Senin, 04 Maret 2013

Beranda » » Putroe Neng by Ayi Jufridar

Putroe Neng by Ayi Jufridar


Judul : Putroe Neng - Tatkala Malam Pertama Menjadi Malam Terakhir Bagi 99 Lelaki


Pengarang : Ayi Jufridar

Penerbit : Grasindo

Jumlah Halaman : 400 halaman

Kategori : Fiksi Indonesia

2012 Reading Challenge :
  • Goodreads #2
  • Wishlist Challenge #1
  • Name In A Book Challenge #2

“Nanti malam aku akan meniduri Putroe Neng. ” (p. 281)

Sinopsis

Kekalahan dalam peperangan di Kuta Lingke telah mengubah sejarah hidup Putroe Neng, perempuan cantik dari Negeri Tiongkok. Dari seorang maharani yang ingin menyatukan sejumlah kerajaan di Pulau Ruja, ia malah menjadi permaisuri dalam sebuah pernikahan politis. Pendiri Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, Sultan Meurah Johan, menjadi suami pertama Putroe Neng yang kemudian juga menjadi lelaki pertama yang meninggal di malam pertama. Tubuh Sultan Meurah Johan ditemukan membiru setelah melewati percintaan malam pertama yang selesai dalam waktu begitu cepat.

Menikahi Putroe Neng yang cantik jelita merupakan sebuah kebanggaan bagi banyak lelaki bangsawan. Kebanggaan itu sering dilampiaskan dalam kalimat, “Nanti malam aku akan tidur dengan Putroe Neng.” Namun, hampir tidak ada lelaki yang berhasil mengatakan, “Tadi malam aku tidur dengan Putroe Neng.” Malam pertama selalu menjadi malam terakhir bagi 99 lelaki yang menjadi suami Putroe Neng.

Rating 
untuk Putroe Neng


Review


Sudah sejak jaman abegeh saya mendengar nama dan mitos Putroe Neng. Saya pun cukup sering melewati makam Putroe Neng di desa Blang Pulo , Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, saat pergi dan pulang sekolah. Saya pikir selama ini tokoh yang mempunyai 99 orang suami itu hanyalah mitos. Saat saya mengetahui tentang buku ini saya pun langsung memasukkannya dalam wishlist. 


Putroe Neng atau Nian Nio Liang Khie, namanya dalam bahasa Mandarin tidak sekedar seorang perempuan biasa dengan kecantikan yang luar biasa. Nian Nio adalah seorang laksamana dengan keahlian memainkan pedang tingkat tinggi yang berhasil memimpin penyerangan ke beberapa kerjaan kecil. Namun Nian Nio kalah dalam peperangan di Kuta Lingke.

Nian Nio menjalani pernikahan pertamanya dengan Sultan Meurah Johan yang terlebih dahulu telah menikah dengan Putri Indra Kesuma. Namun setelah melewati malam pertama, tubuh Sultan Meurah Johan ditemukan dalam keadaan membiru. Hal tersebut menjadi pertanyaan dan perbincangan dis eluruh kerajaan karena sebelumnya Sultan Meurah Johan dalam keadaan segar bugar. Nian Nio, yang pada saat pernikahan itu telah berganti nama menjadi Putroe Neng, dituduh menjadi dalang dibalik kematian Sultan Meurah Johan. Nian Nio dianggap memiliki dendam terhadap Sultan Meurah Johan karena Sultan Meurah Johan berhasil menaklukkan invasi yang dipimpin Nian Nio. Yang tidak mempercayai Nian Nio sebagai dalang kematian Sultan Meurah Johan hanyalah Syekh Abdullah Kana'an atau Syekh Syiah Hudam, sahabat sekaligus guru Sultan Meurah Johan.


Tahun berganti tahun, Putroe Neng pun menikah kembali, hingga jumlah suaminya mencapai sembilan puluh sembilan orang. Namun para suaminya pun mengalami nasib yang sama dengan Sultan Meurah Johan. Pagi hari setelah melewati malam pertama tubuh mereka ditemukan membiru. Penyebab mereka meninggal ternyata ada dalam tubuh Putroe Neng.


Orang keseratus yang berani menikahi Putroe Neng adalah Syekh Syiah Hudam. Meskipun ditentang banyak muridnya, Syekh Syiah Hudam tetap keukeuh menikahi Putroe Neng. Namun setelah melewati puluhan malam, Syekh Syiah Hudam tetap dalam keadaan hidup. Ya... hanya Syekh Syiah Hudam yang mampu bertahan melewati malam pertama dengan Putroe Neng.


