Sabtu, 09 Maret 2013

Beranda » » Putroe Neng; Panglima bajak laut perempuan dari China

Putroe Neng; Panglima bajak laut perempuan dari China


Makam Putroe Neng.@zulkifli anwar

Meskipun cantik, ia terkenal sebagai pimpinan bajak laut yang kejam dan bengis.

 Di pinggiran jalan Medan-Banda Aceh, tepatnya di Desa Blang Pulo, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe terdapat sebuah  komplek pemakaman.
Sekilas tidak ada yang mencolok dari keberadaan pemakaman itu kecuali sebuah pamplet yang terpampang di depannya bertuliskan “Komplek Perkuburan Putroe Neng”.
Hampir setengah dari keliling balik pagar terdapat tambak yang tidak terpakai, bahkan mungkin lebih pantas jika disebut rawa-rawa.
Di depan makam terdapat pamplet lainnya yang bertuliskan “Dipugar tahun 1978 Dengan Dana APBN – Dipugar tahun 2004 Dengan Dana APBD”. Sebuah tulisan yang menunjukkan bahwa makam itu telah diakui Pemda Aceh Utara sebagai makam bersejarah.
Meski letaknya berada di tepi jalan negara banyak masyarakat luar Kota Lhokseumawe yang tidak mengetahui secara pasti siapa yang dimakamkan di komplek tersebut. Bahkan warga sekitar saja terkesan tidak peduli.
Itu terbukti dari tidak terurusnya lingkungan sekeliling makam. Belum lagi, sering terciumnya bau bangkai yang begitu menusuk hidung. Membuat kaki enggan melangkah secara dekat.
Bagi masyarakat pedesaan, sejarah Putroe Neng dipercaya ada walaupun yang mereka tahu hanyalah bersifat legenda dan dikisahkan secara regenerasi dari nenek moyang.
Sebenarnya perjalanan hidup sesosok wanita yang tubuhnya kini bersemayan di balik makam bercat putih yang telah kusam itu sangat menarik untuk diketahui.
Meski ia bukanlah bangsawan atau putri raja. Tapi kecantikan, keberanian dan kekejamannya saat masih menjadi panglima perang wanita bajak laut dalam menyerang beberapa kerajaan yang ada di Aceh masa lampau, sangatlah patut disimak.
Asal Usul
Dalam bandingannya pada Seminar Pekan Kebudayaan Aceh II, 21 - 25 Agustus 1972, M Junus Djamil, menjelaskan tentang sejarah keberadaan Kejaraan Lamuri yang tertuang dalam Hikayat Raja Masah, Hikayat Syiah Hudan (Tgk Lam Peuneu’euen), riwayat asal usul sukee lhee reutoh, riwayat Putroe Neng (Raja Seudue), serta hasil penelitian Ceng Oi dari Cina pada tahun 1919.
Dikisahkan, kerajaan Islam Jaya didirikan oleh para pengungsi dari Kerajaan Indra Jaya, sebuah kerajaan yang berpusat di Bandar Paton Bie (Seudu).
Alasan mereka mengungsi ke tanah datar nan subur di sebelah Gunung Geurutee saat itu untuk menghindari serangan angkatan laut Negeri Cina yang menyerang negeri mereka. Di tempat itu mereka bercocok tanam palawija jenis pala dan merica.
Tidak lama berselang, datang serombongan Mubaligh dibawah pimpinan Meurah Pupok Teungku Sagop. Mereka berhasil mengembangkan Islam dan Rajanya pun ikut menganut agama Islam.
Akhirnya Meurah Pupok sendiri diangkat menjadi Raja Negeri tersebut, dengan kerajaannya yang bernama Kerajaan Islam Jaya. Diantara raja yang terkenal namanya dari keturunan Meurah Pupok adalah Meureuhhom Onga (Almarhum Onga).
Setelah Raja Onga mangkat, Kerajaan Islam Jaya mengalami kemunduran dan kekacauan, akhirnya datanglah Raja Inayat Syah dan Puteranya Riayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Putera mahkota Riayat Syah diangkat menjadi Raja dari Kerajaan Islam Jaya dan digelar Sulthan Salathin Riayat Syah. Sementara ayahnya, Sulthan Inayat Syah tetap memerintah Kerajaan Aceh Darussalam 885–895 H (1480–1490 M).
