Selasa, 05 Maret 2013

Beranda » » Sejarah Bali 1914-1950-an (1): Dari Pariwisata Eksotis ke Nasional

Sejarah Bali 1914-1950-an (1): Dari Pariwisata Eksotis ke Nasional

13623837851689730659
Tari Kecak 1935 (Kredit Foto Colletie Tropen
Pada 1914 setelah Bali dianggap cukup damai, pemerintah Hindia Belanda menggantikan peran tentara kependudukan dengan petugas sipil. Pada waktu Bali sudah bisa dapat dicapai dari Surabaya dengan kapal . Begitu tiba di Bali pengunjung menyewa kuda atau kereta kuda untuk perjalanannya. Mereka dapat memakai pesanggrahan-pesanggarahan yang kosong yang disediakan untuk pejabat kolonial pada waktu mereka inspeksi keliling.
Infrastruktur perhubungan dibangun. Setidaknya pada 1917 jaringan jalan yang menghubungkan desa Pengastulan ke Tejakula melalui Paben, Buleleng dan Sangsit. Begitu juga sejumlah jembatan seperti di atas sungai menghubungkan jalan dari Singaraja ke Celukan Bawang. Pada tahun berikutnya sebuah jembatan yang melengkapi jalan dari Singaraja melalui Pupuan dan Tabanan ke Kota Denpasar. Pada 1926 Singaraja sebagai pusat pemerintahan mempunyai tiga jalur jaringan lalu lintas. Pertama jalan menuju Kubutambahan dan Kintamani menuju Denpasar sepanjang 118 Km. Kedua, jalur Singaraja, Bubunan dan Pupuan sepanjang 113 km dan ketiga melalui Danau Bratan hanya 78 km.
Pada 1924 wisatawan secara khusus datang ke Bali setelah dibuka suatu pelayaran mingguan antara Singapura, Batavia, Semarang, Surabaya singgah di Buleleng (Pelabuhan Singaraja) baru kemudian ke Makassar. Pemrakarsanya adalah KPM (maskapai pelayaran kerajaan) bersedia menerima penumpang di atas kapal-kapal . Sebelumnya kapal-kapal itu mengangkut kopra, kopi, sapid an terutama babi. Jalur pelayaran ini akhrinya bernama Bali Express.
Beberapa waktu kemudian perwakilan KPM di Singaraja diangkat sebagai wakil resmi Official Tourist Buerau di Bali. Berkat jasanya para pengunjung dapat menyewa taksi, lengkap dengan supir dan pramuwisata berbhasa Inggris. Mereka menyewakan kamar di pesanggarahan pilihannya. Sejak awal, KPM harus bersaing dengan sejumlah petualang. Sebut saja Jakob Minas, usahawan Armenia yang mengelola bioskop keliling, bekerjasama dengan Andre Roosevelt, seorang petualang Amerika wakil dari American Express dan Thomas Cook di Bali.
Data-data yang pertama dikeluarkan Official Tourist Bureau pada 1924 yang mencatat 213 pelancong yang datang ke Bali. Jumlah wisartawan terus meningkat secara teratur. Pada 1926 menurut Majalah Tourism in Netherlands East Indies edisi 8 Februari 1927 sebanyak 480 wisatawan mengunjungi Bali. Selama Januari 1927 terdapat 32 wisatawan yang sudah mengunjungi Bali untuk ke 18 kalinya pada periode yang sama .
Majalah itu juga menawarkan paket wisata termasuk akomodasi bagi mereka yang ingin menyaksikan upacara Ngaben di kawasan Karangasem Bali pada Mei 1927. Disebutkan peminat akan diangkut dengan kapal Swartbandt yang bertolak dari Surabaya. Sesampainya di Bali para wisatawan disediakan mobil dan menginap di pesanggarahan milik pemerintah.
Di antara para pelancong yang terkemuka antara lain Brigadir Jendral L.C.Koe dari Angkatan perang Inggris yang datang bersama istrinya ke Bali Januari 1927. Perwira tinggi itu mengunjungi Bali dalam rangkaian kunjungan ke Sumatera dan Jawa. Pada 1929 jumlah pelancong sudah mencapai 1428 orang. Jumlah wisatawan sempat merosot setelah terjadinya depresi ekonomi pada 1930.
