Minggu, 10 Maret 2013

Beranda » » Rabi’ah: Seorang Pesâlik yang Merdeka

Rabi’ah: Seorang Pesâlik yang Merdeka

Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Âli Muhammad

Rabi’ah: Seorang Pesâlik yang Merdeka
Agama adalah ladang yang tidak ditanami
kecuali oleh mereka yang mampu
(menanaminya) dengan baik,
mendapatkan keuntungan darinya-kembali.
Jika bukan oleh ketakutan akan neraka,
tak seorang pun akan memuja Allah;
Dan jika bukan oleh pengharapan akan balasan,
mereka akan menolak Allah. (Gibran)
Rabi’ah adalah seorang sufi abad kedua hijrah. Dinamai Rabi’ah karena ia adalah anak keempat dari keluarganya (berasal dari bahasa arab, arba’atun=empat). Pada awalnya, ayahnya berharap agar anak yang lahir itu laki-laki, karena sebelumnya ketiga saudaranya adalah perempuan. Akan tetapi Allah berkehendak lain, dan yang lahir itu adalah perempuan, maka dinamailah Rabi’ah. Rabi’ah yang saya maksud dalam tulisan ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Bukan Rabi’ah asy-Syamiyyah yang juga seorang sufi, yang hidup pada abad kesembilan hijrah. Perjalanan hidup Rabi’ah memiliki rentang waktu yang panjang untuk mencapai pada maqam yang ‘tinggi’, maksud dari rentang waktu yang panjang adalah karena untuk mencapai maqam tesebut diperlukan upaya-upaya spiritual yang kontinyu.
Sebelum menjadi merdeka, Rabi’ah sempat menjadi budak dari seorang majikan. Siang harinya ia habiskan waktunya untuk mengabdi kepada sang majikan dan pada malam harinya ia terjaga (melaksanakan shalat malam) dan berdoa sampai larut. Melihat Rabi’ah yang demikian, akhirnya sang majikan membebaskannya. Rabi’ah hidup sebagai seorang asketis (zahid). Ia hidup sederhana. Dari asketis, sampai kepada sufi.
Rabi’ah terkenal dengan teori mengenai mahabbah. Puisinya yang terkenal adalah tentang konsep dua cinta:
“Aku cinta pada-Mu dengan dua macam cinta:
cinta yang sungguh-sungguh,
dan cinta yang tidak patut.
Dari cinta yang sungguh-sungguh:
aku sangat menikmati dalam mengingat-Mu
untuk tidak mengenang selain-Mu.
Dan untuk cinta yang tidak patut:
kubutuhkan rahasia-Mu sendiri untuk kulihat.
Jadi tak ada rasa syukur bagiku
dalam kedua cinta itu:
rasa syukur hanya kepada-Mu.”
Kita harus memahami Rabi’ah sebagai seorang sufi, yang telah mencapai hakikat. Tidak memandangnya dari segi syari’at. Dalam tasawuf ada tiga untaian ‘menuju Ilahi’: Syariat (eklusif/inklusif), Tariqat (plural), dan Hakikat (pengtauhidan). Dan Rabi’ah telah mencapai Hakikat. Itu bisa dipahami dengan dia tidak menikah selama hidupnya. Ketika ditanya kenapa dia tidak menikah, dia menjawab, “Relung hatiku terisi penuh oleh-Nya, tidak ada ruang dihatiku untuk selain-Nya”.
Para orientalis selalu berusaha membuktikan bahwa tasawuf bukanlah berasal dari Islam. Untuk menjawab hal itu, saya akan mengutip (dikutip oleh Muthahhari) seorang Kristen Libanon, George Jordaq, yang telah menjawab para orieltalis itu dalam bukunya yang berjudul Imâm ‘Ali: The Voice of Human Justice. Katanya: “Kami tidak habis pikir dengan orang-orang yang melacak asal-usul mentalitas Abu Dzar dari sumber-sumber di luar Islam. Mereka ini persis seperti melihat seseorang yang duduk-duduk di pinggir sugai atau di tepi pantai, dengan wadah airnya yang telah penuh di tangannya, lalu ia mulai bertanya-tanya dari kolam mana ia telah memenuhi wadahnya, kemudian karena tidak menyadari dirinya berada di dekat laut ataupun sungai, ia malah mencari-cari kolam untuk sekadar menjelaskan ihwal wadah airnya yang telah penuh itu.”
Maka dari itu, jelaslah, bahwa tasawuf bersumber dari Islam.
Rabi’ah adalah seorang prototipe wali Allah. Ia adalah seorang hamba yang merdeka, tidak hanya merdeka sebagai budak, akan tetapi, lebih jauh lagi; ia merdeka dalam beribadah kepada Allah.
Dalam hal ini, Imam Ali Kw. berkata, “Ada kaum yang menyembah Allah karena menginginkan pahala, itulah ibadah pedagang. Ada kaum yang menyembah Allah karena takut akan siksa-Nya, itulah ibadah hamba sahaya. Ada kaum yang menyembah Allah karena syukur kepada-Nya, itulah ibadah manusia merdeka”.
Allah, senantiasa mengirim walinya di Bumi ini, untuk membimbing manusia ke jalan-Nya. Kalau dalam bahasa Widad, “Tetapi sepanjang kehidupan mereka, dalam setiap bangsa dan kelompok, Allah menurunkan penjaga yang menaati kebenaran, pemikir yang memberi cahaya kehidupan bagi orang-orang, baik dalam urusan dunia maupun keagamaan. Mereka adalah para guru: balsam dan salep untuk mengoles luka di Bumi”.

Suatu tahapan (tingkatan) dalam perjalanan ruhani seorang sâlik, seperti: Taubat, Sabar, Zuhud, Wara’, dan seterusnya; Setiap sufi memiliki tahapan maqam yang berbeda sebagian dalam pengklasifikasiannya. Kalau hal adalah apa yang menghinggapi hati seorang ‘arif (sufi) tanpa diinginkannya. Bedanya, jika hal: apa yang menghinggapi hati seorang sufi tanpa diinginkannya (sifatnya hanya sementara), sedangkan maqam: diperlukan upaya spiritual yang kontinyu (sifatnya menetap).
Lihat Widad El-Sakkakini, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-Adawiyah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi, 2000, Risalah Gusti: Surabaya, hal. 101.
Lihat Murtadha Muthahhari, Mengenal ‘Irfan Meniti Maqam-Maqam Kearifan, 2002, Hikmah dan Iiman: Jakarta, hal. 26.
Lihat Sukardi (Editor), Kuliah-Kuliah Tasawuf, 2000, Pustaka Hidayah: Bandung, hal. 159.

Muhammad Ali Reza