Rabu, 13 Maret 2013

Beranda » » Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar): Kejatuhan Soekarno, Awal Terenggutnya Kedaulatan Indonesia

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar): Kejatuhan Soekarno, Awal Terenggutnya Kedaulatan Indonesia

Naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang dikenal dengan SUPERSEMAR menjadi salah satu saksi bisu antiklimaks Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh sebagai biang terjadinya peristiwa kelam sejarah Indonesia. Surat itu juga yang menjadi awal jatuhnya rezim orde lama dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan menandai awal babak baru kepemimpinan Soeharto dalam rezim orde barunya. Terlepas dari segala kontroversi cerita yang sebenarnya, perlulah kita cermari beberapa sisi lain yang terindikasi turut mendorong lahirnya produk hukum misterius ini.
Bung Karno dengan Konsep Berdikari dan Anti Amerika-nya
Pada tanggal 1 - 22 Juli 1944 di Bretton Woods-Amerika Serikat, telah tercapai kesepakatan dalam Konferensi Moneter dan Keuangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disebut Persetujuan Bretton Woods (Bretton Woods Agreement). Dalam persetujuan yang ditanda tangani oleh 44 Negara ini menetapkan dibentuknya 2 badan keuangan Internasional, yakni International Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). IBRD ini merupakan salah satu lembaga yang membentuk World Bank. Salah satu tujuan dari lembaga ini adalah untuk memberi bantuan-bantuan berjangka panjang kepada para anggota guna mengadakan rekonstruksi produksinya akibat kerusakan peperangan ataupun mengadakan pembangunan ekonomi untuk menaikkan kemakmuran rakyatnya.
Kondisi Indonesia yang masih tertatih-tatih sesuai memproklamirkan diri sebagai Negara yang merdeka, mendorong kuat untuk melakukan kesediannya mengadakan kerjasama internasional. Pada tanggal 24 Juli 1950, Indonesia mengajukan permintaan untuk menjadi anggota dari IMF dan World Bank tersebut. Setelah 3 tahun, yakni pada pertengahan 1953, akhirnya Indonesia diterima sebagai anggota dari kedua Badan itu dan keanggotaannya kemudian disahkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1954 tertanggal 13 Januari 1954.
Selang 12 tahun lamanya sejak Indonesia masuk ke dalam keanggotaan dua lembaga tersebut, Presiden Soekarno melihat bahwa hubungan internasional ini justru banyak merugikan Negara. Sang Proklamator ini menilai bahwa IMF dan World Bank hanya memperalat Negara berkembang untuk menjalankan politik neokolonialisme dan imprealismenya yang tidak sesuai dengan konsep berdikarinya. Tentu saja hal ini menciderai Pancasila yang mengamanatkan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Akhirnya, Soekarno secara tegas menarik Indonesia dari IMF dan IBRD ini melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1966 pada tanggal 14 Februari 1966.
SUPERSEMAR : Awal Tunduknya Indonesia ke Tangan Asing.
Pada tahun 1960, Soekarno memperkenalkan demokrasi terpimpin yang menandai berjalannya rezim orde lama. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berlindung dibalik Bung Karno, perlahan dengan mantab mulai mendominasi percaturan politik di Indonesia. PKI yang semakin haus akan kekuasaan, mencoba melakukan usaha kudeta dengan membunuh tujuh perwira tinggi militer Indonesia dan beberapa orang penting lainnya. Modus operasi PKI yang disertai penculikan dan pembunuhan, memunculkan reaksi keras dari seluruh lapisan masyarakat. Keadaan Negara sekitar tahun 1960 - 1965 yang didominasi oleh kegiatan politik, tentu berdampak pada perekonomian Negara. Implikasinya terjadi inflasi sebesar 600 persen sehingga membuat rakyat tidak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya seluruh mahasiswa dan aliansi-aliansi beserta kelompok masyarakat turun ke jalan dengan penetrasi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Kala itu, kondisi Negara benar-benar dalam keadaan genting. Singkat cerita, SUPERSEMAR dibuat untuk memberikan mandat kepada Soeharto agar mengamankan Negara yang kacau akibat G30S/PKI. Dalam fase ini muncul banyak versi cerita, namun kesamaan yang bisa ditarik adalah Soeharto menjadikan SUPERSEMAR ini menjadi legitimasi untuk untuk merebut kekuasaan dan menyingkirkan Presiden Soeharto. Muncul nafas konspirasi juga diperkuat tatkala Soekarno menyampaikan pidato tentang SUPERSEMAR. Kata Bung Karno,
“Dikiranya SP Sebelas Maret adalah suatu penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP  Sebelas Maret itu, suatu transfer of sovereignty. Of authority. Padahal TIDAK! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Pengamanan jalannya ini pemerintahan. Demi kukatakan dalam pelantikan kabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah PENGAMANAN beberapa hal”.
Namun apa boleh dikata, pasca SUPERSEMAR telah ditanda tangani dan kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan. Inilah fase awal tunduknya Indonesia ke tangan asing di bawah kepemimpinan militer.
Melemahnya kekuatan Soekarno, menyebabkan secara bertahap munculnya perundang-undangan yang pro terhadap kepentingan Amerika. Diawali dari Tap MPRS RI Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia yang membuka hubungan yang luas dengan Amerika dan Negara panganut neokolonialisme lainnya. Ditambah pada Juli 1966, keluarlah Tap MPRS RI Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang memungkinkan lembaga dan korporasi asing mendapat akses tertentu dengan kuantitas yang besar. Melalui TAP MPRS tersebut, maka belum satu tahun terbitnya UU 1/1966 tentang keluarnya Indonesia dari lembaga IMF dan WB, pada November 1966 terbit UU 8/1966 yang menganulir UU 1/1966. Soekarno sendiri (terpaksa atau tidak) yang menandatangani UU 8/1966 dan menyatakan Indonesia kembali bergabung dengan IMF dan World Bank. Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.
Semenjak Presiden Soeharto berkuasa, semakin banyak muncul produk-produk hukum yang membuka diri kepada kekuatan asing. Sebelum menghadiri konferensi Jenewa di Swiss, Soeharto telah mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Melalui UU 1/1967, secara resmi pemodal asing dapat menginvestasikan modalnya di Indonesia dengan keringanan pajak. Setelah keluarnya UU 8/1966 dan UU 1/1967 maka secara bertahap kekuatan ekonomi kita sudah bergantung pada IMF, World Bank, dan korporasi asing. Namun dapat dipahami tujuannya setidak-tidaknya adalah untuk membangkitkan ekonomi yang terpuruk. Salah satunya adalah dengan utang via IMF dan World Bank yang didukung dengan keterbukaan oleh modal asing. Pasca pertemuan Jenewa November 1967, terbit lagi UU 6/1968, tanggal 3 Juli 1968 tentang Penanaman Modal Asing yang direvisi.  Tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk membuka kran modal asing yang selama ini kurang disukai oleh Soekarno karena ada titipan kepentingan yang dibawa oleh korporasi asing tersebut. Dari kebijakan inilah kemudian Indonesia terjebak ke dalam tradisi utang atau debt trap dan semakin tercabiknya prinsip nasionalisasi di berbagai sektor. Inilah fase jatuhnya Indonesia ke dalam era korporatokrasi.
Sejatinya, prinsip dan cita-cita kedua pemimpin besar tersebut adalah sama, yakni menginginkan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Namun perbedaannya adalah Soekarno memang dijatuhkan melalui penandatanganan SUPERSEMAR, namun beliau tidak jatuh ke dalam pelukan asing. Sedangkan Soeharto sudah jatuh sejak awal. Bahkan ketika ia menjadikan SUPERSEMAR sebagai legitimasi untuk merengkuh kekuasaan.
Yoga W