Aku matikan computer karena punggung sudah tarasa pegal. Aku beranjak menuju dapur dan mengambil roti kering di kulkas. Sambil ngemil aku meraih sebuah buku filsafat dan membacanya. Tertangkap bab yang membahas era abad pertengahan di eropa. Istilah abad pertengahan muncul di era renaisans (kebangkitan kembali), dan istilah tersebut dilabelkan oleh kaum renaisans untuk membedakan dengan era mereka. Istilah yang digunakan dengan tendensi untuk meledek era sebelumnya. Abad pertengahan artinya, era di tengah antara era Yunani kuno dan Romawi dengan era mereka renaisans. Istilah ini sama dengan definisi era Orla (orde lama) dan Orba (orde baru). Sebuah era yang mengatakan buruk era sebelumnya, dan mengagungkan era kini yang dijalani. Sekarangpun era Orba telah berlalu dan dikecam oleh era kini, era reformasi. Pertanyaan filosofisnya, apakah benar era yang kita kecam hanya menghamparkan keburukan, dan era kini era yang sepenuhnya bertabur kebaikan? Metode berfikir ala pengajaran Pak Zubair tentang etika bisa digunakan rupanya. Semua era mempunyai tendensi sendiri-sendiri dan cenderung menyudutkan era sebelumnya. Karena keberadaan era sekarang berdiri di atas perlawanannya dengan era sebelumnya. Hanya sebuah eksistensi seringkali manusia sibuk membangun klaim kebenaran terhadap eranya dan dan sibuk membangun klaim keburukan era sebelumnya. Apakah kebaikan dan keburukan itu sejatinya berada pada semua era, seperti mata koin yang saling melekat; keburukan dan kebaikan?
Renaisans melabelkan era sebelumnya dengan abad pertengahan sebuah abad kegelapan eropa, era gereja berkuasa pada semua lini kehidupan; hak individu dirampas, ilmu pengetahuan dicampakkan dan eropa dalam kekalahan politik, filsafat dan budaya. Eropa dalam keterpurukan dalam keterkungan gereja yang pongah. Sekelompok filosof, seniman, sastrawan menggeliat setelah mengambil kembali filsafat Yunani kuno melalui dunia Islam yang merambah Spanyol. Geliat itu semakin besar dan berwujud pembangkangan intelektual atas dominasi gereja. Gelombang ini mereka namakan renaisans (kebangkitan kembali) dengan mengambil spirit filsafat Yunani kuno dan kejayaan politik dan hukum Romawi. Renaisans berani membongkar dominasi gereja dan memisahkan dari negara. Renaisans berpesta pora dengan meluapkan kebebasan yang begitu mahal di era abad pertengahan; melahirkan seni yang selama ini dianggapnya tabu (melukis perempuan telanjang), membuang Tuhan (agama) yang menghambat ilmu pengetahuan.
Renaisans identik dengan kebebasan; individu, ilmiah-budaya dan politik. Kebebasan individu melahirkan HAM, kebebasan ilmiah melahirkan metoda ilmiah rasionalisme-positivisme, kebebasan atas gereja melahirkan system demokrasi politik. Nilai-nilai tersebut digali dari spirit filsafat Yunani kuno yang mereka ambil kembali dari Islam, bahkan pemikir mereka juga mendalami prinsip persamaan di dalam masyarakat Madinah yang diajarkan Muhammad. Keberhasilan imperium Islam merebut konstantinopel (Romawi di Timur) telah menyita perhatian mereka dengan kekaguman pada peradaban Islam. Gairah yang luar biasa di era renaisans akhirnya membuahkan capaian-capaian brilian eropa dalam abad-abad berikutnya. Sayangnya, eropa melupakan (atau sengaja melupakan) jasa Islam yang menjadi pelindung filsafat Yunani yang pernah dicampakkannya –apalagi menghargai prinsip-prinsip persamaan dalam Islam yang menjadi spirit renaisans–. Mereka hanya menulisnya; renaisans eropa berdasarkan spirit Filsafat Yunani dan kejayaan Romawi. Aku pikir inilah ketidak jujuran Barat tentang sejarah yang mereka lalui sebagai bangsa. Ada peran dunia Islam melindungi warisan Yunani kuno (karena faktanya intelektual renaisans mengambilnya dari intelektual Islam di Cardova Spanyol), dan teinspirasi prinsip persamaan dalam ajaran Islam. Meskipun kegairahan yang luar bisa renaisans eropa menghantarkan pada pengembangan filsafat dan sains menjadi teknologi melebihi pengembangan filsafat dan sains di dunia Islam. Selanjutnya eropa menjadi peradaban unggul dan mengusai dunia pada level melebihi peradaban manapun yang pernah ada di muka bumi. Saat filsafat dan sains melangkah ke taraf teknologi, dengan beragam penemuan di semua aspek kehidupan. Lahirlah era revolusi hijau, revolusi industry, dan berujung kolonialisme dan imperialism. Inilah Era modern dengan eropa-amerika yang digdaya. Modernisme pun kini mengalami krisis dan mulai digugat oleh para pemikir dengan menamakan diri post modernism. Sekarang ini di kampus sering diadakan diskusi filsafat dengan tema post modernism; makhluk apakah itu? Yang mengemuka adalah metode dekontruksinya (pembongkaran) akan nalar-nalar modernism. Namun aku pandang post modernism tidak sekokoh renaisans sebagai anti tesa abad pertengahan. Post modernisme baru sebatas kegalauan atas konsekuensi negative dari modernism, belum menemukan idea tangguh menggantikan modernism.
