Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebutjuga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yangsampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, daritingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat iniberasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasaArab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkanmengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya. Menurutsejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi MuhammadSAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagangCina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramaisaat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah(Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkanbukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood,Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukanbanyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwoodmenemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelimamasehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalurperdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantaradengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggudari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumateradan di Jawa Timur membuktikan hal ini. Dalam catatan kakinyaBellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejanakeramik dari beberapa situs di Sumatera Utara.
Selain itu, banyak barangperunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masaDinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London.Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur,yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwasebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukanhubungan dagang dengan para pedagang dari Cina. Masih menurutnya,perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesamapedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaanadalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera barudidirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapibisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapapesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpaicatatannya. Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatantertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistempenulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan padamasa antara 0 sampai 100 Masehi.
Dalam periode ini di Kalimantan telahberdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya.Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. DiSumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapaikejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya. Temuan G. R TibbetsAdanyajalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera danJawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. BahkanTibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yangterjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dariwilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukanbukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantarasaat itu.
“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telahmenjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar kenegeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi petaperdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China. Sebuahdokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempattahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelahRasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelahRasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuahpesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslimyang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Diperkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telahmelakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahiperempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak disana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempatpengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakalmadrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah(masjid). Temuan inidiperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarahTiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompokbangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera.
Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubahpandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKAjuga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh parapencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika. Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari NusantaraDariberbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisirBarat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur.Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antarakota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan.
Di zamanSriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijayamengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Baruspun masuk dalam wilayah Aceh. Amat mungkin Barus merupakan kotatertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanyaBarus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi olehliteratur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China,dan sebagainya. Sebuah peta kuno yang dibuat oleh ClaudiusPtolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat diAleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwadi pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai(Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Bahkandikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer darikota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayatpada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahunsebelum Masehi! Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi,Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantarasekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakamanMahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudahada pada era itu. Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari EcoleFrancaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama denganpeneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di LobuTua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barustelah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsaseperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau,Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut menemukan banyakbenda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan inimenandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang
Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memilikikedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupunpemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yangikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, jugaberkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, ataupenguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yangmemeluk Islam.
Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempatyang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam”(1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa olehmubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abadke-7 M. Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasanini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telahmengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F.Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese andArab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal.159).
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuahbatu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimunbertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwaIslam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, IslamComes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39). Daribukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk keNusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapatdipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertamatahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secaradiam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertamatahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dariMakkah ke seluruh Jazirah Arab. Menurut literatur kuno Tiongkok,sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisirSumatera (Barus).
Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAWmemproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudahterdapat sebuah perkampungan Islam. Selaras dengan zamannya, saatitu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’anbaru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yangkemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaumMuslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3)San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yangterakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman. Naskah Qur’an yangtujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihakyang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman KhalifahUtsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagaimuseum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent,Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembarannaskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskahQur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktumendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya danmembunuh sang Khalifah. Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telahdihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, SejarahKhulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391). Sebabitu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.
Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkanwaktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib ra.Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India ( Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.
Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah