Rabu, 13 Maret 2013

Beranda » » Tunggul Ametung Kelahiran Kalangbret

Tunggul Ametung Kelahiran Kalangbret

Perang saudara antara Panjalu dan Janggala mereda setelah Jayabaya naik tahta di Daha. Pada masa Jayabaya, dengan semboyan Panjalu Jayanti alias Panjalu Menang, Panjalu unggul atas Jenggala, ibarat keunggulan Pandawa atas Kurawa dalam baratayuda. Untuk mengenang masa gemilang itu, Jayabaya memerintahkan pujangga Mpu Sedah menggubah kitab Mahabarata, dimana Panjalu yang menjadi Pandawanya. Akan tetapi setelah Jayabaya wafat, tanah Jawa kembali bergolak, Panjalu dan Jenggala kembali berseteru, kembali pecah. Janggala bangkit lagi, memusatkan kekuatannya di timur gunung Kawi. Perang saudara terus berlangsung sampai ketika Kertajaya mendaki tahta di Daha.
Mendengar Kertajaya naik tahta, kekuatan Jenggala di Kutaraja berderap ke barat, melintasi pegunungan Kawi, memukul Panjalu. Panjalu terdesak dan Raja Kertajaya menyingkir ke barat sungai Brantas bersama sisa pasukan yang dipimpin Senapati Tunggul Ametung menuju Katang-Katang atau Kalangbrat, tanah kelahiran sang senapati.
Tersingkirnya Kertajaya dari istana Daha menuju Katang-Katang, Kalangbrat, Kamulan, termuat dalam prasasti Kamulan tahun saka 1116 atau 1194M: “…lagi kilala mwang kalasana decanya padapuran Cri maharaja tatkala ni..n kentar sangke kadatwan ring Katang-Katang, deninkin malr yatik kaprabhun Cri maharaja siniwi ring bhumi Kadiri…”.
Selama dalam pelarian, Kertajaya menjadikan daerah Kalangbrat sebagai keraton sementara Panjalu. Bersama sisa pasukan dan para pendeta serta segenap penduduk Kamulan, Senopati Tunggul Ametung giat menggalang kekuatan merencanakan serangan balik.
Tergusurnya Kertajaya dari keraton Daha menuju Kalangbrat atau Kamulan, lalu membangun kekuatan di tempat lain, menyiapkan serangan balik, mirip dengan kisah yang pernah dialami kakek moyangnya, Erlangga. Sebagaimana termuat dalam Prasasti Terep, pada tahun 1032M, setelah membangun istana baru di lereng penanggungan, Erlangga dan sisa pasukannya terpaksa menyingkir ke utara lalu berkubu di daerah Patakan, karena istana Watan Mas digempur dan diduduki musuh yang dipimpin Ratu Lodoyong, perempuan perkasa dari selatan sungai Brantas. Di Patakan, Erlangga membangun kembali kekuatannya dan di akhir tahun berderap ke selatan, menjotos Ratu Lodoyong. Penyerbuan pasukan Erlangga atas Lodoyong di brang kidul atau di selatan sungai Brantas termuat dalam prasasti Pucangan. Setelah berhasil merebut kembali istana Watanmas, Erlangga tidak menempati istana di lereng Gunung Penanggungan itu melainkan membangun kotaraja baru di Kahuripan.
Dan sebagaimana yang pernah dilakukan Erlangga atas Lodoyong, Raja Panjalu Daha Kertajaya pantang menyerah. Meski tersingkir dari istana lalu terpaksa menghuni daerah alas di selatan gunung Wilis, keinginannya untuk kembali menduduki tahta Daha tak padam juga. Raja Kertajaya teringat pada segala sejarah perjuangan leluhurnya yaitu Erlangga saat pada tahun 1009M terpaksa tersingkir dari istana Watan yang terletak di timur gunung Lawu itu menuju ke barat ke sebuah desa bernama Cane di daerah wanagiri.
Apalagi segenap penduduk Kamulan dan sekitarnya termasuk Kalangbrat, dan desa-desa lain di selatan sungai Brantas mengibarkan semangat kebangkitan mengobarkan kembali ‘Panjalu Jayanti’, semboyang yang pada tahun 1135M digunakan Raja Panjalu Jayabaya saat menggulung Janggala.
Maka masih dalam tahun 1194M, Senapati Tunggul Ametung menderapkan pasukan gabungan Daha dan Kamulan ke timur, menggempur Janggala di Kutaraja sampai kemudian berhasil menaklukkan kerajaan yang menganut agama Siwa di timur gunung Kawi itu.
Sampai di sini dapat diketahui bahwa yang berjasa besar menaklukkan Janggala, yang berjasa besar mengembalikan kedaulatan Panjalu hingga mengantar Raja Panjalu Kertajaya ke istana Daha adalah Senapati Tunggul Ametung disokong kekuatan dari kalangbrat dan Kamulan atau kekuatan brang kidul. Peristiwa ini juga menjadi tonggak sejarah berdirinya kekuasaan Tumapel dengan penguasa pertamanya Tunggul Ametung dan menjadi sebab dikeluarkannya Prasasti Kamulan oleh Raja Kertajaya.
Setelah kembali bertahta di Daha, Raja Kertajaya mengeluarkan dua kebijakan penting yaitu menetapkan daerah di timur gunung Kawi, daerah bekas pusat pemerintahan Janggala sebagai daerah amancanagara bernama Tumapel dengan ibukota tetap di Kutaraja yang berada di bawah kekuasaan Panjalu dengan menempatkan Senapati Tunggul Ametung yang kelahiran Kalangbret ini sebagai penguasa pertama daerah amancanagara Tumapel. Kebijakan raja ini dikeluarkan sebagai penghargaan kepada sosok Tunggul Ametung usai secara gemilang menunaikan tugas negara, mengembalikan tahta Raja Kertajaya. Dapat dikatakan pula bahwa Tumapel secara resmi berdiri pada tahun 1294M.
Kebijakan penting kedua yang dikeluarkan Raja Kertajaya adalah menetapkan daerah Katang-Katang atau Kamulan sewilayahnya sebagai daerah perdikan atau swatantra, daerah istimewa yang dibebaskan dari segala pungutan pajak, daerah merdeka berpemerintahan sendiri yang kedudukannya berada langsung di bawah kekuasaan raja. Pada masa itu daerah Kalangbret sudah menjadi daerah perdikan kerajaan. Penganugerahan desa Kamulan dan sewilayahnya sebagai daerah swatantra tertuang dalam piagam kerajaan pada tahun 1194M.
Adipati Tunggul Ametung mulai membangun dan menjaga daerah Tumapel yang beribukota di Kutaraja. Pada sekitar tahun 1203M, Tunggul Ametung menikah dengan Kendedes, putri pendeta Boddha dari Panawijen bernama Mpu Purwwa Widada atau orang mulia dari timur gunung Kawi. Purwwa artinya timur. Karena pendeta Boddha aliran Mahayana itu berasal dari timur Kawi maka dikenal sebagai Mpu Purwwa.
Tiwi sang