Sejumlah pemilik hotel bermunculan pada 1920-an. Yang menarik muncul nama Princess Patimah, perempuan Bali yang namanya sering muncul dalam tulisan-tulisan perjalanan zaman itu. Dia kerap mengaku sebagai bekas istri Raja Klungkung. Berkat bisnis pariwista ia menjadi pengusaha pribumi paling kaya dan memiliki suatu armada taksi, usaha pertenunan dan perhiasan perak di Bratan, sebuah desa dekat Singaraja.
Pada 1928 KPM membuka Bali Hotel sebagai pengganti pesanggrahan di Denpasar. Lokasi yang menjadi tempat terjadinya Puputan pada 1906. Pesanggrahan Kintamani dibenahi, dikhususkan buat para wisatawan yang ingin menikmati pemandangan Danau Batur yang mempersona itu. Kawasan teluk Padang Baik di sebelah tenggara pulau ditata untuk menampung kapal pesiar. Pada akhir 1920-an frekuensi hubungan laut meningkat mencapai rata-rata empat kapal seminggunya.
Akses semakin terbuka setelah 1930. Pada 1933 dibuka jalur penerbangan Suraya dan Bali, disusul ada 1934 dibuka pelayaran bolak-balik Gilimanuk dan Banyuwangi. Sejak 1934 jumlah wisatawan per tahun mencapai 3000 orang. Kemampuan akomodasi perhotelan di Bali sebelum Perang Dunia ke II adalah 78 kamar dobel (48 kamar di Bali Hotel, 16 kamar di Satrya Hotel milik keturunan Tionghoa yang dibangunawal 1930-an di Denpasar dan 6 kamar di KPM Bungalow Hotel di Kintamani. Terdapat juga 8 pesanggarahan pulau dan berapa bnungalow yang dikelola orang Amerika di Kuta.
Para wisatawan umumnya menumpang kapal pesiar yang berlabuh di Padang Bai selama satu atau dua hari. Ada yang datang dari kapal KPM yang berlabuh di lepas pantai Buleleng. Para wisatawan dari Amerika Utara dan Eropa tiba di Bali setelah menyeberangi Samudera Pasifik atau eenelusuri pantai-pantai Asia sesuai dengan rutenya. Mereka menganggap Bali adalah ujung benua Asia, inti sari Asia yang misterius.
Kebanyakan pelancong ini hanya tinggal selama tiga hari di Bali. Mereka tiba di Buleleng hari Jum’at pagi berangkat dan pulang dengan kapal yang sama, yang baru kembali dari Makassar pada Minggu malam. Kecuali mereka yang suak petualang menginap di Bali selama sepuluh hari sambil menanti kapal berikutnya. Setelah mendarat di Buelleng pada hari Jum’at menjelang matahari terbit, wisatawan menyewa mobil berikut pemandu wisata dengan bantuan biro pariwisata.
Para wisatawan menelusuri jalan pantai menuju Bubunan di barat, lalu membelok ke pesanggarahan Munduk, tempat mereka dapat melanjutkan kunjungan ke daerah sekitar dengan berkuda ke Danau Tamblingan dan Buyan. Pada sore hari meeka turun ke Denpasar melalui Tabanan dan menginap di Bali Hotel. Seusia makan malam mereka disajikan acara kesenian berupa tarian pribumi.
Pada akhir pekan biasanya wisatawan mempunyai banyak alternatif. Mereka bisa singgah di Museum Bali atau melihat pertunjukkan tarian dekat hotel. Mereka juga bisa menuju Bedulu untuk melihat Goa Gajah sebelum melanjutkan perjalanan ke Tampaksiring. Onyek wisata lainnya ialah Pejeng untuk melihat “bulan”nya di makam-makam kerajaan (Gunung Kawi) dan di “mata air suci” Tirta Empul, Kesumba untuk melihat gua kelelawar (Goa Lawah).
Pada Minggu pagi wisatawan berkunjung ke Bangli melihat Pura Kehen sebelum menuju Penelokan. Para pelancong menikmati keagungan panorama kaldera Gung Batur. Biasanya mereka makan siang di Pesanggarahan Kintamani, lalu kembali ke Singaraja. Jika ada waktu mereka singgah di Pura Kubutambahan dan Sangsit sebelum naik kapal dari Buleleng sore harinya.