Membaca buku ini kita seperti membaca kisah kerajaan Aceh meskipun fokus utamanya tetap terletak pada Putroe Neng. Namun jujur, secara pribadi saya kurang akrab dengan nama-nama kerajaan dan tempat yang disebutkan dalam buku ini. Satu-satunya tempat yang saya kenali namanya hanyalah Kerajaan Peurelak. Peurelak adalah kota kecil yang berada di Aceh Timur dan saya selalu bertanya-tanya hingga selesai membaca buku ini, dimanakah letaknya Kuta Lingke itu sekarang, dan Panton Bie yang juga masuk dalam buku ini dikatakan merupakan bagian dari Aceh Besar apakah namanya sekarang. Tokoh-tokoh yang saya kenali namanya selain Putroe Neng dan Syekh Syiah Hudam, hanyalah Sultan Meurah Johan, yang merupakan tokoh peletak dasar-dasar persatuan Aceh hingga sekarang. 

Buku ini cukup ringan untuk dibaca karena alurnya yang maju. Jika pun dibeberapa cerita alurnya menjadi mundur namun tidak membuat kacau balau ceritanya. Kekurangan buku ini terletak pada banyaknya nama yang dimiliki oleh tiga tokoh penting yang ada di buku ini. Yaitu Nian Nio Liang Khie yang juga bernama Putroe Neng, Sultan Meurah Johan yang juga punya nama Johan Syah, dan Syekh Abdullah Kana'an yang juga dikenal dengan nama Syekh Syiah Hudam. Dan banyaknya nama tempat dan tokoh yang mirip seperti Indra Puri, Indra Kesuma, Indra Purba, Indra Sakti, dan lainnya. Tapi hal tersebut bisa dimaklumi, karena memang begitu kejadiannya pada masa itu. Yang membuat saya kecewa adalah penyelipan foto makam Putroe Neng dan Syekh Syiah Hudam yang ada di bagian belakang buku. Bukan masalah penempatannya yang dibagian belakang, namun lebih karena cetakannya dalam format hitam putih. Akan lebih informatif jika kedu foto tersebut dicetak dalam warna aslinya. Selain lebih meyakinkan pembaca, juga dapat menunjukkan kondisi kedua makam tersebut saat ini.


Mungkin ada yang bertanya-tanya mengapa kekurangan yang saya sebutkan diatas begitu menganggu saya. Well... seperti yang sudah saya katakan diatas, bahwa saya sudah mengenal nama Putroe Neng dengan sembilan puluh sembilan suaminya sewaktu jaman abegeh. Namun saat itu saya tidak tahu dan tidak peduli mengapa jumlah suaminya mencapai angka se-fantastis itu. Saat remaja baru-lah saya bertanya-tanya mengapa bisa seperti itu dan saya mendapatkan jawabannya dibuku ini...  Oh... selain mitos tentang jumlah suami Putroe Neng, saya juga mendengar kisah horor yang terjadi di kuburan Putroe Neng yang ada di Desa Blang Pulo, Pintu Dua Pabrik PT Arun, Lhokseumawe, Aceh Utara. Kabarnya pada malam-malam tertentu,  di area kuburan tersebut akan terdengar suara pasukan yang sedang baris berbaris dan juga suara ringkik kuda yang menandakan mereka siap berangkat ke medan perang.



Selain karena mitos, kedekatan absurd yang saya rasakan juga dikarenakan kompleks perumahan yang saya tempati sewaktu masih berdomisili di Lhokseumawe, salah satu jalannya diberi nama Putroe Neng dan rumah yang saya tempati berada di jalan yang diberi nama Tengku Syiah Hudam atau dalam buku ini Syekh Syiah Hudam. 
Secara keseluruhan buku ini layak untuk dibaca dan dikoleksi. Saya mengurangi satu rating sehingga hanya mendapat empat smiley karena saya tidak begitu puas oleh keadaan foto-foto makam yang hanya hitam putih. Dan saat ini saya menantikan buku tentang Laksamana Keumala Hayati, salah satu perempuan perkasa Aceh lainnya...


PS : 

Oleh penerbitnya buku ini dikategorikan sebagai novel dewasa. Dan hal tersebut memang sangat beralasan, karena memaang ada beberapa adegan ranjang #eh yang digambarkan dengan cukup eksplisit namun tidak sevulgar seperti roman-roman terjemahan lain, dan penggambaran tentang alat kelamin juga lumayan jelas meskipun ada beberapa yang digambarkan melaui kiasan. Jadi buku ini memang untuk konsumsi dewasa.

Oh... sedikit tentang sang pengarang : Ayi Jufridar lahir di Bireuen pada 18 Agustus 1972. Menyandang gelar S1 Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Bekerja sebagai koresponden Jurnal Nasional di Aceh dan dosen di almamaternya. Karyanya selain Putroe Neng adalah Alon Buluek (Gelombang Laut yang Dahsyat) (2005) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, dan Kabut Perang (2010).
Putri Utama
Note : Untuk Lebih lengkap Ceritanya bisa membeli bukunya tebal 
 harga : 59.500 info buku ini bisa dibeli di toko-toko langganan saya cuma ngeShare cerita dan kisahnya saja dari sejarah dikaitkan dengan novel putroe neng

semoga bermanfaat