Pocut Di Biheue bersama suaminya dikenal sebagai figur keluarga Kerajaan Aceh yang anti-Belanda.
POCUT Meurah Intan atau Pocut Di Biheue merupakan keturunan bangsawan Kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue yang berasal dari keturunan Pocut Bantan.
Biheue nama gampông di Kecamatan Muara Tiga, Pidie. Pada masa Kerajaan Aceh, Biheue di bawah naungan Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik akhir abad 19, Biheue menjadi wilayah XII Mukim yang mencakup Pidie, Batee, Padang Tiji, Kalee, dan Laweueng.
Pocut bersuamikan Tuanku Abdul Majid, putra Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah. Mereka mempunyai tiga putra, yaitu Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin.
Menurut catatan dalam Koloniaal Veslag tahun 1905, Pocut Di Biheue bersama suaminya dikenal sebagai figur keluarga Kerajaan Aceh yang anti-Belanda.
Suaminya dijuluki zeerover atau perompak karena kerap menyerbu kapal-kapal Belanda yang lewat di Selat Malaka sekitar Laweueng dan Batee.
Padahal, apa yang dilakukan Abdul Majid adalah tugasnya sebagai pejabat kesultanan untuk mengutip bea cukai di Pelabuhan Kuala Batee. Ini berdasarkan keterangan yang diungkap Zentgraaff, dalam buku Atjeh.
Perlawanan Pocut dimulai saat suaminya ditawan Belanda. Bersama tiga putranya, mereka bergerilya di sekitar Biheue. Belanda pun geram dengan sabotase yang dilakukan pasukan Pocut Meurah Intan dan tiga putranya. Sejumlah perwira Marsose dikerahkan melacak Pocut. Aktivitas patroli pun meningkat.
Kondisi ini membuat pasukan Pocut terdesak.Pada akhir 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap di Tangse, Pidie. Karena tidak mau bertekuk lutut mengakui kehebatan Pemerintah Hindia Belanda, ia dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara.
Setelah itu Marsose tak berhenti mengendus keberadaan Pocut Di Biheue. Akhirnya ketika Tuanku Budiman juga tertangkap, Pocut tinggal sendiri bersama sisa-sisa pasukannya.
Suatu hari di kawasan Padang Tiji mereka bertempur melawan Belanda. Mereka kalah dan Pocut tinggal sendiri. Merasa terdesak, ia menghunus rencong dari pinggangnya dan menyerang Marsose. “Kalau begini, biarkan aku mati,” teriaknya.
Serangan ini mengagetkan18 anggota Marsose yang menyandang senapan dan pedang. Pocut tak peduli. Ia menikam membabi-buta ke kiri dan ke kanan sehingga mengenai tubuh beberapa serdadu. Pocut pun terluka karena pertarungan tak berimbang.
Empat sabetan pedang di kepala dan bahu membuat urat keningnya putus. Ia terkulai di tanah bersimbah darah dan lumpur. Melihat hal itu, seorang sersan bertanya seraya meminta izin komandannya, Veltman, untuk mengakhiri penderitaan Pocut. Ia hendak menembak Pocut hingga meninggal.
Permintaan itu ditampik Veltman. Ia malah membungkuk dan menjulurkan tangan membantu Pocut. Bantuan Veltman dibalas dengan semburan ludah. “Jangan kau pegang aku kaphé (kafir),” ujar Pocut.
Veltman pun meninggalkan srikandi Aceh itu tak berdaya seorang diri. Tak lama, Pocut bangkit dan kembali berniat menyerang Belanda. Rupanya, setelah Veltman pergi, Pocut mengoleskan kotoran lembu ke lukanya.
Veltman lalu membawa dokter ke kediaman Pocut. Saat ia tiba, Veltman melihat Pocut mengerang kesakitan karena banyak kehilangan darah.Tubuh Pocut menggigil. Namun, ia tetap menolak bantuan dokter. “Jangan kau sentuh aku, lebih baik aku mati daripada tubuhku dipegang kaphé,” katanya.
