Dan kebetulan, di tengah acara ruwet nasional itu, untuk kesekian kalinya aku membaca kisah Troya. Kisah epik campur-campur yang menceritakan pertempuran antara Sparta dan Troya, yang melibatkan Achilles, Argamemon, dan Hector. Menarik disimak meski sudah bolak-balik saya nonton Brad Pitt yang didandani jadi Achilles nggaya di dalam filmnya, atau membacanya lagi dalam buku yang naskahnya berbahasa Inggris tapi mudah dipahami ini.
Yang membuat cerita Troya menarik, menurutku, adalah tak jelas mana yang harus dipandang sebagai protagonis dan mana antagonisnya. Penonton atau pembaca, termasuk saya, kadang bingung harus berpihak sama siapa –ketika audiens memang diwajibkan untuk memilih kubu.
Mau berpihak ke Achilles, yang digambarkan sebagai paling jagoan (kayak Brama Kumbara di serial Saur Sepuh atau Arya Kamandanu dalam Tutur Tinular), kurang pas. Pasalnya, dia anggota pasukan agresor yang menghancurkan Troya.
Menurut pelajaran moral yang aku lahap sejak masih balita, apapun dalihnya, agresi itu tidak tepat. Katanya, merampas hak azasi manusia atau bangsa. Sejak SD aku selalu mendengar cerita ngeri tentang agresi Belanda atau Jepang ke tanah air, yang berakhir buruk dan serba sengsara.
Mindsetku tentang agresi sudah terbentuk sejak aku masih gemar main gundu dan layangan. Dengan perhitungan itu, aku seharusnya tidak memihak Achilles.
Mau memihak laskar Troya, di mana ada Hector dan Paris di situ, kok ya rasanya juga kurang pas. Memang, Troya digambarkan sebagai objek yang diserang dan diluluhlantakkan. Tokohnya digambarkan serba sayu dan melankolis. Seperti antagonis dalah sinetron yang harus dikasihani.
Tapi, tunggu dulu, Troya diserang Sparta bukan karena negara itu korban an sich yang harus dikasihani, seperti Shiren Sungkar atau Nikita Willy yang kerap jadi protagonisnya sinetron. Troya diserang karena kesalahan fatal Paris, adik Hector pangeran Troya.
Paris itu ngawur. Awalnya dia dan Hector bertandang ke Sparta untuk perjanjian damai. Dia ditemui Minelaus, adik Argamemon. Nah, pas pulang, Paris membawa oleh-oleh terlarang. Helen, istri Minelaus, dia gondol. Kurang ajar kan? Emang.
Kalau aku Minelaus, mungkin aku akan akan melakukan hal yang sama. Peduli mbahe setan sama gencatan senjata. Kok enak saja istri orang dibawa minggat.
Karena ngawurnya Paris itu, tak salah Troya akhirnya dibombardir Minelaus, yang pengen istrinya balik. Minelaus dibantu Argamemon, kakaknya, yang punya 50.000 tentara. Dari sudut pandang moral, apa yang dilakukan Paris ya jelas ndak bener. Apapun alasannya, termasuk cinta (konsep yang luar biasa mbulet itu) sekali pun, bawa kabur istri orang jelas salah. Ada-ada saja si Paris.
Terus, aku harus berpihak pada siapa? Nah, soal keberpihakan ini, tiba-tiba aku teringat wejangan seorang teman; “Pada akhirnya Troya menggambarkan utuh sebuah cerita, bukan tokoh.”
Ok, aku mengamini itu, dan aku simak Troya sebagai sebuah kisah utuh berisi gado-gado kepentingan. Aku memutuskan tidak berpihak.
Aku ikuti alur cerita dengan gaya netral. Ternyata benar, lebih enak. Lebih faham bahwa hidup itu kompleks dan sarat kepentingan. Karena itulah, pelik untuk menentukan keberpihakan. Tolok ukurnya, kepentingan itu. Troy banyak menggambarkan keterpentingan (sengaja nggak milih kata “kepentingan”, bebas dong, kan nulis awur-awuran).
