Kamis, 31 Januari 2013

Beranda » » Neoliberalisme, Ikatan Ideologis dan Pancasila

Neoliberalisme, Ikatan Ideologis dan Pancasila

Mengapa harus Pancasila? Pertanyaan itu dilontarkan berulang kali dalam sejarah politik republik ini. Pada masa pendirian bangsa, pertanyaan itu adalah pertanyaan filsafat mengenai grondwet yang menjadi dasar konstitusi republik. Pada masa orde baru, pertanyaan itu adalah pertanyaan politik dari kelompok-kelompok agama soal asas tunggal. Permasalahannya, dewasa ini, pertanyaan itu sepertinya hendak diselesaikan. Berhadapan dengan kekuatan fundamentalisme agama yang menguat, Pancasila ingin ditahbiskan sebagai harga mati politik.
Gugatan terhadap Liberalisme
Tidak banyak yang tahu, Pancasila sendiri lahir sebagai sebuah pertanyaan. Pancasila lahir sebagai pertanyaan keras tentang keabsahan sebuah ideologi mapan bernama liberalisme. Dalam salah satu rapat BPUPKI Soekarno menghentak:” apa guna grondwet kalau ia tak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan, maka karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong menolong, paham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkan tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya.” (Yamin, 1959)
Liberalisme memang ideologi yang cair dan dinamis. Bermula dari kemuakan kaum pedagang terhadap monopoli ekonomi oleh kalangan aristokrat (liberalisme klasik), liberalisme berubah menjadi ideologi politik yang mengatur hubungan negara dan warganya. Pada tahun 1930 muncul istilah ”neoliberalisme”. Neoliberalisme adalah ideologi politik yang ingin mengembalikan prinsip-prinsip lama liberalisme di tengah dominasi paham kolektivisme, kebangsaan dan sosialisme. Bagi neoliberalisme pilihan hanya dua: kebebasan atau perbudakan. Perlindungan terhadap hak individu berarti penyangkalan terhadap kolektivitas dalam ekonomi, sosial, budaya dan politik. Neoliberalisme menyerang secara frontal ekonomi perencanaan (planned economy) dan negara totalitarian (totalitarian state). Negara tidak boleh campur tangan terhadap urusan pribadi selain menjaga agar berbagai urusan pribadi tersebut tidak saling silang dan bersitegang.
Neoliberalisme memiliki empat prinsip pokok yang sama penting (Turner, 2008: 4-5). Pertama, neoliberalisme menekankan pentingnya pasar sebagai mekanisme untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan melindungi kebebasan individu. Neoliberalisme yakin bahwa pasar yang tidak diintervensi mampu menghasilkan tatanan alamiah dalam masyarakat melalui pertukaran bebas barang dan jasa yang mempromosikan efisiensi, kemakmuran bersama dan kebebasan. Kedua, neoliberalisme berpegangan pada rechtsstaat (negara hukum). Rechtsstaat adalah instrumen hukum untuk mengatur relasi yang bersitegang antara individu-individu otonom pada masyarakat ekonomi. Fungsi dari rechtsstaat adalah menjamin kohesi sosial dan stabilitas melalui perlindungan terhadap kebebasan individu. Ketiga, neoliberalisme mempromosikan gagasan negara minimal (minimal state). Neoliberalisme menegaskan bahwa prinsip laissez-faire harus diterjemahkan ke dalam fungsi negara yang terbatas pada tiga hal yaitu mengamankan hukum dan ketertiban, menyediakan barang publik dan melindungi pasar bebas. Negara boleh saja ikut menyediakan barang publik, namun fungsi itu hanya boleh dilangsungkan apabila tidak ada kepentingan pihak swasta dalam penyediaan tersebut. Keempat, neoliberalisme mengedepankan institusionalisasi milik pribadi (private property). Bagi neoliberal institusionalisasi milik pribadi dan pasar bebas adalah kendaraan bagi desentralisasi pengambilan keputusan dalam masyarakat. Prinsip ini begitu sentralnya sampai seorang Ekonom Austria, Ludwig von Mises, berkata, ”program liberalisme jika dikerucutkan menjadi satu kata akan berbunyi ”properti”, alias kepemilikan pribadi atas sarana produksi, semua tuntutan lain dari liberalisme diturunkan dari tuntutan fundamental tersebut.” (Mises, 1985: 21)
