Kamis, 31 Januari 2013

Beranda » » Kekhalifahan Abbasiyah; Minat Intelektual dan Perkembangan Mazhab Hukum

Kekhalifahan Abbasiyah; Minat Intelektual dan Perkembangan Mazhab Hukum


(Ketua PB HMI)
Sejarah perjuangan umat Islam dalam pentas peradaban dunia berlangsung sangat lama sekitar 13 abad sejak masa kepemimpinan Rasulullah Saw di Madinah (622-632 M); masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M); masa Daulat Umayah (661-750M) dan masa Daulat Abbasiyah (750-1258 M) sampai tumbangnya Kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun 1342 H/1924 M, dimana masa-masa kejayaan dan puncak keemasannya melahirkan banyak ilmuwan muslim berkaliber internasional yang telah menorehkan karya-karya luar biasa dan bermanfaat bagi umat manusia yang terjadi selama kurang lebih 700 tahun, dimulai dari abad 6 M sampai dengan abad 12 M. Pada masa tersebut, kendali peradaban dunia berada pada tangan umat Islam.[1]
Di zaman Umayah usaha yang dilakukan adalah memperluas wilayah kekuasaa (dakwah) yang meliputi wilayah Asia Kecil, Romawi, kawasan Afrika Utara dan Andalusia, kawasan Timur Laut yaitu negeri-negeri yang terletak diantara dua sungai Jihun dan Sihun, sampai daerah Sind di kawasan tenggara. Perluasan wilayah dakwah disektor ini mengalami kemunduran seiring dengan melemahnya kekhalifaan Umayah diakhir masa kekuasaannya[2] dan dilanjutkan oleh daulat Abbasiyah.
Usaha perluasan wilayah dakwah memang sudah dirintis dan dimulai semenjak masa Nabi dan dilanjutkan oleh para khulafa rasyidin. Umat Islam menyebut usaha perluasan wilayah dakwah ini sebagai al-fath (al-futuh) yang berarti pembebasan, karena dalam aktifitas perluasan wilayah itu terdapat misi Islam untuk membebaskan manusia dari segala belenggu dan tirani perbudakan terhadap manusia, kecuali belenggu penghambaan kepada Yang Maha Tinggi.
Masa kekuasaan daulat Abbasiyah yang berlangsung lebih dari lima abad (750-1258 M) dinilai sebagai kekhalifaan Islam yang mencapai tingkat tamaddun yang menakjubkan dimana dakwah Islam di masa ini dapat mengembangkan ajarannya secara lebih luas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.[3]
Dinati bani Abbas atau khilafah Abbasiyah merupakan kekhalifaan Islam yang “mewarsi” kekuasaan kekhalifaan Umayah. Dinasti ini di dirikan oleh Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdillah bin Abbas. Dalam rentang waktu masa kekuasaannya, pola pemerintahan yang diterapkan selalu mengalami perubahan yang disesuaikan dengan perubahan sosial, politik, dan budaya.[4] Perubahan-perubahan politik, sosial dan budaya dalam masa lima ratus tahun lebih tersebut membagi daulah Abbasiyah dalam lima periode; Periode I 132 H/750 M – 232 H/847, periode II 232 H/847 M 334 M 945 M, periode III 334 H/945 M – 447 M/1055 M, periode IV 447 H/1055 M – 590 H/1194 M, periode V tahun 590 H/1194 M – 656 H/1258 M.[5]
Pada masa Abbasiyah I usaha perluasan wilayah kekuasaan tidak banyak dilakukan karena difokuskan untuk melakukan pembinaan dan penataan terhadap wilayah-wilayah yang telah dikuasai, terutama pembinaan dalam sektor politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Mesir yang telah menjadi salah satu wilayah kekuasaan dan aktifitas dakwah Islam semenjak zaman Khulafaurrasyidin, dikembangkan menjadi basis dakwah untuk wilayah bekas jajahan kerajaan Romawi Timur di sekitar Laut Tengah.[6]
Pada masa ini kota Baghdad, Basrah dan Kuffah merupakan pusat-pusat kegiatan dakwah dalam arti yang luas. Penguasa kekhalifaan Abbasiyah I adalah para pecinta ilmu dan sangat memuliakan ulama-ulama serta para pujangga. Para putera khalifah diberikan pendidikan khusus oleh ulama dan pujangga dengan harapan mendapat pengetahuan keagamaan yang luas dan kelak akan menjadi ulama dan pujangga.[7]
Kebebasan berfikir merupakan ciri khas dari periode ini, dan para khalifah sengaja membiarkan hal ini tetap terjadi. Perbedaan berfikir ini nampak pada beberapa petinggi kekhalifaan yang berbeda aliran, seperti Khalifah al-Makmun yang beraliran syai’ah, sedangkan Perdana Menteri Yahyan bin Aksam beraliran sunnah dan seorang menteri bernama Ahmad bin Abu Daud beraliran Muktazilah.[8] Demikian berkembangnya kemerdekaan berfikir di zaman itu sehingga seseorang tidak boleh dipaksa menganut satu aliran tertentu.[9] Pada masa ini juga dilakukan pengembangan dakwah kedaerah-daerah India yang beragama Hindu yang pernah dilakukan pada masa sebelumnya.