Referensi utama lainnya bagi wisatawan berdasarkan pengamatan Walter Spies seorang pelukis dan musikus berkebangsaan Jerman menetap di Bali pada 1927 dan berada di sana hingga waktu Perang Dunia ke II. Dia menjadi pemandu bagi para seniman, pelukis dan tokoh yang akan berkunjung ke Bali. Mereka singgah di rumahnya di Ubud. Walter Spies memperkenalkan kepada dunia kekayaan dan keanekaragaman budaya Bali. Dia salah seorang yang memberikan referensi kepada dunia bahwa daya tarik Bali bukan hanya kecantukan kaum perempuannya seperti gambaran Bali pada 1920-an.
Rumah Spies di Ubud kerap kedatangan seniman dan intelektual Eropa. Antropolog Margaret Mead (asal Amerika), pelukis Miguel Covarrubias (Meksiko), aktor Charlie Chaplin (Amerika), hingga seksolog Magnus Hirschfeld (Jerman) pernah menjadi tamunya. Spies mengembangkan kesenian Bali. Dia dan Beryl de Zoete menulis Dance & Drama in Bali, salah satu catatan paling awal tentang tari dan drama di luar budaya Barat. Dia juga terlibat dalam pembuatan film The Island of Demons bersama Baron Viktor van Plessen. Spies mendanai pembuatan film itu dari uang warisan pemberian Friederich Murnau yang meninggal pada 1931. Film itu punya pengaruh besar pada persepsi dunia tentang Bali.
Kontribusi lainnya, pada 1936 Spies mendirikan kelompok seniman Pita Maha bersama Rudolf Bonnet, Gusti Nyoman Lempad, dan Tjokorda Gde Agung Sukawati. Mereka melestarikan seni rupa Bali yang mulai berubah menjadi seni pesanan demi memenuhi permintaan turis. Pita Maha membuka cakrawala bagi para pelukis Bali dalam hal tema, pewarnaan, hingga perspektif dan permainan cahaya.
Andrian Vickers dalam bukunya Bali Paradise Creatid (1989) menyebutkan bahwa orang-orang yang pernah berkunjung ke Spies adalah Charlie Chaplin, bintang film jenaka Amerika. Selain Chaplin, tamu istimewa Spies yang terkenal adalah Vicki Baum, seorang Novelis wanita produktif yang karya-karyannya dikenal dalam berbagai bahasa, terutama bahasa Inggris.
Pada 1936 sepasang suami istri dari Amerika Bob, berprofesi sebagai fotografer dan Louise Koke, pelukis tiba di Bali, dari Singaraja dengan kapal ke Denpasar. Dalam buku yang ditulisnya mereka menggambarkan bahwa hotel di Bali pada waktu itu sudah mempunyai kamar mandi modern dengan air panas. Laporan mereka banyak terpengaruh eksotisme yang banyak mengumbar foto sensualitas perempuan Bali dengan pakaian dada terbuka sebagai hal aneh bagi orang-orang Barat itu .
Buku yang berjudul Our Hotel in Bali itu menceritakan sukses mereka mendirikan sebuah cottage di kawasan Kuta dengan citra pro kolonial, namun mereka cukup memberikan gambaran menarik situasi kota Denpasar pada masa itu. Mereka melihat perumahan penduduk yang etrbuat dari campuran papan, toko kelontong milik orang Cina, sejumlah toko barang antik dan seni, serta toko yang menjual sutera dan batik.
Pasar pribumi di Denpasar digambarkan mempunyai luas tiga hektar yang selalu ramai. Barang-barang yang tampak dijual meliputi keranjang, batik dan perlaatannya, tikar, keranjang penuh dengan bunga, bawang merah, sayur-sayuran, gula aren , kapuk serta buah-buahan tropis. Di sudut kerap ditemukan pertunjukkan sabung ayam yang pada masa itu dianggap ilegal karena tempat perjudian. Menurut buku itu juga pertunjukkan tari kebyar dan kecak merupakan atraksi bagi wistawan masa itu.
Perang Dunia ke II memberikan keguncangan di Bali. Sejumlah orang Jerman termasuk Walter Spies ditangkap. Dia bersama tawanan Jerman dikirim ke luar Bali. Namun di tengah jalan kapal itu ditenggelamkan oleh armada Jepang. Walter Spies termasuk yang terbunuh.