***
KISAH epik Troya itu memparadekan banyak misi dan banyak cara meraihnya. Tapi itulah hidup, kepentingan selalu ada di dalamnya –kata Thomas Hobbes si filsuf Inggris itu. Manusia digerakkan nafsu, dan itulah yang melandasi kepentingan. Karena kepentingan itulah manusia bergerak.Si Paris nafsu sama Helen, istri Minelaus yang semlohai. Karena itu, dia membawanya buat oleh-oleh pulang kampung –kayak ukir-ukiran dari Bali. Dari sudut pandang moral dan hukum kepemilikan, jelas kelakuan Paris ndak bener. Tapi, dari kacamata cinta? Itu bisa benar. Karena love is blind, cinta itu picek, nggak peduli istri orang diembat juga. Lha wong Helennya sendiri ho-oh saja kok.
Minelaus yang cemut-cemut kehilangan istri, ingin istrinya balik. Untuk itu, dia minta bantuan Argamemon untuk menyerang Troya, sembari membawa pulang lagi istrinya (atau malah sebaliknya; membawa balik istrinya sembari menyerang Troya). Dari aspek hubungan diplomatik “yang harmonis”, Minelaus dan Argamemon itu salah. Mereka menyerang kedaulatan sebuah bangsa. Tapi, kalau dengan dalil hak milik? Minelaus benar, karena dia ingin membawa pulang haknya yang dibawa kabur.
Sementara yang dilakukan Argamemon, yang demi rasa cinta pada adik, membantu Minaleus tapi memboyong 50.000 pasukan? Dari kacamata rasa hormat menghormati antarbangsa, itu salah. Dia melakukan agresi. Tapi dari rumus kekuasaan, di mana Argamemon juga punya ”misi lain” dalam pertempuran itu, yang ingin memperluas kekuasaannya? Kata Nicollo Machiavelli sih, itu benar. “Segala hasrat dan upaya untuk meraih kekuasaan itu tidak berdosa,” kata pencetus ide Italia bersatu itu.
Untuk Hector, sebagai kakak Paris sekaligus pangeran Troya, kalau pasal yang digunakannya membela kedaulatan keluarga dan bangsa dengan melindungi adiknya yang bawa kabur istri orang –sekaligus otomatis melindungi negara yang diserang– itu benar. Dia membela habis-habisan sampai tumpas di tangan Achilles. Tapi dari sudut pandang etika? Ya kurang tepat. Wong orang bawa lari istri orang dibelain.
Achilles? Kalau melihat kesetiaannya terhadap tanah air, atau semangat bela bangsa, Achilles sebagai prajurit Sparta benar dengan berdiri di belakang Argamemon. Tapi dari sisi agresi, lagi-lagi, apa yang dilakukannya tidak tepat.
Karena itulah, bingung menentukan benar-salah. Mbulet. Tak jelas mana benar dan mana salah. Tak ada benar-salah, karena itu relatif. Yah, makanya, untuk menyimak Troya, aku mengamini apa yang dikatakan mbahnya filsuf Yunani itu.
***
DUNIA itu memang kompleks dan sarat kepentingan. Benar salah itu serba sumir, bedanya cuma sebulu ketek. Tuipis. Dan, gara-gara benar salah itu juga sering tabrakan, eyel-eyelan. Bahkan, di taraf paling ekstrim, bisa bacokan!Soal Hambalang, siapa salah? Salah dari sudut mana dulu? Politis? Ya ndak bisa. Dari sisi itu mungkin benar. Karena upaya kumpul-kumpul duit itu bisa jadi salah satu cara untuk meraih kekuasan. Kalau cari duit dengan cara “bener” kurang cukup, ya cari dengan cara ndak bener, asal kuorum. Dari mata hukum, ya salah. Bukan haknya kok diembat.
Lalu, dalam lakon Hambalang dan ontran-ontran Demokrat, kita harus jadi bolonya siapa? Anas, Cikeas, atau KPK? Ya kalau menurutku, nggak usah bolo-boloan. Biarkanlah lakon itu menjadi sebuah cerita yang utuh.
Tarik ulur kepentingan dalam Troya itu bukan cuma dongeng, tapi benar-benar nyata. Ada di sekitar kita. Dan membuat kita, mau tak mau, harus “ngeh”, kalau benar dan salah itu tak bisa dipaksakan.(*)