Pada masa khalifah Mansur, Hisyam bin Amru diangkat menjadi gubernur di Sind dengan tugas melanjutkan pengembangan dakwah ke daerah-daerah lain, sehingga pada masa ini wilayah dakwah Islam telah sampai di Kasymir. Sementara pada masa al-Mahdi (158-169 H/775-785 M) angakatan dakwah dan angakatan perang Islam melakukan kampanye besar ke daerah-daerah India lainnya. Dakwah Islam terus meluas ke India pada masa al-Makmun, sementara pada masa al-Muktasim, dakwa Islam terus berkembang di negeri-negeri yang terletak antara Kabul, Kasymir, dan Miltan.[10]
Masa Abbasiyah II di mulai dengan kepemimpinan khalifah Mutawakil tahun 232 H (847 M) dan berakhir dengan khalifah Muthi tahun 334 H (946 M). Periode ini ditandai dengan kuatnya pengaruh keturunan Turki dalam urusan-urusan kenegaraan.[11] Kuatnya pengaruh dan tekanan keturunan Turki dalam kekhalifaan mengakibatkan terjadinya kelemahan secara politik sehigga kedudukan khalifah dianggap tidak memiliki arti penting. Meskipun mengalami kelemahan dalam kekuasaan politik, dalam bidang pendidikan, kebudayaan dan terutama ilmu pengetahuan, terus mengalami kemajuan-kemajuan yang mengagumkan dan menampilkan corak yang baru.
Pembinaan ilmu yang dirintis sejak zaman khulafaurasyidin dan di lanjutkan oleh masa Umayah kembali mendapat perhatian yang serius sehingga semua cabang ilmu pengetahuan berkembang secara pesat, diantaranya; Ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadis, ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu nahwu, ilmu lughah, ilmu bayan, ilmu adab, ilmu falsafah, ilmu kedokteran, ilmu kimia dan ilmu-ilmu lainnya.[12]
Pada periode Abbasiyah III, kekuasaan politik tidak mengalami kemajuan yang berarti, bahkan terus mengalami kemunduran, tetapi dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan terus berkembag bahkan melebihi zaman sebelumnya. Zaman ini memiliki beberapa prestasi diantaranya; matangnya ilmu pengetahuan yang ditandai oleh adanya kitab-kitab kamus, adanya gaya baru dalam aktifitas mengarang, matangnya filsafat, dibinanya prinsip-prinsip berbagai ilmu, lahirnya risalah Ikhwanus Safah, lahirnya Mausu’at semacam ensiklopedia atau dairatul ma’rifat, tumbuhnya aneka ragam ilmu lebih dari 300 macam, adanya ilmu pendidikan rumah tangga, lahirnya kitab-kitab ilmu politik, lahirnya ilmu politik ekonomi dan ilmu sosiologi.[13]
Masa Abbasiyah IV dimulai dengan masuknya kekuatan bersenjata Saljuk ke Bagdad pada tahun 447 H (1075 M) dan berakhir dengan masuknya Baghdad dalam kekuasan Mogul pada tahun 656 H (1261 M). Periode ini ditandai dengan perkembangan serta pembaruan sistem pendidikan sehingga terbentuklah madrasah Nidhamul Muluk dan Nidhamiyah di Baghdad. Di periode pula lahir sejumlah pujangga dan pengarang besar seperti Ibnu Qaladis, Kamaludin Ibnu Nabih, Jamaludin Ibnu Mathur, Abu Mansur al-Jawaliqy, serta sejumlah ilmuan dan pujangga lainnya.[14]
Sedangkan pada masa Abbasiyah V yang dimulai sejak 590-656 H/194-1258 M, kekhalfiaan Abbasiyah telah terlepas dari berbagai pengaruh dinasti-dinasti Islam yang lain (dinasti-diasti kecil yang akhirnya memisahkan diri dari pusat pemerintahan di Baghdad), namun kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad, dan praktis megalami kemunduran yang cukup drastis sebelum akhirnya di invasi oleh pasukan tentara Mogol.
