Senin, 04 Maret 2013

Beranda » » Kisah Raja Zalim Pembuat Parit (1)

Kisah Raja Zalim Pembuat Parit (1)


Gurun pasir di Mesir "Galilah parit-parit besar dan nyalakan api didalamnya! Siapa saja yang enggan keluar dari keyakinannya menyembah Allah, bakarlah hidup-hidup di dalam parit itu!" ujar sang raja geram. Ia merupakan raja pemimpin Bani Israil.

Namun kala itu Bani Israil bukan lagi para hamba Allah seperti di masa nabi Musa. Mereka diliputi kekafiran dan kemaksiatan, serta melakukan perbuatan keji yang dimurkai Allah. Lupa sudah ajaran nabiyullah Musa dan peringatan Taurat.

Hingga kemudian hiduplah seorang raja yang memimpin mereka, seorang raja yang kafir nan kejam. Raja itu menganggap dirinya sebagai Tuhan dan geram jika warganya menyembah selainnya.

Kisah bermula ketika sang raja mengutus seorang pemuda untuk mempelajari sihir. Kala itu tukang sihir kerajaan telah berusia sepuh. Dialah yang meminta raja merekrut sang pemuda untuk menggantikan dirinya bertugas menjadi "penasihat" kerajaan.

"Sungguh saya telah tua, maka carilah seorang pemuda yang akan saya ajarkan sihir," pinta si tukang sihir pada raja. Raja pun menyanggupi dan segera menugaskan pemuda belia untuk belajar sihir pada tukang sihir tersebut.

Maka berangkatlah si pemuda menuju kediaman tukang sihir untuk segera mendapatkan ilmu-ilmu hitam darinya. Namun ditengah jalan, ia justru bertemu seorang Rahib Yahudi yang beriman dan bertakwa pada Allah. Sang rahib tengah memberikan pelajaran agama dalam sebuah perkumpulan kecil.

Di tengah kacau balaunya agama bani Israil, masih hidup rahib yang terus mengagungkan asma Allah. Si pemuda pun tertarik padanya. Bukan melanjutkan perjalanan, ia justru memilih duduk dalam majelis si rahib.

Setelah pelajaran sang rahib usai, barulah si pemuda melanjutkan perjalanannya. Begitu tiba di tempat si tukang sihir, tentu si pemuda mendapat murka penyihir. Apalagi setelah mengatakan hal yang membuatnya terlambat yakni majelis sang rahib.

Mendengarnya, si tukang sihir langsung memukul si pemuda. Sekembalinya dari rumah penyihir, pemuda itu pun mengadu hal yang menimpa dirinya pada sang rahib. Lalu sang rahib pun menasihatinya untuk tak lagi menemui tukang sihir.

"Jika kau takut pada tukang sihir, maka katakanlah padanya bahwa kau tak bisa pergi menemuinya karena ditahan oleh keluargamu. Jika kau takut pada keluargamu, maka katakan pada mereka bahwa kau ditahan oleh tukang sihir itu," nasihat si rahib. Kebimbangan pun kemudian melanda si pemuda.

Ia bukanlah seorang yang shalih namun bukan pula seorang pelaku maksiat. Ia tak bisa memutuskan apakah harus menuruti kata rahib ataukah mematuhi tukang sihir. Sementara ia merupakan utusan kepercayaan raja sang penguasa negeri. Meski ia lebih percaya pada rahib, namun keputusan tersebut tentu bukanlah perkara mudah.

Afriza Hanifa
Redaktur : Heri Ruslan