Suaminya merupakan seorang perwira muda yang juga ulama di Aceh. Mereka berkenalan di tempat pendidikan militer.
SEPUCUK surat tiba ke dalam genggaman Cut Nyak Dhien. Surat itu ditulis dalam bahasa Aceh yang indah namun sangat menyayat hati dan perasaan Cut Nyak.
Surat itu berasal dari sahabatnya Tengku Fakinah. Dia merupakan Panglima Sukey (Resimen) Fakinah. Resimen ini memiliki empat balang (batalion) yang di dalamnya merupakan kumpulan pendekar-pendekar wanita tangguh. Balang ini tak pernah menyerah melawan Belanda.
Berdasarkan catatan Ali Hasymi dalam bukunya Wanita Aceh menyebutkan penggalan isi surat itu yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
"... Saya harap kepada Cut Nyak agar menyuruh suaminya, Teuku Umar, untuk memerangi wanita-wanita yang telah siap menanti di Kuta Lamdiran (markas Sukey Fakinah), sehingga akan dikatakan orang bahwa dia adalah panglima berani, Johan Pahlawan seperti yang digelarkan oleh musuh kita Belanda..." tulis Tengku Fakinah.
Pesan yang disampaikan Tengku Fakinah ini secara tidak langsung melecut semangat patriorisme Cut Nyak untuk menyadarkan suaminya, Teuku Umar. Dia juga tak lupa membalas pesan Tengku Fakinah, yang bunyinya antara lain ; "Hati Cut Nyak Dhien tetap seperti sediakala, kami sadar akan langkah suami kami yang telah sesat..."
Cut Nyak Dhien juga mengutus Pang Abdulkarim (Do Karim, penyair), untuk menyampaikan pesan kepada Teuku Umar di Meulaboh.
"Apalagi Pang Karim, sampaikan kepada Teuku Umar bahwa Tengku Fakinah telah siap sedia menanti kedatangan Teuku Umar di Lamdiran. Sekarang, barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi, pria lawan wanita, yang belum pernah terjadi pada masa nenek moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita. Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah dahulu kuperingatkan: janganlah menyusu pada badak..."
Pesan ini sangat menyentuh hati Teuku Umar. Hatta dia kembali berpaling pada perjuangan memerangi bangsa penjajah dengan memboyong persenjataan kompeni yang cukup banyak.
Sikap tegas yang ditujukan Tengku Fakinah ini merupakan semangat heroik perempuan Aceh di masa itu. Sebagai salah seorang Panglima Perang, Tengku Fakinah sangat membenci tindakan pengkhianatan yang dilakukan Teuku Umar. Apalagi suami Cut Nyak membela kafir.
Tengku Fakinah merupakan seorang ulama besar dan pendidik Islam di Aceh Besar. Sebelum peperangan pecah antara Aceh dengan Belanda, dia telah membangun dayah di Lamdiran.
Suaminya merupakan seorang perwira muda yang juga ulama di Aceh. Mereka berkenalan di tempat pendidikan militer. Namanya Tengku Ahmad. Sebelum perang pecah, suami isteri ini mengajar di pusat pendidikan Islam Dayah Lampucok yang dibangun oleh ayah Fakinah.
Pada saat Belanda memulai agresinya terhadap Aceh pada tahun 1873, suami Fakinah, perwira muda Teungku Ahmad ikut bertempur di medan perang Pantai Cermin (Ulee Lheue) di tempat Belanda mendarat. Dalam pertempuran itu, Teungku Ahmad syahid.
Setelah suaminya syahid, Fakinah mengadakan kampanye perang di tengah-tengah kaum wanita. Atas izin Sultan, kemudian Fakinah membentuk pasukan dalam tingkat sukey (resimen) yang diberi nama Sukey Fakinah. Sukey ini terdiri dari empat balang (batalion) dan diisi oleh seluruh pejuang wanita. Dia sendiri menjabat sebagai Panglima Sukey Fakinah.
Di antara empat balang yang menjadi kelengkapan Sukey Fakinah, ada satu balang (batalion) yang seluruh prajuritnya terdiri dari wanita. Sementara balang-balang lain ada pula kawan (kompi) atau sabat (regu) yang komandan dan prajuritnya wanita.
Keempat balang yang berada di bawah pimpinan Fakinah yaitu; Balang Kuta Cotweu, Balang Kuta Lamsayun, Balang Kuta Cotbakgarot, Balang Kuta Bakbale.
Teungku Fakinah dengan sukey-nya ikut bertempur di medan perang dalam wilayah Aceh Rayek. Setelah 10 tahun perang Aceh berlangsung, dia ikut bergerilya bersama Sultan Muhammad Daud, Tuanku Hasyim Bangta Muda, Teungku Muhammad Saman Tiro, dan tokoh lainnya di pedalaman Aceh.
Tengku Fakinah meninggal di tahun 3 Oktober 1933 dalam keadaan renta. Dia dimakamkan di dalam Maqbarah Lamdiran.
