Begitu bermaknanya nilai sejarah bagi bangsa-bangsa besar tersebut di atas, sehingga penghargaan atas sejarah dilakukan secara bertanggung jawab tidak hanya bagi generasi sekarang namun juga generasi yang akan datang.
Bagaimanakah dengan kita?
Rinai hujan mengguyur bumi Bangi sejak pagi. Menyisakan bilur-bilur pada dedaunan. Aku menatap hujan yang tak kunjung berhenti dari balik jendela sebuah perpustakaan. Apakah arti penting sejarah bagi suatu bangsa? Sebegitu pentingkah nilai sejarah bagi suatu bangsa? Apakah sejarah patut menjadi prioritas isu yang seharusnya memperoleh perhatian lebih. Sudahkah kita menghargai sejarah sebagaimana bangsa-bangsa besar tersebut di atas? Pertanyaan tersebut berkecamuk dalam otakku di siang yang redup itu.
Saat itu, aku sedang berada Perpustakaan Tun Seri Lanang (PTSL), perpustakaan milik Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Aku mendapat info dari seorang sahabat bahwa perpustakaan ini menyimpan Manuskrip Aceh di salah satu ruangannya. So, aku menyusuri lantai demi lantai, mencari keberadaan manuskrip tersebut.
Namun waktu bergulir begitu cepat. Aku terlena membaca buku demi buku. Di bagian Koleksi Arab dan Tamadun Islam, aku sempat membaca beberapa buah buku. Begitu juga di bagian History aku sempat membaca sebuah buku tentang Catatan Perjalanan ke Turki. Ketika melihat jam aku terhenyak. Sudah pukul satu siang. Tujuanku ke sini sebetulnya untuk mencari Manuskrip Aceh di perpustakaan ini, dan aku belum mencapai tujuanku itu, malah “mengembara” kemana-mana. Menurut info, ruang tempat penyimpanan manuskrip itu ada di lantai 6. Ketika aku naik lift sampai ke lantai 5, itu adalah lantai teratas, jadi lift mentok di situ. Di papan petunjuk, aku melihat ada gambar tangga menuju ke lantai 6. Tapi mana tangganya? Aku mencari-cari tapi tak kutemukan. Karena sudah kebingungan, lapar, dan ingin sholat zuhur, akhirnya aku menghentikan pencarianku. Makan siang dan sholat zuhur terlebih dahulu di kantin dan mushola. Setelah itu berpikir ulang, apakah aku akan meneruskan mencari Manuskrip Aceh yang konon kabarnya ada di perpustakaan ini, atau menyerah saja? Ya tak boleh lah! Aku kan sudah jauh-jauh datang dari Aceh, masak begitu aja nyerah sih. Orang Aceh kan tak boleh pantang menyerah. So, dengan membulatkan hati dan mengucapkan basmallah, aku bangkit dan berbalik kembali menuju perpustakaan.
Daripada bingung, lebih baik bertanya. Malu bertanya sesat di jalan, ya kan. Segera beranjak menuju meja informasi di lantai 4, lalu kuutarakan maksud dan tujuanku. Petugas mempersilakanku naik ke atas, ke ruang Arkib dan Galeri. Ternyata tangga menuju ke ruang tersebut ada di depan perpustakaan. Ya ampuun, ternyata di sini tho, kenapa dari tadi gak kelihatan ya, padahal udah bolak-balik di depannya. So, aku melangkah dengan semangat 45, naik ke lantai 5, lalu ke lantai 6.
Ruang Arkib dan Galeri adalah ruang yang terpisah. Galeri ada tempat memajang berbagai contoh manuskrip dan buku, sedangkan Arkib adalah tempat menaruh keseluruhan manuskrip dan buku tersebut. Jika kita ingin meminjam, kita harus mengisi formulir dan menyerahkannya pada pustakawan. Lalu pustakawan akan mencari manuskrip atau buku yang kita inginkan di rak-rak penyimpanan. Begitu prosedurnya.
