Wajahnya mengguratkan ketakutan. Kakinya gegas melangkah menuju pesawat pribadinya di sebuah bandara, di Teheran, Iran. Syah Reza Pahlevi, diktator Iran sejak 1941, hanya ditemani sang istri saat hendak meninggalkan Iran pada 16 Januari 1979. (Lihat Historia, No. 6 Tahun I/2012).
Revolusi memang tak tertahankan lagi. Rezim yang dipimpinnya tumbang. Ayatullah Khamaini, pemimpin spiritual Iran, menggantikannya. Dan Ia (Khamaini) menyebutnya dengan Revolusi Islam Iran.
Revolusi ini segera mendapat sorotan banyak pihak. Ada yang memandang dengan pandangan penuh kekaguman, layaknya Hamka yang menulis bahwa revolusi Iran sepadan dengan revolusi yang terjadi di Perancis dan Rusia. (Panji Masyarakat, 1 Maret 1979).
Namun tak sedikit pula yang memendam rasa ketakutan. Terlebih para penguasa di Timur Tengah sana. Mereka menilai bahwa Iran akan “meng-ekspor” semangat revolusinya ke sejumlah negara-negara muslim tetangga. Sejak itu nama Khamaini dan madzhab Syiah-nya segera jadi momok dan mendapat perhatian luas di negeri Sunni.
Keberhasilan Khamaini dengan madzhab Syiah-nya menumbangkan rezim Pahlevi, yang disokong oleh Amerika, melontarkan tanya kritis kaum muda terhadap madzhab Sunni. Sunni dianggap belum memberikan sesuatu yang nyata di beberapa negara yang mayoritas penduduknya berpaham Sunni.
Pakistan, misalnya, negara Sunni yang berdasar Islam justru tak kunjung menemukan jalan keluar dari konflik primodialisme-nya yang seakan tak berujung.
Hamdan Basyar dan Rakhman Zainuddin dalam “Syiah Dan Politik di Indonesia” menulis, “Tak sedikit para ulama di negeri Sunni justru dianggap ikut andil melegitimasi pemerintahan yang tak demokratis dan otoriter lewat fatwanya”.
Semangat revolusi Iran-pun juga berhembus hingga ke Tanah Air, Indonesia. Di negara yang mayoritas penduduknya bermadzhab Sunni, Syiah secara perlahan namun pasti mulai dikenal oleh para anak muda negeri ini.
Hanya saja, Syiah yang yang pertama kali dikenal oleh anak muda Indonesia bukan-lah Syiah sebagai madzhab, melainkan Syiah sebagai landasan gerakan revolusi di Iran. Buku-buku para tokoh Syiah terkemuka seperti Ali Syariati dan Murthadha Muthahhari laku keras di kalangan anak muda. Gagasan keduanya yang mengudar pembelaan terhadap kaum lemah dengan cepat menusuk ke benak setiap anak muda itu.
Menyadari madzhab Syiah (meski hanya secara politik) berkembang cukup pesat pasca Revolusi Iran, maka MUI sebagai organisasi corong “resmi” dari pemerintah-pun tak tinggal diam. Pada Maret 1984, MUI mengeluarkan rekomendasi terkait Syiah. Salah satu point yang ditekankan adalah perbedaan pemahaman terhadap doktrin imamah antara Sunni dan Syiah. Rupanya persoalan Imamah ini lah yang membuat kekhawatiran dari MUI.
Demikian pula menjelang reformasi. Pada 24 September 1997, ABRI (TNI kala itu) menjadi salah satu penggagas seminar tentang Syiah di Masjid Istiqlal. Hasil seminar itu terangkum dalam sebuah buku berjudul “Mengapa Menolak Syiah”?, yang telah dibantah habis oleh O. Hassem.
Mungkin apa yang ditulis oleh KH Thahir Al-Kaff dalam salah satu artikelnya di buku itu menjawab judul buku itu sendiri, yakni “Mengapa Kita Menolak Syiah?”. Pemimpin Albayyinat itu menulis bahwa khawatir akan pecahnya konflik Sunni-Syiah di Indonesia seperti di Pakistan dan Bahrain. “Melihat perkembangan Syiah yang cukup pesat, dua wajah bertentangan (Sunni-Syiah) dapat mengancam stabilitas keamanan,” tulis Al-Kaff.
Namun khawatirkan Al-Kaff dan banyak orang lainnya tak terbukti. Iran ternyata tak “meng-ekspor” revolusinya ke sejumlah negara muslim. Bahkan di Indonesia, berada di bawah rzeim tiran layaknya Orde Baru sekalipun, Syiah tidak berniat untuk melancarkan revolusi. Mereka (yang dituduh Syiah) justru lebih konsen untuk bergerak lewat jalur pendidikan.
Haidar Bagir, misalnya, nama yang dituduh sebagai gembong Syiah dan tercatat dalam tesis Zulkifli “The Struggle of the Shi’is in Indonesia”, justru lebih memilih jalur pendidikan dengan menerbitkan berbagai buku yang memberikan pencerahan melalui bendera “Mizan”, yang didirikannya sejak 1983.