Persoalannya, neoliberalisme abai terhadap perbedaan antar individu dalam mengaksentuasi hak-hak demokratisnya. Demokrasi pun menjadi pasar bebas dimana kelompok yang kuat dapat memakai perangkat demokratis untuk menekan yang lemah. Di sini gagasan demokrasi terpimpin dari Soekarno menjadi masuk akal. Soekarno menginginkan agar sebelum emansipasi ekonomi dan sosial terwujud, demokrasi harus dijaga agar jangan sampai menjadi alat bagi yang kuat untuk menyingkirkan yang lemah. Soekarno berkata, ”pemakaian demokrasi oleh jang kuat harus dibatasi. Ini berarti, bahwa demokrasi kita untuk sementara haruslah demokrasi yang mendjaga djangan ada eksploitasi oleh satu golongan terhadap golongan jang lain. Ini berarti bahwa demokrasi kita untuk sementara haruslah demokrasi terbimbing, demokrasi terpimpin—geleide democratie, jang dus tidak berdiri di atas faham-fahamnya liberalisme.” (Yamin, 1959)
Bagi Soekarno, percuma kita bebas secara politik apabila sistem ekonomi kita mengasingkan satu sama lain dan menyembunyikan perbudakan. Jelas tergurat dalam pikiran Soekoarno di atas, sebait tesis Marx soal hak. Marx dalam artikelnya berjudul “On Jewish Question” menetah tesis bahwa emansipasi politik tanpa emansipasi manusia adalah kesia-siaan. Hak individu justru mengasingkan manusia dengan sesamanya. Egoisme manusia di bawah panji kapitalisme membuat hak-hak individu tak ubahnya benteng yang mesti dijaga dengan cara apa pun, Solidaritas, tepa selira, gotong royong menjadi kosakata asing dalam situasi sedemikian. Sebelum manusia dibebaskan dari belenggu kapitalisme, hak-hak politik individu hanya akan berupa secara secarik kertas tanpa makna.
Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyitir salah satu pemimpin Prancis, Jean Jaures. Beliau berkata, ”wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu di dalam parlemen dapat mendjatuhkan minister. Ia seperti Radja! Tetapi di dalam dia punja tempat bekerdja, di dalam paberik—sekarang ia mendjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke djalan raja, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa.”
Pancasila pun lahir dari sengketa antara kelompok nasionalis dan agama. Kelompok nasionalis menuntut dihapuskannya frase “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” dari rumusan pancasila yang termaktub dalam piagam Jakarta. Sementara, kelompok Islam bersikeras mempertahankannya. Kelompok nasionalis mencemaskan sektarianisme yang memecah-belah. Sementara, kelompok agama mencemaskan gelagat sekularisme dalam gerak politik kelompok nasionalis.
Sengketa itu berujung pada kompromi. Itu terjadi setelah pertemuan Hatta pada tanggal 18 Agustus dengan beberapa tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Hasan. Kompromi antara kedua pihak membuat dihapuskannya tujuh kata sebagai embel-embel di sila ketuhanan dan digantikan dengan “Yang Maha Esa”. Bagi kelompok Islam, frase “Yang Maha Esa” adalah saddle point yang cukup memuaskan. Toh, semangat tauhid yang cukup keras masih tertuang dalam dasar negara.