So, aku memasuki ruang Galeri yang memamerkan aneka manuskrip, berbagai penghargaan dan cenderamata. Ruangan yang indah. Tepat di depan pintu masuk, di etalase terpampanglah Manuskrip Aceh yang saya cari selama ini. Lembaran besar berwarna krem yang kelihatannya sudah sangat berumur. Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga.
Hatiku dipenuhi oleh rasa bangga dan haru yang membuncah. Karena aku -atas izin Allah SWT- berhasil melihat langsung manuskrip atau naskah kuno. Suatu benda yang sangat tinggi nilainya dan tentunya teramat berharga. Benda yang diwariskan oleh para Endatu terhadap generasi penerusnya.
Kubaca dengan seksama keterangan yang tersemat di etalase kaca. Betapa terperanjatnya diriku membaca kata “Manuskrip Melayu”. Mengapa “Melayu” dan bukan “Aceh”. Aku lupa bahwa saat itu, antara Melayu dan Aceh adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Melayu ya Aceh, Aceh ya Melayu. Sayangnya seiring berkembangnya zaman, korelasi antara kedua kata itu jadi semakin jauh.
Tak hanya Manuskrip Melayu atau Manuskrip Aceh yang dipamerkan di situ, namun ada beberapa manuskrip lain. Mungkin ada baiknya kurangkaikan apa saja yang telah kulihat dalam ruangan ini.
Koleksi Manuskrip
Bahan-bahan dalam koleksi ini merupakan karya-karya yang bertulis tangan dalam Bahasa Jawi, Arab, dan lain-lain. Manuskrip-manuskrip ini berjumlah 81 judul adalah merupakan naskah-naskah asal dan telah diperoleh dari perseorangan. Merangkum bidang sastra, agama dan sejarah.
1. Koleksi Manuskrip Melayu
Antara lain meliputi:
a. Berbagai bidang mengenai hukum-hukum Islam, termasuk soal-soal ibadat, kehidupan sehari-hari dan cara pemilihan pemimpin-pemimpin rakyat seperti imam,kadi dan ketua mukim.
b. Lembaran yang membicarakan hukum-hukum yang berkaitan dengan hak milik tanah atas rakyat Aceh, serta hukuman-hukuman dikenakan oleh Kerajaan Aceh terhadap orang yang merampas tanah-tanah kepunyaan orang lain.
c. Hukum kapal-kapal asing yang berlayar di perairan Kerajaan Aceh serta kapal-kapal yang datangmembawa barang-barang dagangan ke negeri Aceh. Juga mengenai hukum di atas saudagar-saudagar yang memahalkan barang-barang makanan dan pakaian. Kanun adat bagi orang-orang luar yang masuk ke negeri Aceh dan Menghadap Sultan Aceh.
Nah, ini cuma contoh-contohnya aja. Koleksi secara lengkap ada di Arkib. Kalau mau lihat dan memegang langsung, bisa minta pinjam ke pustakawan. Dari katalog, terdapat 29 judul manuskrip Aceh di dalamnya. Lima di antaranya adalah Sejarah Acheh, Kisah Riwayat Acheh, Kanun Syara’ Kerajaan Acheh Sultan Alauddin, Peta Acheh dan Susunan Kabinet Pemerintahan Acheh, Salasilah Taraf Hulubalang serta Hukum Laut dan Dagang. Jadi Sejarah Kesultanan Aceh antara abad 15 sampai dengan abad 19 ada di sini lho. Subhanalloh. Nah, pada abad-abad tersebut Malaysia berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh.
2. Koleksi Sastra Peranakan Cina/Indonesia
Buku-buku dalam bidang kesusasteraan yang ditulis oleh Cina Peranakan Indonesia di awal 1900. Jumlah buku sebanyak 1343 judul dan merupakan koleksi Cina Peranakan yang terbesar di Malaysia.
