SPIRITUALISME (tasawuf dan mistisme) di Aceh semakin memprihatinkan. Baru-baru ini, Tgk Ahmad Barmawi dan Yayasan Al-Mujahadah yang dipimpinnya difatwakan sesat oleh otoritas Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh (Serambi, 1/3/2013). Catatan tersebut melengkapi rentetan jejak spiritualisme sebelumnya di Aceh dan membuka kembali rentang sejarah pertentangan (kontroversi) syariat-tasawuf.
Merunut ke belakang, muncul nama Tgk Aiyub di Plimbang (Bireuen), kontroversi ‘Syarah Insan Kamil’ versi Tgk Amran Wali, komunitas aliran Ladunni, komunitas Millata Abraham, Mu’min Muballigh, Abu Peuleukung dan komunitas Salik Buta pada abad 20. Semua profil yang disebutkan di atas ‘bermasalah’ dengan pemangku dan penanggungjawab praktik keagamaan di Aceh.
Berdasarkan fakta sejarah, otoritas syariat dan tasawuf berperan penting dalam dimensi keagamaan di Aceh. Otoritas syariat memegang kendali strategis kerajaan Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan tarikat-tarikat yang terkenal (mu’tabarah) pernah dipopulerkan oleh otoritas pemangku keagamaan di Nanggroe Serambi Mekkah. Tercatat Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdurrauf Singkili sebagai mursyid dalam aliran tarikat sufi yang memahami kedalaman spiritualitas. Tidak lupa pula titik balik kedigdayaan Aceh secara spiritual dan politik mengalami pasang surut dan konflik yang tak terselesaikan.
Masih segar sepanjang ingatan orang Aceh ketika penganut paham Hamzah Fansuri menjadi martir (korban) demi pemahaman tasawuf yang dianggap menyimpang. Ditambah lagi pembakaran kitab otentik tasawuf mereka menjadi abu di altar Masjid Raya Baiturrahman. Hanya ada setitik benang merah: Keagungan syariah zhahiriyah dan spiritualitasme intuitif bathiniyah (mistisme/tasawuf batiniyah) berbenturan demi kemaslahatan ‘ubudiyah rabbaniyah (peribadatan kepada Tuhan) dan demi menjaga kemaslahatan syariat dan ketenangan sosial masyarakat.
Prinsip tasawuf
Menyoal prinsip tasawuf, dogma memahami Tuhan terkait dua hal yang saling melengkapi. Konsep Kamal Allah (kesempurnaan Allah) dimaknai dengan hubungan ‘abd (hamba) dan rabb (Tuhan) yang diterjemahkan dengan kepatuhan pada rukun Islam, rukun iman dan ihsan. Adapun konsep Jamal Allah (keindahan Allah) seringnya dipahami sebagai pendekatan intuitif spiritual (pendekatan dengan rasa) terhadap zat Allah, yang melahirkan konsep ma’rifah, mahabbah, musyahadah, muqarabah dan pada pemahaman ekstrem melahirkan konsep ittihad, fana dan hulul (corak kebersatuan makhluk dengan Tuhan).
Terlepas dari koridor konsep tasawuf di atas, sejarah kontroversi selalu terjadi antara penganut syariat yang konsekuen dengan penganut spiritualitas (tasawuf). Spiritualitas tasawuf seringkali diterjemahkan dengan ungkapan-ungkapan yang bertentangan dengan konsep syariat. Kondisi ini menyebabkan timbulnya fatwa-fatwa pengharaman, sesat karena menyalahi aturan syariat sehingga melahirkan tragedi kemanusiaan. Begitupun, spiritualitas tasawuf tetap menjamur di berbagai pelosok secara diam-diam dan sepertinya merupakan fenomena gunung es di Aceh.
Fenomena tersebut menyisakan sederet pertanyaan. Yang jelas, terdapat dua variabel konfrontatif yang menarik untuk dianalisa; semakin ketat pemangku dan penanggungjawab tradisi keagamaan di Aceh dalam membatasi dan menilai suatu gerakan spiritualitas (tasawuf), tapi tradisi spiritualitas di Aceh semakin menjamur. Mengapa?