Meski demikian, Soekarno jauh-jauh hari mengingatkan bahwa Ketuhanan jangan terjangkiti oleh liberalisme dan menjadi sebentuk ”egoisme agama”. Soekarno berpesan agar bangsa ini ber-Tuhan secara kebudayaan. Ber-Tuhan secara kebudayaan adalah ber-Tuhan yang mengedepankan sifat toleransi, solidaritas dan keterbukaan. Soekarno berkata, ”marilah kita amalkan, djalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan tjara yang berkeadaban..ialah hormat-menghormati satu sama lain.” (pidato 1 Juni 1945)
Lepas dari silang sengketa di atas, segurat pertanyaan pun tersisa: ”apakah Pancasila sungguh tidak bisa bergandengan tangan liberalisme?” Sebagai acuan tertinggi konstitusi republik, Pancasila ternyata diikuti oleh UUD 45 yang mengatur sederet hak individu. Bahkan, sebagian kalangan meyakini bahwa semangat HAM dalam UUD 45 mendahului Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Republik ini bahkan pernah memiliki UUD yang sangat liberal yakni UUD RIS 1949. Dalam UUD RIS 1949 Hak Asasi Manusia diatur sedemikian detil dan gamblang. Bahkan, dalam UUD RIS 1949 pasal 18 kebebasan orang untuk bertukar agama pun dijamin.
Pertanyaannya, apakah Pancasila sungguh memberi ruang bagi denyut liberalisme atau pelbagai rumusan dalam pelbagai UUD di atas semata kebetulan sejarah? Saya berani bertaruh ruang yang diberikan itu bukan semata kebetulan sejarah. Ruang tersebut adalah buah pergulatan filosofis yang matang. Hatta, misalnya, jauh-jauh hari sudah menekankan perlunya individualisme diberi tempat. Pada satu kesempatan, Hatta mengatakan, “memang kita harus menentang individualisme, tetapi suatu hal yang saya kuatirkan, kalau tidak ada satu keyakinan atau pertanggungan kepada rakyat dalam UUD mengenai hak mengeluarkan suara”.
Toh, Hatta tetap mensyaratkan keadilan sosial sebagai dasar terjaminnya hak-hak individu. Baginya, hak bersuara adalah sia-sia ketika sang pemilik hak miskin, bodoh dan berpenyakitan. Hanya melalui pertautan hak individu dengan keadilan sosial lah, Pancasila bisa berdamai dengan liberalisme. Salahkah Hatta? Mungkinkah sebuah pikiran yang menurut Soekarno anti liberal memberi ruang bagi prinsip-prinsip liberal? Pertanyaan-pertanyaan itu justru mengukuhkan bahwa pancasila bukan harga mati. Pancasila dipertanyakan karena masih menjanjikan sesuatu yang lain dalam tubuh politiknya.
Hatta tidak salah. Liberalisme memang telah membenahi lemari bajunya sendiri. Para liberal revisionis sadar bahwa kebebasan individu menuntut kemampuan yang bersangkutan untuk mengaksentuasinya. Kemampuan setiap individu berpulang pada distribusi resources yang merata dan adil. Kebebasan adalah pilihan dan orang miskin dan kelaparan tidak bisa memilih untuk menyendok makanan. Demokrasi adalah ruang politik yang paling ideal bagi pilihan. Pijakan konstitusional demokrasi mesti menjamin pilihan tersebut bagi mereka yang lemah secara sosial. Lalu, apa pilihan kita soal pijakan konstitusional saat ini.
Tali Pengikat Ideologi?
Sejarah republik ini mencatat bahwa pascakolonialisme, politik membagi dirinya menjadi lima ideologi besar: Komunisme, Sosialisme Demokrasi, Islam, Tradisionalisme Jawa Nasionalisme Radikal. Komunisme diwakili oleh Partai Komunis Indonesia yang mendasarkan perjuangan politiknya pada Marxisme Leninisme. PKI mengadopsi Marxisme Leninisme mentah-mentah tanpa berupaya menjejakkannya pada realitas sosial kultural Indonesia. Sosialisme Demokrasi diwakili oleh Partai Sosialis Indonesia yang mengadopsi sayap sosial demokratik dari Marxisme. PSI gagal membangun diri sebagai partai massa seperti PKI dan hanya kokoh di perkotaan. Namun, gagasan sosial demokrasi mampu mempengaruhi banyak pemimpin partai lainnya (Masyumi dan PNI). Islam diwakili oleh dua partai besar: Masyumi dan NU. Masyumi mewakili sayap reformis Islam, sementara NU lebih konservatif. Namun, perbedaan itu menjadi problematik ketika di dalam tubuh Masyumi pun terdapat kelompok-kelompok fundamentalis. Masyumi kokoh di Jawa Barat sementara NU di Jawa Tengah dan Timur. Masyumi banyak dipengaruhi gagasan Sosialisme Demokrasi sementara NU mengadopsi gagasan Nasionalisme Radikal dan sebagian Tradisionalisme Jawa.