Contoh yang dipamerkan adalah buku “Pendekar Wanita Penjebar Bunga” karangan San Hoa Lie Hiap.
Nah bayangkan, Indonesia lagi kan. Sekitar tahun 1900-an pemakaian Bahasa Mandarin pernah dilarang di Indonesia, bahkan buku-bukunya dimusnahkan. Syukurlah di sini masih tersimpan buku-buku berbahasa Cina masih disimpan dengan baik. Sehingga sesiapa yang hendak mencari rujukan bisa belajar ke sini.
3. Koleksi Schacht
Pemiliknya adalah Joseph Schacht (1902-1969), orientalis berbangsa Jerman. Koleksi ini dibeli oleh Perpustakaan Tun Seri Lanang pada 1972 melalui penerbit di Leiden, Belanda. Terkandung dalam koleksi ini adalah bahan-bahan nadir, habis cetak, manuskrip dan bahan-bahan cetakan pertama dari penerbitan klasik. Bidang yang dirangkumnya adalah Al Quran, hadits, Undang-undang Islam, sejarah dan tamaddun Arab, falsafah, sosiologi, geografi ekonomi, pendidikan, bahasa, kesusasteraan dan sains. Sebanyak 3035 judul koleksi 1400 di antaranya terdiri dari kitab-kitab yang tertulis dalam Bahasa Arab, selebihnya Bahasa Inggris, Jerman, dan lain-lain.
Ada hal yang kontradiktif di sini. Yaitu antara “orientalis” dan “Al-Quran serta Undang-undang Islam”. Orientalis di sini maksudnya kan penganut Nasrani. Ngapain beliau belajar Al-Quran. Ingatanku jadi melayang kepada Snock Hurgronye. Tujuannya belajar Islam adalah untuk menghancurkan Islam. Beliau fasih berbahasa Arab dan ikut naik haji. Sehingga warga Aceh percaya kepadanya dan tidak menaruh curiga.
Selain rasa “curiga” aku juga menyimpan rasa kagum kepada Joseph Schacht ini. Karena pengetahuan agama Islamnya begitu luas dan dalam. Sementara aku, hm jadi malu sendiri. Masih sedikit sekali, mungkin baru pinggir-pinggirnya aja kali.
4. Koleksi Harun Aminurrashid
Merupakan koleksi pribadi yang terbesar yang pernah diterima oleh PP UKM. Terdiri dari 3000 naskah buku, majalah, kertas kerja, laporan dan risalah dalam berbagai bidang.
Satu kata yang dapat saya ungkapkan: takjub. Takjub menyadari betapa seriusnya pemerintah Malaysia dalam mencari dan mengumpulkan buku-buku maupun manuskrip yang berkenaan dengan bidang agama, sastra maupun sejarah. Mereka rela bersusah payah mencari dan membeli dengan imbalan yang saya rasa tidak kecil. Tak hanya di Malaysia, bahkan ke Indonesia hingga ke Negeri Belanda. Suatu usaha yang sungguh-sungguh dan patut diacungi jempol.
Apa yang disebut oleh Sulaiman Tripa dalam bukunya Melawan Lupa (2011) memang patut dicerna bahwa sangatlah penting setiap kejadian dicatat dan ditulis agar dapat diingat kejadiannya dari masa ke masa. Adapun manuskrip yang sangat bernilai tersebut merupakan peninggalan yang telah ditulis oleh para pendahulu. Saat mereka menulis, mungkin, mereka berkeyakinan bahwa catatan mereka akan dipelajari dan dimanfaatkan oleh penerus mereka.
Tapi sayangnya, manuskrip-manuskrip tersebut saat ini berada di negara tetangga Malaysia. Siapa yang akan mengembalikan bahan berharga tersebut ke Indonesia secara utuh atau setidaknya dalam bentuk salinan atau kopiannya, lalu kita terjemahkan ke dalam bahasa Aceh, Melayu, Indonesia, dan Inggris?
Mulla Kemalawaty