Menurut penulis banyak alternatif jawaban untuk menilai fenomena menjamurnya praktik spiritualitas tersebut. Pertama, kegersangan batin manusia modern. Bagi sebagian orang, aktifitas keagamaan dan rutinitas prilaku syariat justru tidak menyebabkan mereka merasa tenang dalam beribadah. Merebak kegelisahan batin dan rohaninya untuk mencari kebenaran agama dengan cara lain. Mungkin juga mereka berharap menemukan ketenangan dengan melakukan pilihan-pilihan praktik tasawuf seperti tawajjuh, suluk yang sudah cukup dikenal dalam tradisi spiritualisme dan sufisme di Aceh.
Namun tidak jarang pilihan-pilihan yang tidak dikoordinasikan dengan baik, akan menciptakan ‘aktifitas-aktifitas’ spiritualitas tasawuf yang tidak dikenal dalam syariat seperti khalut (meditasi), bersifat rahasia dan antisosial. Pada banyak kasus, ajaran spiritualitas tasawuf seperti ini mengubah sudut pandang penganutnya terhadap kehidupan duniawi dan mengkristalnya dogma-dogma antikemapanan dalam bersyariat. Situasi ini relatif berpengaruh negatif bagi kehidupan pribadi, keluarga dan sosial pada sosok penganut tasawuf tersebut.
Kedua, pemahaman metodologi keagamaan yang parsial (tidak komprehensif). Penganut keagamaan di Aceh secara umum tidak seluruhnya menguasai metodologi keilmuan dalam Islam. Sebagai contoh, di satu sisi pemahaman terhadap fiqh, ushul fiqh, kalam, mantiq dan berbagai disiplin ilmu syariat lainnya sangat luas. Namun, pada sisi lain mereka memiliki keterbatasan dalam memahami spiritualitas dan tasawuf, di samping keterbatasan dalam teori-teori umum seperti antropologi, sosiologi dan historisitas (kesejarahan) Islam.
Demikian juga halnya dengan penganut spiritualitas tasawuf, saat mereka mengagungkan konsep-konsep intuitif (perasaan batin), pada sisi lain terkesan mereka mengabaikan perintah dan larangan dalam syariat. Sebaliknya, para pakar syariat membedah fenomena tasawuf dari sudut pandang syariat saja dan kurang mempertimbangkan aspek dan fenomena sosiokultural masyarakat.
Ketiga, minimnya referensi keagamaan. Penganut spiritualitas tasawuf di Aceh memiliki rujukan dalam praktik dan aktifitas-aktifitas sufisme. Tetapi mereka kadang-kadang memiliki keterbatasan rujukan dan referensi ajaran. Kitab-kitab yang membahas spiritualitas (tasawuf) di Aceh dijadikan sebagai dogma spiritualitas langsung diterima begitu saja. Pada kali yang lain, mereka menginterpretasikan pemahaman tersebut berdasarkan ijtihad mereka secara mandiri.
Sebagai contoh, referensi yang digunakan oleh mereka adalah kitab Tanwir al-Anwar karya Abuya Mudawali al-Khalidy, Insan Kamil karangan Al-Jayli, Haqiqat Insan karya Haji Ahmad Laksamana, serta kemungkinan ada lagi teks-teks tasawuf yang beredar secara terbatas dan rahasia. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan tidak ada notasi (catatan-catatan) saat proses ‘pengajaran dan bimbingan’ dalam komunitas mereka.
Dan, keempat, modus gerakan bawah tanah dan azas kerahasiaan. Fenomena inilah yang barangkali telah menyebabkan timbulnya penilaian negatif pada sebagian masyarakat. Penganut spiritualitas tasawuf di Aceh melakukan aktifitas-aktifitas spiritual secara rahasia, terbatas dan elite. Di samping itu pemilihan tempat beraktifitas yang cenderung berjarak dengan masyarakat, anti ekspos serta merahasiakan kandungan ajaran menyebabkan mereka relatif eksklusif, terkesan tidak ramah dan mengisolir diri.