Veltman yang mampu berbahasa Aceh terus membujuk Pocut agar mau diobati. Bujukan berhasil. Pocut mau diobati dengan syarat hanya tentara pribumi dari Marsose yang boleh memegang dan mengoleskan obat pada lukanya.
Usai peristiwa di Padang Tiji, kegigihan Pocut menyebar di kalangan serdadu Belanda. Scheur, seorang komandan Belanda bahkan menemui Pocut dan menabiknya. Veltman member gelar heldhaftig bagi Pocut. Heldhaftiq berarti gagah berani.
Setelah sembuh dari luka, Belanda menjebloskan Pocut ke penjara di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Di penjara ini juga ditahan Tuanku Budiman.
Perjuangan Pocut diteruskan Tuanku Nurdin. Namun, pada 18 Februari 1905, Belanda juga menangkap Tuanku Nurdin di tempat persembunyian di Gampông Lhok Kaju. Setelah itu, Belanda memutuskan mengasingkan keluarga Pocut Di Biheue ke Blora, Jawa Tengah.
Setelah 32 tahun di Blora, Pocut Meurah Intan meninggal pada 19 September 1937. Ia dimakamkan di Blora. Nama Pocut Meurah ditabalkan pemerintah pada taman hutan rakyat di Seulawah Inong.
Menurut Teuku Abdullah Sakti, Dosen Sejarah, FKIP Unsyiah, posisi kepahlawanan Pocut Meurah Intan setara dengan Cut Nyak Dhien. Pocut Meurah, kata Abdullah, sangat layak dijadikan pahlawan nasional.
Pemerintah Aceh masa kepemimpinan Gubernur Ali Hasymi, kata dia,pernah bertandang ke lokasi makam Pocut Meurah Intan di Blora pada 1980-an.
Namun, kini sulit melacak jejak keturunan Pocut di Aceh. “Ada keturunannya di Blora. Saat ini beliau menjadi sipir penjara di situ dan sudah menjadi warga Blora,” ujar Abdullah Sakti.[]
Biheue nama gampông di Kecamatan Muara Tiga, Pidie. Pada masa Kerajaan Aceh, Biheue di bawah naungan Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik akhir abad 19, Biheue menjadi wilayah XII Mukim yang mencakup Pidie, Batee, Padang Tiji, Kalee, dan Laweueng.
Pocut bersuamikan Tuanku Abdul Majid, putra Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah. Mereka mempunyai tiga putra, yaitu Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin.
Menurut catatan dalam Koloniaal Veslag tahun 1905, Pocut Di Biheue bersama suaminya dikenal sebagai figur keluarga Kerajaan Aceh yang anti-Belanda.
Suaminya dijuluki zeerover atau perompak karena kerap menyerbu kapal-kapal Belanda yang lewat di Selat Malaka sekitar Laweueng dan Batee.
Padahal, apa yang dilakukan Abdul Majid adalah tugasnya sebagai pejabat kesultanan untuk mengutip bea cukai di Pelabuhan Kuala Batee. Ini berdasarkan keterangan yang diungkap Zentgraaff, dalam buku Atjeh.
Perlawanan Pocut dimulai saat suaminya ditawan Belanda. Bersama tiga putranya, mereka bergerilya di sekitar Biheue. Belanda pun geram dengan sabotase yang dilakukan pasukan Pocut Meurah Intan dan tiga putranya. Sejumlah perwira Marsose dikerahkan melacak Pocut. Aktivitas patroli pun meningkat.
Kondisi ini membuat pasukan Pocut terdesak.Pada akhir 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap di Tangse, Pidie. Karena tidak mau bertekuk lutut mengakui kehebatan Pemerintah Hindia Belanda, ia dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara.
Setelah itu Marsose tak berhenti mengendus keberadaan Pocut Di Biheue. Akhirnya ketika Tuanku Budiman juga tertangkap, Pocut tinggal sendiri bersama sisa-sisa pasukannya.