Ulama dan Institusionalisasi Pemahaman Hukum
Secara umum aktifitas dakwah pada dinasti Abbasiyah terjadi dalam dua level, yakni level negara atau penguasa dan level masyarakat.
Para khalifah Abbasiyah masa keemasan adalah ulama yang memiliki perhatian dan cinta terhadap ilmu pengetahuan. Mereka selalu mendorong dan memfasilitasi upaya-upaya penerjemahan ilmu dari berbagai bahasa, melakukan perluasan dan menambah wilayah dakwah, mendorong dan memfasilitasi pembaruan sistem pendidikan dengan munculnya Madrasah Nidzamul Muluk dan Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad.[15]
Pada level masyarakat, aktifitas dakwah mengalami berkembang secara positif. Ketika politik kekuasaan negara mulai melemah, namun tidak mengganggu aktifitas dakwah dalam masyarakat. Masjid-masjid dan sekolah-sekolah selalu penuh dengan kejian ilmiah. Para ulama pada masa ini memiliki peranan dan pengaruh yang cukup besar bahkan terkadang mengalahkan pengaruh para khalifah.[16] Diantara kebanggaan periode Abbasiyah adalah lahirnya empat pendiri mazhab hukum dalam Islam yang pengaruhnya masih ada sampai sekarang.
Mazhab-mazhab hukum berakar pada kelompok-kelompok ulama akhir abad ketujuh yang teguh pada doktrin hukum dan metode analisis hukum. Sekitar abad kesembilan mazhab-mazhab tersebut telah benar-benar berdiri sebagai agen-agen administrasi hokum dan menyebar luas ke seluruh wilayah Abbasiyah.
Mazhab hukum Hanafi bermula di Irak dan dalam waktu yang sangat singkat telah tegak di Iran Barat dan Transoxinia. Mazhab Syafi’i pertama kali berkembang di Mesir, tetapi sekitar abad kesepuluh mazhab ini berkembang di Syiria, Baghdad dan seluruh kota-kota penting di Iran Barat, Khurasan, dan Transoxania.
Mazhab-mazhab tersebut disatukan oleh para penuntut ilmu (murid) yang berdatangan dari jauh untuk belajar dengan sang guru serta keinginan mendapatkan sertifikasi yang mengesahkan pengetahuan mereka atas sejumlah kitab-kitab yang telah dipelajari. Setelah mendapatkan pengetahuan yang cukup dari sejumlah guru yang berbeda, seorang murid yang telah cakap akhirnya berguru kepada seorang guru besar yang akan menjadikannya seorang murid yang berhasil. Aktifitas ini berlangsung secara informal namun efektif untuk menjaga identitas dari mazhab-mazhab yang berkembang.[17]
Dari sisi yang lain kurikulum madrasah mengalami perkembangan yang bervariasi, namun mayoritas pengajarannya adalah masalah hukum. Dalam waktu singkat, pendidikan madrasah dijadikan standar bagi umat muslim – khususnya sunni –sebagai sayarat keanggotaan organisasi keagamaan dan aktivitas legal lainnya. Madrasah juga menjadi pusat-pusat pengajaran mazhab hukum Islam serta gerakan keagamaan yang sangat popular.