Pendekatan dialogis
Banyak lagi kemungkinan yang memperuncing dua variabel di atas, seperti asas kepentingan, isu politik, strata sosial dan sebagainya. Begitupun, diperlukan pendekatan dialogis untuk menciptakan harmoni dalam praktik dan pengamalan keagamaan di Aceh. Ada baiknya telaah yang dilakukan oleh otoritas pemangku keagamaan di Aceh membentuk tim yang kompeten, memiliki kredibilitas, berwawasan dan pernah mengaji tasawuf dalam konteks keacehan.
Tim tersebut melakukan kajian, telaahan komprehensif terhadap teks, ajaran, referensi, historisitas (kesejarahan), sosiologis, dan antropologis untuk menilai aliran spiritualisme tasawuf di Aceh. Tim ini juga berkewajiban melakukan pembinaan, meluruskan dan selalu memantau perkembangan aliran serta membuka ruang konsultasi untuk mereka. Sebaliknya, penganut spiritualisme juga harus bersikap jujur dengan apa yang mereka yakini berupa dogma, teori, amalan, persepsi, referensi dan selalu siap untuk berkonsultasi dan menerima untuk dikritik.
Membangun Aceh secara material dan spiritual diperlukan niat baik, ketulusan, ketakwaan, toleransi dan persaudaraan yang kokoh. Masyarakat Aceh hanya menginginkan ketenangan dalam beribadah dan bermuamalah. Tidak terusik oleh isu-isu yang memecah belah. Meneliti kebenaran setiap berita yang diterima, menghargai kritik dan saran pihak lain, serta tidak saling tuding dan saling hujat. Menyingkirkan egoisme dan tidak merasa paling benar, karena kebenaran hakiki hanya milik Allah swt semata. Wallahu musta’an.
* Zakaria Ilyas, MA, Peminat kajian sosial masyarakat di Aceh/Staf pada Ma’had Khadim al-Haramain As-Syarifain, Banda Aceh. Email: zakariailyas84@yahoo.com
Merunut ke belakang, muncul nama Tgk Aiyub di Plimbang (Bireuen), kontroversi ‘Syarah Insan Kamil’ versi Tgk Amran Wali, komunitas aliran Ladunni, komunitas Millata Abraham, Mu’min Muballigh, Abu Peuleukung dan komunitas Salik Buta pada abad 20. Semua profil yang disebutkan di atas ‘bermasalah’ dengan pemangku dan penanggungjawab praktik keagamaan di Aceh.
Berdasarkan fakta sejarah, otoritas syariat dan tasawuf berperan penting dalam dimensi keagamaan di Aceh. Otoritas syariat memegang kendali strategis kerajaan Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan tarikat-tarikat yang terkenal (mu’tabarah) pernah dipopulerkan oleh otoritas pemangku keagamaan di Nanggroe Serambi Mekkah. Tercatat Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdurrauf Singkili sebagai mursyid dalam aliran tarikat sufi yang memahami kedalaman spiritualitas. Tidak lupa pula titik balik kedigdayaan Aceh secara spiritual dan politik mengalami pasang surut dan konflik yang tak terselesaikan.
Masih segar sepanjang ingatan orang Aceh ketika penganut paham Hamzah Fansuri menjadi martir (korban) demi pemahaman tasawuf yang dianggap menyimpang. Ditambah lagi pembakaran kitab otentik tasawuf mereka menjadi abu di altar Masjid Raya Baiturrahman. Hanya ada setitik benang merah: Keagungan syariah zhahiriyah dan spiritualitasme intuitif bathiniyah (mistisme/tasawuf batiniyah) berbenturan demi kemaslahatan ‘ubudiyah rabbaniyah (peribadatan kepada Tuhan) dan demi menjaga kemaslahatan syariat dan ketenangan sosial masyarakat.