Sejarah mencatat kedatangan Jepang mengakhiri untuk sementara dunia pariwisata Bali. Pada 19 Februari 1942 tentara Angkatan Darat Jepangmendarat di Pantai Sanur tanpa perlawanan dari serdadu Hindia Belanda. Setelah proklamasi kemerdekaan Mr. I Guti Ketut Pudja tiba dari Jakarta untuk menjadi Gubernur Sunda Kecil. Seperti banyak daerah lain Bali juga mengadakan perlawanan terhadap kedatangan kembali tentara Belanda. Yang paling hebat adalah yang dilakukan I Gusti Ngurah Rai yang terkenal dengan Puputan Margarana pada 1946.
Sehabis Perang Kemerdekaan situasi Bali pelan-pelan pulih sebagai suatu tempat tujuan wisata. Harian Merdeka edisi 6 Januari 1951 memberikan laporan menarik mengenai situasi Bali masa itu. Brbeda dengan dikebanyakan daerah angka kriminalitas begitu tinggi karena ada masalah bekas pejuang,gerombolan bersenjata yang tidak puas, Bali menunjukkan situasi yang sebaliknya, Penjara di pulau itu dilaporkan dalam keadaan kosong. Kalau pun ada yang ditahan sekitar 100 orang adalah tahanan politik.
Tidak ada laporan penyerobotan. Para wisatawan yang menginap di hotel Bali umumpamanya tak usah pintu kamarnya dikunci. Pelayannnya malah akan tersinggung kehormatannya jika ada tamu yang mengunci pintu kamarnya.
Dunia hiburan mulai menggeliat. Denpasar pada 1950-an sudah mempunyai tiga buah bioskop dan singaraja tiga buah. Film Indonesia dilaporkan diputar selama seminggu 4 kali sehari. Ruangannya selalu padat oleh rakyat dari segala lapisan. Tak ada laporan lagi perempuan yang tidak memakai baju. Usaha gerakan pemuda dan gerakan perempuan di Bali sudah berbuah.
Tarif taksi di dalam kota berkisar 17 sen per Km-nya. Untuk keperlaun ke luar kota wisatawan bisa menyewa sebuah sedan dengan tarif Rp100/ satu kali jalan. Perjalanan Denpasar-Singaraja sejauh 87 Km ditempuh dalam waktu 2,5 jam melalui jalan gunung. Sementara dengan bus wisatawan menempuh waktu 7 jam dan satu orang harus membayar Rp10.
Raja-raja Bali digambarkan demokratis. Bila ada tamu dari luar Bali, mereka keluar dengan pakaian sederhana dan berbicara seolah-olah mereka sahabat karib. Orang luar yang mengunjungi Bali mudah berurusan dengan Kantor Raja hingga kepolisian. Kepada mereka kerap dapat pelayanan cepat.
Pikiran Rakjat edisi 1 Maret 1951 melaporkan kunjungan 135 pelancong Amerika yang berkunjung di Bandung setelah mengadakan kunjungan ke Bali. Di antara para pelancong itu terdapat nama Robert W. Gobson dari Waterloo,Iowa yang menyatakan bahwa ia berbelanja hingga Rp 300.000 di Pulau Bali. Ada juga pedagang bernama White pedagang dari North Carolina yang mengaku sudah berkeliling 40 negara namun Bali adalah yang paling charming dan menarik.
Namun ada juga laporan negatif berkaitan dengan pariwisata. Harian Pikiran Rakjat, 14 Mei 1954 melaporkan bahwa Bali dikunjungi suatu rombongan pembuat film dari Italia. Mereka terdiri dari 5 orang menginap di Hotel Ubud sekitar 20 Km dari Denpasar. Rombongan itu disebutkan berkeliling dari desa ke desa membawa perempuan-perempuan Bali dari Ubud.
Yang jadi masalah ada laporan di beberapa sungai perempuan-perempuan itu dipaksa meninggalkan pakaian mereka. Bahkan ada yang dipangku secara paksa oleh salah seorang anggota rombongan itu. Kejadiannya terjadi di Desa Nyalian, Klungkung. Laporan ini membuat berang para pemuda Bali dan menuduh tim produksi film Italia itu hendak membuat film cabul. Mereka meminta pihak berwajib mengambil tindakan untuk mensensor film itu. Selain itu rombongan film membuat banyak murid laki-laki dan perempuan tidak mau masuk sekolah karena mau difilmkan dengan bayaran Rp3 per orang.
