dinahkodainya.
Dalam pertempuran itu armada ABDACOM kehilangan telak dua kapal penjelajah dan tiga kapal perusak, sementara Jepang hanya menderita kerusakan satu kapal.
Pada 1 Maret 1942 serdadu-serdadu Jepang telah medarat di Pantai Kragan, Eretan Wetan, Merak, dan Teluk Banten. Mereka bergerak cepat masuk ke pedalaman. Dalam hitungan seminggu, imperium Hindia Belanda itu pun tamat.
Monumen Karel Doorman di Ereveld Kembang Kuning mengabadikan semangat dan pengorbanan Sang Laksamana Muda dan awaknya. Terdapat tiga lempengan logam pada monumen itu. Lempengan tengah menggambarkan profil Doorman bersama kata-kata terakhirnya yang melegenda “Ik val aan, volgt mij!” —Saya menyerang, ikuti saya!
Sementara lempengan sisi kanan menjelmakan kapal penjelajah De Ruyter dengan teks “In eerbied opgedragen aan alle mannen der Koninklijke Marine die niet uit de strijd terug keerden. Slag in de java zee 27 Februari 1942. Harer Majesteit kruiser De Ruyter” —Didedikasikan untuk semua orang dari Angkatan Laut Kerajaan yang tidak kembali dari pertempuran. Pertempuran Laut Jawa 27 Februari 1942. Kapal Penjelajah De Ruyter.
Sedangkan lempengan kiri mencitrakan Kapal ”De Zeven Provincien”, yang dikomandoi Michiels Adriaanszoon de Ruyter (1607-76) dalam Perang Empat Hari antara Inggris dan Belanda pada abad ke-17. Lempengan ini bagaikan nyala gelora dalam monumen ini lantaran petikan kata-kata de Ruyter tentang kepatuhan, semangat bertempur, dan pengorbanan.
Di dinding belakang monumen itu saya terperanjat dengan daftar nama-nama korban Pertempuran Laut Jawa, lengkap dengan tahun kelahiran dan jabatan terakhir. Sebuah pengabdian paripurna yang diberikan para pribumi dan Belanda dalam armada Doorman untuk mempertahankan Jawa. Sejumlah 915 orang telah binasa dan hilang!
Enam tahun silam di sebuah dek kapal angkatan laut kerajaan Belanda, Hr.Ms. Tromp, digelar upacara peringatan 65 tahun tenggelamnya De Ruyter.
Peringatan dilaksanakan tepat di sebuah lokasi tenggelamnya kapal penjelajah legendaris itu. Acara dihadiri perwakilan-perwakilan dari Kedutaan Besar Belanda, Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda), TNI Angkatan Laut, dan Oorlogsgravenstichting (Lembaga Pemakaman Perang Belanda). Di akhir upacara para perwakilan tersebut secara bergantian melepas karangan bunga ke Laut Jawa.
Perang di manapun juga adalah bencana yang membinasakan manusia. Semoga jiwa para korban itu telah terbebas dan beristirahat dalam damai. Bagaikan burung-burung ketitir yang bebas terbang dan hinggap di nisan-nisan kayu Ereveld Kembang Kuning, mereka mungkin berpesan kepada kita untuk melestarikan perdamaian dunia.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI, atas budi baik Oorlogsgravenstichting)