Prinsip tasawuf
Menyoal prinsip tasawuf, dogma memahami Tuhan terkait dua hal yang saling melengkapi. Konsep Kamal Allah (kesempurnaan Allah) dimaknai dengan hubungan ‘abd (hamba) dan rabb (Tuhan) yang diterjemahkan dengan kepatuhan pada rukun Islam, rukun iman dan ihsan. Adapun konsep Jamal Allah (keindahan Allah) seringnya dipahami sebagai pendekatan intuitif spiritual (pendekatan dengan rasa) terhadap zat Allah, yang melahirkan konsep ma’rifah, mahabbah, musyahadah, muqarabah dan pada pemahaman ekstrem melahirkan konsep ittihad, fana dan hulul (corak kebersatuan makhluk dengan Tuhan).
Terlepas dari koridor konsep tasawuf di atas, sejarah kontroversi selalu terjadi antara penganut syariat yang konsekuen dengan penganut spiritualitas (tasawuf). Spiritualitas tasawuf seringkali diterjemahkan dengan ungkapan-ungkapan yang bertentangan dengan konsep syariat. Kondisi ini menyebabkan timbulnya fatwa-fatwa pengharaman, sesat karena menyalahi aturan syariat sehingga melahirkan tragedi kemanusiaan. Begitupun, spiritualitas tasawuf tetap menjamur di berbagai pelosok secara diam-diam dan sepertinya merupakan fenomena gunung es di Aceh.
Fenomena tersebut menyisakan sederet pertanyaan. Yang jelas, terdapat dua variabel konfrontatif yang menarik untuk dianalisa; semakin ketat pemangku dan penanggungjawab tradisi keagamaan di Aceh dalam membatasi dan menilai suatu gerakan spiritualitas (tasawuf), tapi tradisi spiritualitas di Aceh semakin menjamur. Mengapa?
Menurut penulis banyak alternatif jawaban untuk menilai fenomena menjamurnya praktik spiritualitas tersebut. Pertama, kegersangan batin manusia modern. Bagi sebagian orang, aktifitas keagamaan dan rutinitas prilaku syariat justru tidak menyebabkan mereka merasa tenang dalam beribadah. Merebak kegelisahan batin dan rohaninya untuk mencari kebenaran agama dengan cara lain. Mungkin juga mereka berharap menemukan ketenangan dengan melakukan pilihan-pilihan praktik tasawuf seperti tawajjuh, suluk yang sudah cukup dikenal dalam tradisi spiritualisme dan sufisme di Aceh.
Namun tidak jarang pilihan-pilihan yang tidak dikoordinasikan dengan baik, akan menciptakan ‘aktifitas-aktifitas’ spiritualitas tasawuf yang tidak dikenal dalam syariat seperti khalut (meditasi), bersifat rahasia dan antisosial. Pada banyak kasus, ajaran spiritualitas tasawuf seperti ini mengubah sudut pandang penganutnya terhadap kehidupan duniawi dan mengkristalnya dogma-dogma antikemapanan dalam bersyariat. Situasi ini relatif berpengaruh negatif bagi kehidupan pribadi, keluarga dan sosial pada sosok penganut tasawuf tersebut.
Kedua, pemahaman metodologi keagamaan yang parsial (tidak komprehensif). Penganut keagamaan di Aceh secara umum tidak seluruhnya menguasai metodologi keilmuan dalam Islam. Sebagai contoh, di satu sisi pemahaman terhadap fiqh, ushul fiqh, kalam, mantiq dan berbagai disiplin ilmu syariat lainnya sangat luas. Namun, pada sisi lain mereka memiliki keterbatasan dalam memahami spiritualitas dan tasawuf, di samping keterbatasan dalam teori-teori umum seperti antropologi, sosiologi dan historisitas (kesejarahan) Islam.