Pihak berwajib kemudian melakukan penyelidikan. Hasilnya menurut Pikiran Rakjat, edisi 24 mei 1954 Ternyata benar bahwa salah seorang anggota rombongan pembuat film dari Italia telah mencoba memotret perempuan Bali dengan dada terbuka tidak dengan atas kemauan sendiri perempuan tersebut. Ketua romobongan pembuat film Italia Graaf Bonzi menyatakan penyesalannya dan mengaku tidak akan membuat film cabul di Bali.
Pada 1950-an perlahan orang-orang Bali mulai merintis kembali pariwisata di daerahnya. Keterlibatan mereka menandakan era baru bagi sejarah pariwisata Bali dan mengakhiri era pariwisata eksotisme yang dibangun Pemerintah kolonial Belanda. Di antara perintis itu ialah Anak Agung Panji Tisna yang menjadi wiraswastawan.
Awalnya dia membangun gedong bioskop “Maya Theater”, kemudian Panji Tisna mendirikan perguruan “Bhaktyasa”, kemudian perpustakaan UAB (Udyana-Adnyana-Buana). Panji Tisna juga sangat mencintai pertanian dan beliau membangun perkebunan
jeruk di areal perbukitan desa Seraya - Buleleng. Hasil buah jeruknya waktu itu sangat bersaing
dengan jeruk Tejakula / Bondalem.
Pada 1953 A.A.Panji Tisna mulai membangun tempat istirahat di tepi pantai Kampung Baru,
desa Tukad Cebol (sekarang desa Kaliasem). Selain dibangun restoran juga dibangun 3 kamar
tamu
tiga tahun kemudian dunia pariwisata Bali mencatat sejarah baru, ketika Ida Bagus Kompiang dan Anak Agung Mirah Astuti menjadi pengusaha pribumi yang membangun hotel pertama di kawasan Sanur, Denpasar, yang diberi nama Hotel Segara Beach.
Perhatian pemeirntah juga mulai terasa sesudah tahun 1950-an, ketika Soekarno membawa tamu-tamu Negara seperti Nehru, President Kennedy, dan Ho Chi Minh (Vietnam). Dalam kunjungan ke Bali, Soekarno beberapa kali mampir ke Puri Ubud. Dalam hampir setiap kedatangan mengantar tamu-tamu Negara, Presiden Republik Indonesia yang pertama ini disambut dengan tari-tarian dari ubud atau daerah lainnya di Gianyar.
Di daerah Gianyar pula. Soekarno membangun Istana Tampaksiring ini yang mempunyai panggung khusus untuk pementasan tari-tarian. Pembangunan dimulai pada 1957 dan selesai pada 1963 oleh arsitek RM Soedarsono. Selanjutnya perhatian presiden pada kesenian Bali terlihat pada pengiriman tim kesenian Bali pada tahun 1950-an ke luar Negeri, seperti Czechoslowakia, untuk mempromosikan kebudayaan Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. Seniman-seniman dalam tim kesenian itu adalah dari Gianyar, seperti I Nyoman Kakul, dan I Ketut Rinda.
Irvan Sjafari
Sumber Tulisan:
Drs. A.A.Gde Putra Agung, Drs. FX Soenaryo, Drs. Ida Agus Sidemen, Sejarah Sosial Kota Singaraja, Jakarta: Depdikbud, Direktorat Sejarah dan nilai Tradisional, Proyek Invetarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984
Antara News, 19 Juli 2012

Devi Fitria “Walter Spies dan Renaisans Bali” dalam www.Historia.co.id
Luoise G. Koke, Our Hotel in Bali: How To Young Americans Made a Dream Come True: A Story of The 1930’s, Wellington, January Book, 1987
Merdeka, 6 dan 15 Januari 1951
Michel Picard, Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Jakarta : Kepustakaan Gramedia, 2006
Nyoman S Pendit, Bali Berjuang, Jakarta: Gunung Agung, 1979
Pikiran Rakjat, 1 Maret 1951
Pikiran Rakjat, 14 Mei 1954
Pikiran Rakjat, 24 Mei 1951
Tourism in Netehrlands East Indies, Februari 1927

Syafari