Mazhab Hambali adalah mazhab yang pertama kali secara informal masuk menjadi sebuah gerakan sektarian dan sangat berpengaruh. Mazhab ini menolak upaya khalifah Abbasiyah untuk mengesahkan sebuah doktrin keagamaan. Mereka menolak klaim khalifah al-Makmun atas otoritas keagamaan dan mereka bersitegas bahwa ketundukan kepada khalifah hanya berlaku untuk urusan kenegaraan, sedangkan otoritas keagamaan berada di tangan ulama. Sepanjang abad kesembilan dan kesepuluh, juru dakwah Mazhab Hambali terus menerus meningkatkan sejumlah demonstrasi untuk menentang kebijakan khalifah, sehingga warga Hambali tumbuh menjadi sebuah partai yang sangat sibuk dengan upaya memberlakukan pandangan keagamaan mereka sendiri.[18]
Nizam al-Mulk, wazir terkemuka di periode Saljuk (1063-1092 M) memberlakukan madrasah Hanafi dan Syafi’i diseluruh kota-kota utama di wilayah imperium dan menjadikan sejumlah kebijakan negara untuk membantu organisasi keilmuan Muslim. Warga Hambaliyah dan Syafi’iyah di beberapa kota di Iran telah menjadi ashahiyah, komunitas-komunitas kecil yang bersikap eksklusif dan saling bermusuhan. Dalam kekacauan seperti ini, mazhab-mazhab tersebut menyerupai kelompok ketegangan dan keturunan yang mengakibatkan kota-kota di Timur Tengah terpecah belah. Sekarang agama menggantikan identitas kesukuan dan identitas perkampungan.[19] Sementara itu di Nizhapur Mazhab Hanafi berkembang dikalangan pedagang besar, lawan utama meraka adalah mazhab Syafi’iyah yang menguasai sejumlah sistem pengajaran madrasah dan pendapatan sejumlah dana shadaqah.
Demikianlah di beberapa tempat mazhab-mazhab hukum telah berkembang dari kelompok keilmuan dan wilayah administrasi hukum menjadi gerakan-gerakan komunal. Dalam lingkungan madrasah, ulama sebagai sebuah badan mendirikan sarana-sarana institusional untuk menegakan sistem keagamaan dan pengajaran hukum. Mazhab-mazhab tersebut juga memobilisir dukungan masyarakat umum dan para hakim serta guru besar yang berpengaruh untuk kepentingan menyebarluaskan doktrin mazhab mereka.
Catatan Akhir
Periode dinasti Abbasiyah tercatat sebagai kekhalifaan Islam yang berkontribusi besar menanamkan benih-benih intelektual dan dianggap sebagai periode keemasan dalam kekhalifaan Islam. Perkambangan kekuasaan Abbasiyah tidak hanya dalam perluasan wilayah secara administratif dan geografis, tetapi jauh lebih penting adalah kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang kelak menjadi warisan peradaban dunia modern, bahkan menjadi fakta sejarah yang tidak terbantahkan.
Hal terpenting yang ditangkap dalam perkembangan peradaban tersebut adalah minat intelektual yang cukup tinggi dari para penguasa kekhalifaan. Perbedaan pemahaman dan sekaligus pilihan menganut mazhab” yang berbeda tidak menjadi penghalang apalagi sumber konflik. Kondisi ini cukup berdampak pada meningkatnya kreatifitas berfikir masyarakat sehingga mampu memproduksi berbagai macam pemikiran yang menjadi sumbangsih bagi pembentukan peradaban yang besar pada zamannya.

[1] Budi Suherdiman Januardi, Jejak Kegemilangan Umat Islam dalam Pentas Sejarah Dunia, dalam, http://www.kampusislam.com


[2] Lebih lengkapnya lihat, Wahyu Ilahi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, h. 109-111
[3] A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Bulan Bintang, Jakarta, t.tt), h. 350
[4] Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Ed;I, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006), h. 49
[5] Ibid
[6] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikhul Islam As Siyasy, Jilid II, h.169
[7] A. Hasjmy, Op.Cit, h. 352
[8] Ibid
[9] Kebebasan berfikir ini contohnya bisa dilihat pada keluarga Abu Ja’di yang berputera enam, dua di antara mereka bermazhab Syi’ah, dua bermazhab Murjiah, dan dua lainnya bermazhab Khawarij. Lihat Jarji Zaidan, Tarikhu Adabil Lughah Al Arabiyah, Jilid II, h. 20
[10] A. Hasjmy, Op.Cit, h. 355
[11] Jarji Zaidan, Op.Cit, h. 20
[12] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikhul Islam As Siyasy, Jilid III, h. 330
[13] Jarji Zaidan, Tarikhu Adabil Lughah Al Arabiyah, Jilid III, h. 8-10
[14] A. Hasjmy, Op.Cit, h. 366
[15] Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Cet I, Kencana, Jakarta, Oktober 2007, h. 120
[16] Ibid, h. 120-121
[17] A History of Islamic Societies, terjemahan Indonesia oleh Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam, (Edisi; I, Cet;I, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1999), h. 251
[18] Ibid, h. 254
[19] Ibid, h. 255

Rully Asrul Pattimahu