Namun pada masa kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh Syamsu Syah (902–916 H /1497–1511 M), terjadilah konflik (sengketa) dengan Kerajaan Islam Jaya. Setelah waktu yang cukup lama, akhirnya mereka kembali berdamai dengan perjanjian Sulthan Syamsu Syah yang bernama Raja muda Ali Mughayat Syah mengawini Puteri Raja Jaya yang bernama Putri Hur.
Pada tanggal 7 Rajab 913 H (12 November 1508) Sulthan Salathin Syah mangkat dan dikenal dengan Meuhom Jaya.
Disebutkan, Lamuri merupakan sebutan orang-orang luar terhadap Lam Oeriet, Bandar kerjaan Indra Purba, yang raja-rajanya berasal dari Dinasti Djahir Dauliy dan merupakan salah seorang yang termasuk dalam raja Kerajaan Aceh dari sukee imum peut.
Pada tahun 414 H/1024 M Lamuri diserang oleh Raja Raendra Cola Mandala dari India. Menghadapi serangan itu, Lamuri membuat pertahanan di Mampreh. Penduduk negeri itu diungsikan ke Gle Wueng. Serangan Raja Raendra itu pun dapat dipatahkan. Riwayat perang tersebut disusun dalam Hikayat Prang Raja Kula.
Dalam hikayat itu disebutkan, setelah perang terjadilah pepecahan akibat sebagian wilayah direbut, seperti Indra Jaya/Kerajaan Seudu yang diserang oleh armada Cina pimpinan Liang Khie dengan Laksamana O Nga.
Beberapa generasi Liang Khi telah menguasai Negeri Seudu/Panton Bie (Cantoli),  Dalam perjalanan sejarahnya selama ribuan tahun itu kerajaan Indra Purba telah banyak mengalami kemunduran akibat diserang oleh agressor dari luar, seperti serangan dari Sriwijaya, Gola, China, dan Portugis.
Prajurit China yang telah menduduki kerajaan Indra Jaya, menyerang kerajaan indra purba yang diperintahkan oleh Maharaja Indera Sakti
Kebetulan pada saat itu Kerajaan Lamuri kedatangan gerombolan bajak laut Cina yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Nian Nio Lian Khi. Meskipun cantik, ia terkenal sebagai pimpinan bajak laut yang kejam dan bengis. Seluruh anak buahnya memiliki ilmu bela diri yang sangat tinggi.
Kedatangan ratu bajak laut tersebut ke Kerajaan Lamuri, tidak lain ingin menjadikan kerajaan itu sebagai negeri taklukan. Penolakan dari Baginda Raja Lamuri mengakibatkan perang tidak dapat dihindari.
Menghadapi bajak laut yang sudah berpengalaman, tentara kerajaan terdesak hebat. Secara kebetulan pada masa itu datang rombongan Syeh Abdullah Kan’an yang dikenal sebagai Teungku Lampeuneuen atau Syiah Hudan, yang membawa ajaran Islam ke daerah tersebut.
Ia berangkat ke sana bersama rombongannya sekitar 300 orang dari Bayeuen, Peureulak. Rombongan yang dibawanya merupakan murid-murid dari Dayah Cot Kala.
Atas izin Maharaja Indra Sakti, rombongan mubaligh itu menetap di daerah Mampreh. Rombongan inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan sukee lhee reutoh. Suatu ketika Syiah Hudan menawarkan bentuannya kepada Maharaja Indra Sakti untuk menangkis serangan Putroe Neng.
Tawaran itu diterima Raja Indra Sakti, hingga akhirnya kelompok Syiah Hudan pun berperang dengan pasukan Liang Khi yang dimenangi oleh Syiah Hudan. Setelah kekalahannya, ratu bajak laut itu pun berdamai dengan Syiah Hudan dan memutuskan memeluk agama Islam. Begitu juga dengan raja dan pasukannya.
Setelah membaca ulasan singkat beberapa Kerajan Aceh masa silam, maka kita dapat menyimpulkan bahwa ‘Putroe Neng’ merupakan Panglima Perang Bajak Laut Wanita asal negeri Cina yang bernama Nian Nio Lian Khi, yang kemudian memeluk Islam dan berganti nama menjadi Putroe Neng.[](bna)