Selasa, 05 Maret 2013

Beranda » » Jejak Saddam Husein di Inggris

Jejak Saddam Husein di Inggris

13624017832083695330
www.search.digitalhandsworth.org.uk
Seperti pernah saya janjikan, kali ini biarlah tulisan ini akan menceritakan seputar masjid yang terletak kira-kira satu kilo dari rumah kontrakan ke arah pusat kota. Masjid itu bernama “Birmingham Jame Masjid”. Terletak di ujung jalan Trinity, bangunan batu bata merah ini dulunya adalah sebuah paroki dan posisinya tepat berhadapan dengan Trinity Church, sebuah gereja dengan arsitektur klasik, khas gereja-gereja Inggris. Kini, bekas rumah ibadah umat Katolik ini sudah berganti “topi”, sebuah kubah berwarna keemasan yang terlihat cukup megah.
Yang menarik, orang-orang lebih mengenalnya dengan nama Masjid Saddam Hussein, karena namanya semula memang demikian. Tahun 1988, masjid ini diresmikan oleh presiden Irak yang waktu itu masih menjadi sekutu Inggris. Masjid itu dinamai sesuai nama presiden berkumis tebal ini, karena ia menjadi penyumbang terbesar, yaitu £ 2 juta (kira-kira 28 miliar rupiah kurs sekarang). Ndahneo, kata orang Jawa Timur, uang sejumlah itu digunakan untuk membangun masjid di Indonesia? Atau untuk yang lain - misalnya untuk mendirikan sekolah atau yang lain? Kata Kiyai Yasin Pasuruan (almarhum), uang sejumlah itu jika digunakan untuk membeli buah juwet, sepulau Jawa bisa hitam semua.
Ketika pertama kali shalat Jumat di masjid ini, saya cukup heran melihat tahun peresmian masjid dikaitkan dengan kondisi masjid saat ini. Dari sisi arsitektural, masjid ini memang tidak megah-megah amat, kalah jauh dibandingkan kemegahan masjid Sunda Kelapa Jakarta yang bersejarah itu. Tetapi melihat kondisinya, masjid ini tampak berdiri kokoh. Barbagai sudut menampakkan bahan utama bangunan ini yang terdiri dari granit dan masih mulus mengkilap. Tampaknya sumbangan besar Saddam telah dirupakan pada bahan yang sangat berkualitas.
Ketika Saddam Hussein melakukan aneksasi ke Kuwait pada 1991, masjid ini mendapat teror dari warga setempat (BBC News menyebutkan sekelompok . Maklum saja, Saddam Husein yang semula dianggap sahabat pemerintah Inggris, berubah menjadi orang yang dibenci oleh Inggris. Mempertimbangkan dampak sosial akibat krisis di Timur Tengah, para pinisepuh masjid kemudian bersepakat untuk mengganti namanya seperti yang sudah saya sebut di atas.
Dalam hal inilah, tampaknya masjid yang mempersatukan muslim mayoritas dari Gujareti, Pakistan, Bangladesh, belakangan Irak, Somalia dan juga Bosnia ini, menempati titik sentral dialektika muslim Inggris secara sosial, politik dan budaya dengan masyarakat Barat. Dari sisi politik misalnya. Sebesar apapun sumbangan Saddam Hussein, jika saja wanita “bertangan besi” Margaret Thatcher yang saat itu menjadi perdana menteri kerajaan, tidak memberikan izin, maka bangunan ini masihlah sebuah paroki. Tetapi Inggris butuh Irak untuk menundukkan Iran yang saat itu (dan sampai kini) merupakan simbol perlawanan terhadap Barat (kita ingat waktu itu, perang Irak-Iran hampir selalu masuk dalam siaran Dunia Dalam Berita-nya TVRI kita). Selain itu, besarnya populasi muslim yang tersebar di kota-kota besar Inggris, menjadi alasan yang kuat bagi Saddam untuk memberi dana sumbangan guna menarik simpati Barat agar mendukung kekuasaannya.
Namun sayang, posisi sentral populasi muslim ini -dengan berdirinya masjid sebagai simbolnya- kurang benar-benar dimanfaatkan oleh umat Islam itu sendiri. Istri saya memperoleh informasi dari seorang muslimah mesir yang sudah berpuluh tahun menetap di negeri ini. Menurut Wafa, demikian namanya, dulu umat Islam masih mempunyai pengaruh cukup kuat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Sayangnya, belakangan, dengan berkurangnya intensitas dakwah, pemerintah Inggris yang sebenarnya cukup terbuka, justru mulai membatasi aspirasi-aspirasi kalangan umat Islam terhadap kebijakan pemerintah.
Dari sisi sosial budaya, masjid Saddam Hussein ini, agaknya mewakili banyak masjid di kota-kota Inggris yang menetapkan Urdu sebagai bahasa utama khutbah-khutbahnya. Penggunaan Urdu ini, dilihat dari banyak sisi, bagaimanapun, merupakan suatu dialektika budaya, di mana para penggunanya ingin mempertahankan identitas budaya mereka. Di negeri leluhur budaya Barat yang liberal ini, mereka tidak ingin kehilangan “wajah asli”-nya yang disimbolkan dengan bahasa. Dengan bahasa inilah mereka mewariskan nilai-nilai kepada anak-cucunya yang bisa jadi tidak sama dengan nilai-nilai budaya setempat. Dengan bahasa ini pula mereka mengajarkan kepada para anak-cucunya bahwa mereka mempunyai sejarah yang berbeda dengan para pribumi.
Saya yang semula diam-diam selalu protes dalam hati atas penggunaan Urdu dalam khutbah Jumat, mulai dapat mengerti. Begitulah ikhwal jejak Saddam Hussein di sini. Selebihnya… wallahu a’lam.
Bragg Road 23.06-01.05.12

Muhammad Rozi