Demikian juga halnya dengan penganut spiritualitas tasawuf, saat mereka mengagungkan konsep-konsep intuitif (perasaan batin), pada sisi lain terkesan mereka mengabaikan perintah dan larangan dalam syariat. Sebaliknya, para pakar syariat membedah fenomena tasawuf dari sudut pandang syariat saja dan kurang mempertimbangkan aspek dan fenomena sosiokultural masyarakat.
Ketiga, minimnya referensi keagamaan. Penganut spiritualitas tasawuf di Aceh memiliki rujukan dalam praktik dan aktifitas-aktifitas sufisme. Tetapi mereka kadang-kadang memiliki keterbatasan rujukan dan referensi ajaran. Kitab-kitab yang membahas spiritualitas (tasawuf) di Aceh dijadikan sebagai dogma spiritualitas langsung diterima begitu saja. Pada kali yang lain, mereka menginterpretasikan pemahaman tersebut berdasarkan ijtihad mereka secara mandiri.
Sebagai contoh, referensi yang digunakan oleh mereka adalah kitab Tanwir al-Anwar karya Abuya Mudawali al-Khalidy, Insan Kamil karangan Al-Jayli, Haqiqat Insan karya Haji Ahmad Laksamana, serta kemungkinan ada lagi teks-teks tasawuf yang beredar secara terbatas dan rahasia. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan tidak ada notasi (catatan-catatan) saat proses ‘pengajaran dan bimbingan’ dalam komunitas mereka.
Dan, keempat, modus gerakan bawah tanah dan azas kerahasiaan. Fenomena inilah yang barangkali telah menyebabkan timbulnya penilaian negatif pada sebagian masyarakat. Penganut spiritualitas tasawuf di Aceh melakukan aktifitas-aktifitas spiritual secara rahasia, terbatas dan elite. Di samping itu pemilihan tempat beraktifitas yang cenderung berjarak dengan masyarakat, anti ekspos serta merahasiakan kandungan ajaran menyebabkan mereka relatif eksklusif, terkesan tidak ramah dan mengisolir diri.
Pendekatan dialogis
Banyak lagi kemungkinan yang memperuncing dua variabel di atas, seperti asas kepentingan, isu politik, strata sosial dan sebagainya. Begitupun, diperlukan pendekatan dialogis untuk menciptakan harmoni dalam praktik dan pengamalan keagamaan di Aceh. Ada baiknya telaah yang dilakukan oleh otoritas pemangku keagamaan di Aceh membentuk tim yang kompeten, memiliki kredibilitas, berwawasan dan pernah mengaji tasawuf dalam konteks keacehan.
Tim tersebut melakukan kajian, telaahan komprehensif terhadap teks, ajaran, referensi, historisitas (kesejarahan), sosiologis, dan antropologis untuk menilai aliran spiritualisme tasawuf di Aceh. Tim ini juga berkewajiban melakukan pembinaan, meluruskan dan selalu memantau perkembangan aliran serta membuka ruang konsultasi untuk mereka. Sebaliknya, penganut spiritualisme juga harus bersikap jujur dengan apa yang mereka yakini berupa dogma, teori, amalan, persepsi, referensi dan selalu siap untuk berkonsultasi dan menerima untuk dikritik.
Membangun Aceh secara material dan spiritual diperlukan niat baik, ketulusan, ketakwaan, toleransi dan persaudaraan yang kokoh. Masyarakat Aceh hanya menginginkan ketenangan dalam beribadah dan bermuamalah. Tidak terusik oleh isu-isu yang memecah belah. Meneliti kebenaran setiap berita yang diterima, menghargai kritik dan saran pihak lain, serta tidak saling tuding dan saling hujat. Menyingkirkan egoisme dan tidak merasa paling benar, karena kebenaran hakiki hanya milik Allah swt semata. Wallahu musta’an.
* Zakaria Ilyas, MA, Peminat kajian sosial masyarakat di Aceh/Staf pada Ma’had Khadim al-Haramain As-Syarifain, Banda Aceh. Email: zakariailyas84@yahoo.com