Matanya sudah mulai rabun dan dia diserang encok. Jumlah pasukannya pun terus berkurang serta sulit sekali memperoleh makanan.
"SEBAGAI perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid," ujar Cut Nyak Dhien usai menampar buah hatinya Cut Gambang yang menangis saat mengetahui Teuku Umar syahid ditembak Belanda, 11 Februari 1899. Cut Nyak kemudian memeluk Cut Gambang.
Setelah kepergian Teuku Umar, pimpinan perang di pantai barat Aceh diambil alih Cut Nyak Dhien. Bersama sisa pasukan suaminya, Cut Nyak bergerilya dari satu medan ke medan pertempuran lainnya.
Dua tahun sejak kematian Teuku Umar, akhirnya perjuangan Cut Nyak bersama pasukan Aceh mulai terdesak akibat tentara Belanda sudah terbiasa berperang di daerah ini. Cut Nyak pun semakin renta.
Matanya sudah mulai rabun dan dia diserang encok. Jumlah pasukannya pun terus berkurang serta sulit sekali memperoleh makanan.
Kondisi Cut Nyak mendatangkan rasa iba bagi sisa pasukannya. Salah satu anak buahnya bernama Pang Laot melaporkan lokasi markas Cut Nyak kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.
Serangan ini mengejutkan pejuang Aceh. Begitu pula dengan Cut Nyak Dhien yang menyambar rencong untuk melawan musuh. Perlawanan Cut Nyak Dhien berhasil dihentikan Belanda. Dia ditangkap sementara putrinya Cut Gambang, berhasil melarikan diri ke hutan belantara. Cut Gambang kemudian meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Cut Nyak Dhien kemudian diboyong ke Kutaradja (Banda Aceh) dan mendapat perawatan medis untuk penyakit yang dideritanya. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh.
Tak lama kemudian, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan ini dilakukan Belanda karena ketakutan kompeni terhadap semangat yang bisa diciptakan Cut Nyak dalam memicu perlawanan pejuang Aceh kepada mereka. Apalagi saat itu, Cut Nyak Dhien masih terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Ia kemudian dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lainnya. Di dalam tahanan, Cut Nyak mendapat julukan Ibu Perbu karena wawasan dan pemahamannya terhadap Islam sangat kental.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makamnya baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Cut Nyak diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Kisah perjuangan Cut Nyak diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
Sementara peninggalan Cut Nyak di Aceh yaitu Rumoh Cut Nyak Dhien di Lampisang, Peukan Bada. Rumah itu merupakan benda cagar budaya yang dilestarikan dan mengundang minat wisatawan pecinta sejarah Aceh. Perjuangan Cut Nyak melawan Belanda menjadikan namanya bersanding dengan tokoh-tokoh wanita dunia.[](bna)
Setelah kepergian Teuku Umar, pimpinan perang di pantai barat Aceh diambil alih Cut Nyak Dhien. Bersama sisa pasukan suaminya, Cut Nyak bergerilya dari satu medan ke medan pertempuran lainnya.
Dua tahun sejak kematian Teuku Umar, akhirnya perjuangan Cut Nyak bersama pasukan Aceh mulai terdesak akibat tentara Belanda sudah terbiasa berperang di daerah ini. Cut Nyak pun semakin renta.
Matanya sudah mulai rabun dan dia diserang encok. Jumlah pasukannya pun terus berkurang serta sulit sekali memperoleh makanan.
Kondisi Cut Nyak mendatangkan rasa iba bagi sisa pasukannya. Salah satu anak buahnya bernama Pang Laot melaporkan lokasi markas Cut Nyak kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.
Serangan ini mengejutkan pejuang Aceh. Begitu pula dengan Cut Nyak Dhien yang menyambar rencong untuk melawan musuh. Perlawanan Cut Nyak Dhien berhasil dihentikan Belanda. Dia ditangkap sementara putrinya Cut Gambang, berhasil melarikan diri ke hutan belantara. Cut Gambang kemudian meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Cut Nyak Dhien kemudian diboyong ke Kutaradja (Banda Aceh) dan mendapat perawatan medis untuk penyakit yang dideritanya. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh.
Tak lama kemudian, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan ini dilakukan Belanda karena ketakutan kompeni terhadap semangat yang bisa diciptakan Cut Nyak dalam memicu perlawanan pejuang Aceh kepada mereka. Apalagi saat itu, Cut Nyak Dhien masih terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Ia kemudian dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lainnya. Di dalam tahanan, Cut Nyak mendapat julukan Ibu Perbu karena wawasan dan pemahamannya terhadap Islam sangat kental.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makamnya baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Cut Nyak diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Kisah perjuangan Cut Nyak diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
Sementara peninggalan Cut Nyak di Aceh yaitu Rumoh Cut Nyak Dhien di Lampisang, Peukan Bada. Rumah itu merupakan benda cagar budaya yang dilestarikan dan mengundang minat wisatawan pecinta sejarah Aceh. Perjuangan Cut Nyak melawan Belanda menjadikan namanya bersanding dengan tokoh-tokoh wanita dunia.[](bna)