Suatu hari di kawasan Padang Tiji mereka bertempur melawan Belanda. Mereka kalah dan Pocut tinggal sendiri. Merasa terdesak, ia menghunus rencong dari pinggangnya dan menyerang Marsose. “Kalau begini, biarkan aku mati,” teriaknya.
Serangan ini mengagetkan18 anggota Marsose yang menyandang senapan dan pedang. Pocut tak peduli. Ia menikam membabi-buta ke kiri dan ke kanan sehingga mengenai tubuh beberapa serdadu. Pocut pun terluka karena pertarungan tak berimbang.
Empat sabetan pedang di kepala dan bahu membuat urat keningnya putus. Ia terkulai di tanah bersimbah darah dan lumpur. Melihat hal itu, seorang sersan bertanya seraya meminta izin komandannya, Veltman, untuk mengakhiri penderitaan Pocut. Ia hendak menembak Pocut hingga meninggal.
Permintaan itu ditampik Veltman. Ia malah membungkuk dan menjulurkan tangan membantu Pocut. Bantuan Veltman dibalas dengan semburan ludah. “Jangan kau pegang aku kaphé (kafir),” ujar Pocut.
Veltman pun meninggalkan srikandi Aceh itu tak berdaya seorang diri. Tak lama, Pocut bangkit dan kembali berniat menyerang Belanda. Rupanya, setelah Veltman pergi, Pocut mengoleskan kotoran lembu ke lukanya.
Veltman lalu membawa dokter ke kediaman Pocut. Saat ia tiba, Veltman melihat Pocut mengerang kesakitan karena banyak kehilangan darah.Tubuh Pocut menggigil. Namun, ia tetap menolak bantuan dokter. “Jangan kau sentuh aku, lebih baik aku mati daripada tubuhku dipegang kaphé,” katanya.
Veltman yang mampu berbahasa Aceh terus membujuk Pocut agar mau diobati. Bujukan berhasil. Pocut mau diobati dengan syarat hanya tentara pribumi dari Marsose yang boleh memegang dan mengoleskan obat pada lukanya.
Usai peristiwa di Padang Tiji, kegigihan Pocut menyebar di kalangan serdadu Belanda. Scheur, seorang komandan Belanda bahkan menemui Pocut dan menabiknya. Veltman member gelar heldhaftig bagi Pocut. Heldhaftiq berarti gagah berani.
Setelah sembuh dari luka, Belanda menjebloskan Pocut ke penjara di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Di penjara ini juga ditahan Tuanku Budiman.
Perjuangan Pocut diteruskan Tuanku Nurdin. Namun, pada 18 Februari 1905, Belanda juga menangkap Tuanku Nurdin di tempat persembunyian di Gampông Lhok Kaju. Setelah itu, Belanda memutuskan mengasingkan keluarga Pocut Di Biheue ke Blora, Jawa Tengah.
Setelah 32 tahun di Blora, Pocut Meurah Intan meninggal pada 19 September 1937. Ia dimakamkan di Blora. Nama Pocut Meurah ditabalkan pemerintah pada taman hutan rakyat di Seulawah Inong.
Menurut Teuku Abdullah Sakti, Dosen Sejarah, FKIP Unsyiah, posisi kepahlawanan Pocut Meurah Intan setara dengan Cut Nyak Dhien. Pocut Meurah, kata Abdullah, sangat layak dijadikan pahlawan nasional.
Pemerintah Aceh masa kepemimpinan Gubernur Ali Hasymi, kata dia,pernah bertandang ke lokasi makam Pocut Meurah Intan di Blora pada 1980-an.
Namun, kini sulit melacak jejak keturunan Pocut di Aceh. “Ada keturunannya di Blora. Saat ini beliau menjadi sipir penjara di situ dan sudah menjadi warga Blora,” ujar Abdullah Sakti.[]