Walhasil tanpa adanya ekspor semangat revolusi dan paham Syiah-pun, perlahan namun pasti negara-negara Timteng dilanda gejolak. Arab Spring melanda sejumlah negara-negara Timteng. Dan itu semua bermula bukan dari Syiah atau semangat revolusi Iran.
Dewa Gilang
Revolusi memang tak tertahankan lagi. Rezim yang dipimpinnya tumbang. Ayatullah Khamaini, pemimpin spiritual Iran, menggantikannya. Dan Ia (Khamaini) menyebutnya dengan Revolusi Islam Iran.
Revolusi ini segera mendapat sorotan banyak pihak. Ada yang memandang dengan pandangan penuh kekaguman, layaknya Hamka yang menulis bahwa revolusi Iran sepadan dengan revolusi yang terjadi di Perancis dan Rusia. (Panji Masyarakat, 1 Maret 1979).
Namun tak sedikit pula yang memendam rasa ketakutan. Terlebih para penguasa di Timur Tengah sana. Mereka menilai bahwa Iran akan “meng-ekspor” semangat revolusinya ke sejumlah negara-negara muslim tetangga. Sejak itu nama Khamaini dan madzhab Syiah-nya segera jadi momok dan mendapat perhatian luas di negeri Sunni.
Keberhasilan Khamaini dengan madzhab Syiah-nya menumbangkan rezim Pahlevi, yang disokong oleh Amerika, melontarkan tanya kritis kaum muda terhadap madzhab Sunni. Sunni dianggap belum memberikan sesuatu yang nyata di beberapa negara yang mayoritas penduduknya berpaham Sunni.
Pakistan, misalnya, negara Sunni yang berdasar Islam justru tak kunjung menemukan jalan keluar dari konflik primodialisme-nya yang seakan tak berujung.
Hamdan Basyar dan Rakhman Zainuddin dalam “Syiah Dan Politik di Indonesia” menulis, “Tak sedikit para ulama di negeri Sunni justru dianggap ikut andil melegitimasi pemerintahan yang tak demokratis dan otoriter lewat fatwanya”.
Semangat revolusi Iran-pun juga berhembus hingga ke Tanah Air, Indonesia. Di negara yang mayoritas penduduknya bermadzhab Sunni, Syiah secara perlahan namun pasti mulai dikenal oleh para anak muda negeri ini.
Hanya saja, Syiah yang yang pertama kali dikenal oleh anak muda Indonesia bukan-lah Syiah sebagai madzhab, melainkan Syiah sebagai landasan gerakan revolusi di Iran. Buku-buku para tokoh Syiah terkemuka seperti Ali Syariati dan Murthadha Muthahhari laku keras di kalangan anak muda. Gagasan keduanya yang mengudar pembelaan terhadap kaum lemah dengan cepat menusuk ke benak setiap anak muda itu.
Menyadari madzhab Syiah (meski hanya secara politik) berkembang cukup pesat pasca Revolusi Iran, maka MUI sebagai organisasi corong “resmi” dari pemerintah-pun tak tinggal diam. Pada Maret 1984, MUI mengeluarkan rekomendasi terkait Syiah. Salah satu point yang ditekankan adalah perbedaan pemahaman terhadap doktrin imamah antara Sunni dan Syiah. Rupanya persoalan Imamah ini lah yang membuat kekhawatiran dari MUI.
Demikian pula menjelang reformasi. Pada 24 September 1997, ABRI (TNI kala itu) menjadi salah satu penggagas seminar tentang Syiah di Masjid Istiqlal. Hasil seminar itu terangkum dalam sebuah buku berjudul “Mengapa Menolak Syiah”?, yang telah dibantah habis oleh O. Hassem.
Mungkin apa yang ditulis oleh KH Thahir Al-Kaff dalam salah satu artikelnya di buku itu menjawab judul buku itu sendiri, yakni “Mengapa Kita Menolak Syiah?”. Pemimpin Albayyinat itu menulis bahwa khawatir akan pecahnya konflik Sunni-Syiah di Indonesia seperti di Pakistan dan Bahrain. “Melihat perkembangan Syiah yang cukup pesat, dua wajah bertentangan (Sunni-Syiah) dapat mengancam stabilitas keamanan,” tulis Al-Kaff.
Namun khawatirkan Al-Kaff dan banyak orang lainnya tak terbukti. Iran ternyata tak “meng-ekspor” revolusinya ke sejumlah negara muslim. Bahkan di Indonesia, berada di bawah rzeim tiran layaknya Orde Baru sekalipun, Syiah tidak berniat untuk melancarkan revolusi. Mereka (yang dituduh Syiah) justru lebih konsen untuk bergerak lewat jalur pendidikan.
Haidar Bagir, misalnya, nama yang dituduh sebagai gembong Syiah dan tercatat dalam tesis Zulkifli “The Struggle of the Shi’is in Indonesia”, justru lebih memilih jalur pendidikan dengan menerbitkan berbagai buku yang memberikan pencerahan melalui bendera “Mizan”, yang didirikannya sejak 1983.
Walhasil tanpa adanya ekspor semangat revolusi dan paham Syiah-pun, perlahan namun pasti negara-negara Timteng dilanda gejolak. Arab Spring melanda sejumlah negara-negara Timteng. Dan itu semua bermula bukan dari Syiah atau semangat revolusi Iran.
Dewa Gilang