Bagaimana dengan dunia Islam yang masih berusaha mengejar modernisme eropa-amerika (masih dalam tahap meniru) apakah relevan mendiskusikan post modernisme sebagai masalah-masalah dirinya? Ataukah tawaran Anita dengan khilafah merupakan respon atas modernism eropa yang dianggapnya gagal (sesat) yang diterapkan di masyarakat muslim? Inilah era kegalauan umat manusia di abad 21; di barat telah menggulirkan post modernism di tengah negeri-negeri muslim sedang mengejar modernism barat, dan sebagian kelompok Islam yang ingin kembali pada masa lalu Islam secara mentah-mentah. Dan negeri ini sedang mendefinisikan diri berada dalam era reformasi; meninggalkan politik ideology dan militerisme kepada negeri demokrasi yang terbuka. Agaknya kembali kepada pemikiran dasar; kebaikan dan keburukan selalu menyertai pada setiap era seperti mata koin yang saling menempel –tepat untuk dijadikan prinsip perenungan.
Aku baringkan badan meluruhkan rasa lelah. Aku teringat dokter Wahidin Sudiro Husodo penggagas berdirinya Boedi Oetomo organisasi pertama oleh anak-anak Stovia. Dokter Wahidin mempunyai anggapan kuat tentang keruntuhan nusantara (Jawa) setelah datangnya Islam. Ia menyakini nusantara mempunyai sejarah gemilang sebagai Negara yang kokoh dan berperadaban unggul, yaitu Majapahit. Bahkan wilayah Majapahit melebihi wilayah Indonesia kini, seluruh Asia Tenggara plus Papua Nugini berada dalam wilayahnya. Sejarawan dunia telah merekam keperkasaan Majapahit sebagai Negara berdaulat tak tersentuh oleh kekuasaan di utara. Majapahit adalah Negara berdaulat yang benar-benar berdiri bersama kekuasaan lain di belahan bumi yang lain pula. Tak ada kekuasaan asing yang mampu menaklukkan atau intervensi pada peemerinthan Majapahit. Dokter Wahidin menyakini kebesaran Majapahit dijiwai oleh spirit agama Hindu dan Bhuda. Lantas datanglah orang Islam menyebarkan agamanya dan runtuhlah kerajaan besar itu digantikan Demak sebagai kerajaan Islam.
Dokter Wahidin menuding Islam adalah penyebab keruntuhan Majapahit dengan bersusah payah mencita-citakan sebuah kerajaan Islam sendiri. Memang orang Islam mampu mendirikan Demak dan meruntuhkan Majapahit tetapi kebesaran yang pernah diraih Majapahit membangun kekuatan nusantara takkan pernah diraih Demak dan kerajaan setelahnya. Sejak itulah Nusantara (Jawa) terpuruk ke dasar peradaban umat manusia, menjadi bangsa terhina di bawah bangsa lain (kulit putih). Dokter Wahidin mengambil kesimpulan, kebudayaan Jawa akan harus bangkit kembali menyongsong kemajuan, dan resepnya adalah dengan mengambil ilmu dari kulit putih. Dokter Wahidin tak lelah memperjuangkan keyakinannya dengan berkeliling Jawa menyampaikan pada semua bupati. Ia mengatakan, “bangsa Jawa pernah besar dengan Majapahit, kita mempunyai tanggungjawab menegakkan kembali agar harga diri bangsa kembali pulih sejajar dengan bangsa kulit putih. Caranya dengan sungguh-sungguh mendidik rakyat mengenal ilmu Belanda. Dirikanlah sekolah-sekolah untuk rakyat anda, dan bergabunglah dalam sebuah organisasi modern sebagai ciri perjuangan baru.”