Sosok kepahlawanan Teungku Fakinah tidak lekang dimakan usia. Salah satu rumah sakit swasta yang terletak di Geucheu Iniem, Banda Aceh memakai namanya menjadi Rumah Sakit Teungku Fakinah. Selain itu, nama besar Teungku Fakinah juga dipakai sebagai nama lembaga pendidikan Akademi Keperawatan Yayasan Tengku Fakinah yang didirikan pada tahun 1991.[](bna)
Surat itu berasal dari sahabatnya Tengku Fakinah. Dia merupakan Panglima Sukey (Resimen) Fakinah. Resimen ini memiliki empat balang (batalion) yang di dalamnya merupakan kumpulan pendekar-pendekar wanita tangguh. Balang ini tak pernah menyerah melawan Belanda.
Berdasarkan catatan Ali Hasymi dalam bukunya Wanita Aceh menyebutkan penggalan isi surat itu yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
"... Saya harap kepada Cut Nyak agar menyuruh suaminya, Teuku Umar, untuk memerangi wanita-wanita yang telah siap menanti di Kuta Lamdiran (markas Sukey Fakinah), sehingga akan dikatakan orang bahwa dia adalah panglima berani, Johan Pahlawan seperti yang digelarkan oleh musuh kita Belanda..." tulis Tengku Fakinah.
Pesan yang disampaikan Tengku Fakinah ini secara tidak langsung melecut semangat patriorisme Cut Nyak untuk menyadarkan suaminya, Teuku Umar. Dia juga tak lupa membalas pesan Tengku Fakinah, yang bunyinya antara lain ; "Hati Cut Nyak Dhien tetap seperti sediakala, kami sadar akan langkah suami kami yang telah sesat..."
Cut Nyak Dhien juga mengutus Pang Abdulkarim (Do Karim, penyair), untuk menyampaikan pesan kepada Teuku Umar di Meulaboh.
"Apalagi Pang Karim, sampaikan kepada Teuku Umar bahwa Tengku Fakinah telah siap sedia menanti kedatangan Teuku Umar di Lamdiran. Sekarang, barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi, pria lawan wanita, yang belum pernah terjadi pada masa nenek moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita. Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah dahulu kuperingatkan: janganlah menyusu pada badak..."
Pesan ini sangat menyentuh hati Teuku Umar. Hatta dia kembali berpaling pada perjuangan memerangi bangsa penjajah dengan memboyong persenjataan kompeni yang cukup banyak.
Sikap tegas yang ditujukan Tengku Fakinah ini merupakan semangat heroik perempuan Aceh di masa itu. Sebagai salah seorang Panglima Perang, Tengku Fakinah sangat membenci tindakan pengkhianatan yang dilakukan Teuku Umar. Apalagi suami Cut Nyak membela kafir.
Tengku Fakinah merupakan seorang ulama besar dan pendidik Islam di Aceh Besar. Sebelum peperangan pecah antara Aceh dengan Belanda, dia telah membangun dayah di Lamdiran.
Suaminya merupakan seorang perwira muda yang juga ulama di Aceh. Mereka berkenalan di tempat pendidikan militer. Namanya Tengku Ahmad. Sebelum perang pecah, suami isteri ini mengajar di pusat pendidikan Islam Dayah Lampucok yang dibangun oleh ayah Fakinah.
Pada saat Belanda memulai agresinya terhadap Aceh pada tahun 1873, suami Fakinah, perwira muda Teungku Ahmad ikut bertempur di medan perang Pantai Cermin (Ulee Lheue) di tempat Belanda mendarat. Dalam pertempuran itu, Teungku Ahmad syahid.
Setelah suaminya syahid, Fakinah mengadakan kampanye perang di tengah-tengah kaum wanita. Atas izin Sultan, kemudian Fakinah membentuk pasukan dalam tingkat sukey (resimen) yang diberi nama Sukey Fakinah. Sukey ini terdiri dari empat balang (batalion) dan diisi oleh seluruh pejuang wanita. Dia sendiri menjabat sebagai Panglima Sukey Fakinah.
Di antara empat balang yang menjadi kelengkapan Sukey Fakinah, ada satu balang (batalion) yang seluruh prajuritnya terdiri dari wanita. Sementara balang-balang lain ada pula kawan (kompi) atau sabat (regu) yang komandan dan prajuritnya wanita.
Keempat balang yang berada di bawah pimpinan Fakinah yaitu; Balang Kuta Cotweu, Balang Kuta Lamsayun, Balang Kuta Cotbakgarot, Balang Kuta Bakbale.
Teungku Fakinah dengan sukey-nya ikut bertempur di medan perang dalam wilayah Aceh Rayek. Setelah 10 tahun perang Aceh berlangsung, dia ikut bergerilya bersama Sultan Muhammad Daud, Tuanku Hasyim Bangta Muda, Teungku Muhammad Saman Tiro, dan tokoh lainnya di pedalaman Aceh.
Tengku Fakinah meninggal di tahun 3 Oktober 1933 dalam keadaan renta. Dia dimakamkan di dalam Maqbarah Lamdiran.
Sosok kepahlawanan Teungku Fakinah tidak lekang dimakan usia. Salah satu rumah sakit swasta yang terletak di Geucheu Iniem, Banda Aceh memakai namanya menjadi Rumah Sakit Teungku Fakinah. Selain itu, nama besar Teungku Fakinah juga dipakai sebagai nama lembaga pendidikan Akademi Keperawatan Yayasan Tengku Fakinah yang didirikan pada tahun 1991.[](bna)