Banggakah kita kalau punya julukan nama hewan, misalnya ‘kebo’ di zaman kini? Sudah pasti tidak. Namun pada suatu era di Nusantara ini, sekitar abad 12 dan 13, orang justru menyandang nama satwa sebagai simbol status sosialnya. Pada pelajaran sejarah nasional, tentang kerajaan Majapahit, kita mengenal nama Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Seperti saya, mungkin Anda pernah bertanya dalam hati, mengapa tokoh-tokoh ini memakai sebutan binatang pada namanya. Gajah Mada mengadopsi nama ‘gajah’ dan Hayam Wuruk mengadopsi nama ‘ayam’ (‘hayam’ dari kata Sanskrit bermakna ‘ayam’ dan masuk ke dalam bahasa Sunda).
Rasa penasaran saya ini sedikit banyak terjawab, pada waktu membolak-balik kamus kuno bahasa Sunda-Inggris yang disusun oleh Jonathan Rigg. Kamus yang berjudul asli ‘Dictionary of The Sunda Language of Java’ ini bertarikh 1862 dan diterbitkan Lange & Co, Batavia. Sekalipun buku ini berjudul ‘kamus’, namun uniknya dia lebih mirip sebagai ensiklopedia, karena banyak kata-kata yang dianggap penting, bukan saja diberi definisi, tetapi juga disertai dengan uraian sejarah latar belakang terciptanya kata yang bersangkutan.
Misalnya nama depan ‘Kebo’ di kamus ini diuraikan sebagai ‘gelar yang disandang oleh pemuka Jawa zaman baheula (a title given anciently to Javanese chi
efs). Kita tentu masih ingat kisah sejarah Ken Arok, di mana ada tokoh yang bernama Kebo Ijo, yang dijadikan kambing hitam sebagai pembunuh Tunggul Ametung. Dalam tulisan A History of Java, Raffles menyebut nama Kebo Mundarang yang merupakan menteri pada kerajaan Kediri, dan juga Kebo Kanigara yang merupakan penguasa dari kerajaan Pajang. Selain ‘kebo’, sebutan ‘lembu’ juga banyak disandang orang-orang berpengaruh pada masa itu. Dalam buku yang sama, Raffles menuliskan nama-nama penguasa Jawa seperti Lembu Ami Jaya dan Lembu Ami Luhur.
efs). Kita tentu masih ingat kisah sejarah Ken Arok, di mana ada tokoh yang bernama Kebo Ijo, yang dijadikan kambing hitam sebagai pembunuh Tunggul Ametung. Dalam tulisan A History of Java, Raffles menyebut nama Kebo Mundarang yang merupakan menteri pada kerajaan Kediri, dan juga Kebo Kanigara yang merupakan penguasa dari kerajaan Pajang. Selain ‘kebo’, sebutan ‘lembu’ juga banyak disandang orang-orang berpengaruh pada masa itu. Dalam buku yang sama, Raffles menuliskan nama-nama penguasa Jawa seperti Lembu Ami Jaya dan Lembu Ami Luhur.
Kamus bahasa Sunda ini juga menguraikan bahwa selain gelar ‘kebo’ dan ‘lembu’, juga populer disandang nama ‘maisa, rangga, dan punggawa’. ‘Maisa’ (disebut juga dengan ‘mahesa’) secara harfiah bermakna ‘kerbau’ dan ada nama penguasa yang mendirikan kerajaan Pajajaran bernama Maisa Lalean atau Kuda Lalean. Penerus dari keturunannya bergelar dengan Munding (‘munding’ dalam bahasa Sunda juga bermakna ‘kerbau’). ‘Rangga’ secara harfiah bermakna ‘kijang’ (buck-deer) dan gelar ini disandang oleh para perwira tingkat bawah, sedangkan ‘punggawa’ secara harfiah bermakna ‘banteng jantan’ dan disandang oleh perwira tingkat tinggi (mungkin setara dengan perdana menteri atau menteri dalam negeri di zaman modern). Sebutan ini berasal dari kata Sanskrit ‘pun’, bermakna ‘jantan’ (masculine) dan ‘gawa’ bermakna ‘banteng’ (bull).
Lantas bagaimana dengan nama besar Gajah Mada dan Hayam Wuruk? Menurut kamus ini ‘mada’ bermakna ‘kenikmatan’ atau ‘birahi’ (rut), jadi secara harfiah Gajah Mada mempunyai arti ‘birahi gajah’, sedangkan Hayam Wuruk secara harfiah bermakna ‘ayam yang cerdas’ (scholar rooster). Menurut prasasti Pararaton dan Nagarakretagama, Hayam Wuruk adalah sosok pemuda yang tampan, cerdas, dan berbakat, menguasai ilmu bela diri memanah dan anggar (archery and fencing) dan piawai dalam ilmu politik, seni dan musik. Setelah dikukuhkan sebagai raja pada tahun 1350, dia berganti nama menjadi Rajasanagara, namun dalam sejarah beliau tetap kita kenal dengan nama Hayam Wuruk, si ayam jantan yang perkasa.
Gustav Kuno