Dokter Wahidin adalah tipe intelektual yang gigih memperjuangkan ide-idenya. Ia berkeliling Jawa mendatangi bupati dan orang-orang berpengaruh untuk mendengarkan idenya. Tak sedikit yang melecehkan dan banyak bupati yang mengusirnya. Ia tetap gigih melakukan perjalanan dengan kereta apai kelas rendah dengan tak henti berkotbah tentang cara baru mengangkat derajat bangsa Jawa. Dalam banyak kegagalan dan dilecehkan para priyayi Jawa yang berkuasa, akhirnya ia mendapatkan sambutan dari mahasiswa Stovia (sekolah kedokteran Belanda yang diikuti para priyayi rendahan). Priyayi Stovia ini calon dokter yang akan bekerja pada rumah sakit Belanda karena mewabahnya penyakit kulit di Hindia Belanda. Sedangkan priyayi tinggi akan dipersiapkan menjadi bupati atau pejabat pemerintahan Belanda. Dr Soetomo yang ditulis Pramudya sebagai dokter yang lebih sibuk pacaran (dan memang beristeri noni Belanda) mendengarkan suntikan dokter Wahidin akhirnya mendirikan sebuah organisasi Boudi Oetomo di ruang kelas Stovia.
Aku bernafas dan merenungi pemikiran Dokter Wahidin. Kurasa Dokter Wahidin melupakan bahwa Islam telah menjadi bagian inti dari kerajaan Majapahit, artinya Islam juga terlibat dalam membangun kebesaran Majapahit. Adanya makam Islam Troloyo di Trowulan (Kota Raja), yang di dalamnya makam Syekh Jumadil Kubro ulama cikal-bakal Wali Songo adalah bukti nyata bahwa Majapahit memberikan tempat yang mulia bagi Islam, dan sebaliknya muslim adalah bagian dari kebesaran Majapahit. Aku kurang sepakat dengan pendapat Dokter Wahidin yang menghadap-hadapkan Majapahit dengan Islam, justru ada simbiosis mutualisme antara keduanya. Sunan Ampel pendiri pesantren pertama di Nusantara sangat loyal pada esksitensi Majapahit –ampel denta pun merupakan hadiah dari kerajaan untuk digunakan sebagai pusat pengajaran Islam–. Kupikir Majapahit adalah monarchi yang memberikan kebebasan rakyatnya untuk memeluk agama manapun, termasuk Islam. Dengan semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ (berbeda-beda tetapi tetap satu jua) –berbeda-beda dalam agama namun tetap dalam persatuan Majapahit–. Di dalam paham Jawa dikenal falsafah, “manunggaling kawula gusti’ (bersatunya rakyat dan raja). Tentulah sangat sulit bagi Islam berkembang tanpa restu (fasilitas) dari kerajaan, karena rakyat akan memandang titah kerajaan. Jika Islam berhadapan dengan Majapahit hampir dipastikan akan mengalami kesulitan tumbuh dan berkembang. Kehadiran Syekh Jumadil Kubro dalam lingkaran inti kerajaan Majapahit sangat menguatkan tesis ini. Dari sini, kupikir Islam wajib berterimakasih kepada Majapahit sebagai kerajaan yang menganut paham keberagaman dalam beragama. Saat Islam sekarang menjadi agama mayoritas dengan negara yang terbuka kini, tidaklah boleh melupakan sejarah ini. Muslim harus memberikan ruang yang terbuka untuk semua agama tumbuh memberikan yang terbaik bagi republik ini. Karena begitulah dulu Islam dalam pangkuan Majapahit sebuah kerajaan yang perkasa di nusantara.
Mengenai kemerosotan dan akhirnya tumbangnya kerajaan Majapahit terlalu sempit jika ditudingkan pada Islam. Dokter Wahidin perlu membaca ulang sejarah kekuasaan dan peradaban di dunia; bagaimana sebuah kekuasaan merosot. Politik kekuasaan mempunyai hukum besi sendiri (perebutan tanpa henti diantara elite kerajaan), kemiskinan yang merajalela karena pungutan pajak yang besar akibat biaya perang saudara, munculnya korupsi yang akut, ketidak adilan yang kasat mata, dan bergeraknya kaum pemberontak dari banyak kelompok; semua itu adalah penyebab sah merosotnya kekuasaan. Jika keadaan demikian tak dapat diatasi sebuah negara maka lambat atau cepat akan digulung sejarah. Itu yang terjadi pada Majapahit, Arab-Islam, Romawi, Yunani, Persia, dan seterusnya. Munculnya Demak hanyalah konsekuensi sejarah belaka dari semakin besarnya penganut agama Islam di Jawa yang termanifes menjadi kekuatan politik dan siap tampil kala Majapahit runtuh. Dan tidak lama Demak berdiri kulit putih datang dengan senapan mesin, kapal dan buku (hasil modernism renaisans) mengkoloni nusantara tanpa ampun, tanpa kita bisa melawannya. Kulit putih membawa senjata baru yang belum dikenal nusantara, membawa buku yang belum pernah dibaca nusantara, dan pastinya membawa kerakusan yang menghisap mereka menjadi terhina ratusan tahun. Namun Dokter Wahidin betul saat menyarankan orang Jawa agar belajar membaca buku yang dibaca Belanda.