Tradisionalisme Jawa, sebagai ideologi, tidak diwakili oleh partai politik. Namun, pribadi-pribadi yang menggotong ideologi tersebut dapat ditemukan di banyak partai. Dengan kata lain, ideologi Tradisionalisme Jawa cukup berpengaruh di banyak partai. Nasionalisme radikal diwakili oleh Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Partai ini adalah partai pemenang pemilu pada pemilu 1955. PNI menempati posisi tengah di antara berbagai ideologi politik yang berkecamuk di Indonesia. Secara ideologis, PNI berafiliasi dengan Tradisionalisme Jawa, Komunisme dan Sosialisme Demokrasi. Gagasan ”nasionalisme” yang diusung PNI dapat saja menyatukan berbagai kelompok ideologis yang berkembang waktu itu. Namun, PNI tetap saja memiliki persoalan dengan partai Islam seperti Masyumi, misalnya.
Politik Indonesia pada rentang 1945-1965 adalah politik multi-aksial. Pertama, perbedaan antara politik kiri dan kanan yang diukur berdasarkan afinitasnya dengan Komunisme. Kedua, perbedaan antara politik modern dan tradisional yang diukur dari sejauh mana partai mengadopsi ideologi Barat atau sebaliknya, sejauh mana partai mengadopsi tradisi. Ketiga, perbedaan antara politik Islam dan Non-Islam yang diukur berdasarkan sejauh mana partai menjadikan Islamisme sebagai inspirasi politiknya. Pada model politik multiaksial semacam itu, koalisi menjadi sukar meski tidak tertutup kemungkinan. Dalam tubuh Islam saja, Masyumi dan NU sulit berkoalisi karena afiliasi NU yang demikian kental terhadap Tradisionalisme Jawa. Peta politik antar partai menisbikan kemungkinan koalisi antara PKI dengan Masyumi atau NU. Memang, kita tetap dapat menyaksikan irisan politik antar partai. Namun, seperti dikatakan Herbert Feith (1970), rentang 1945-1965 adalah rentang yang mana konflik partai adalah konflik ideologis.
Pertanyaannya, apa peran pancasila dalam politik multiaksial semacam itu? Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat tidak harus menjadi ikatan ideologis berbagai aksis politik di republik ini. Dia menjadi platform bersama yang mana sengketa ideologis tidak berubah menjadi fragmentasi dan disintegrasi republik sebagai kesatuan politik. Itu-lah mengapa Indonesia menganut sistem hukum berbasis hirarki norma ala filsafat hukum Hans Kelsen. Pancasila berdasarkan tesis hirarki norma diletakkan sebagai sumber hukum tertinggi. Artinya, semua aturan yang mengatur hidup bersama sebagai bangsa (dari mulai UUD sampai PERDA) harus mengacu pada pancasila dan bukan ideologi lain.
Kedua, setiap sila pada pancasila sendiri adalah prinsip yang diiyakan oleh semua bentuk ideologi yang ada di republik ini. Sila ketuhanan yang maha esa adalah prinsip spiritualitas pembebasan yang mengingkari setiap bentuk perbudakan karena tak ada yang layak disembah kecuali Tuhan yang Esa. Sila kemanusiaan adalah prinsip humanisme universal yang menghormati martabat dan nilai setiap manusia sebagai individu yang bebas. Prinsip ini ditujukan untuk menetralisir nasionalisme sempit yang berujung pada chauvinisme dan xenophobia. Sila persatuan adalah prinsip yang menyatukan seluruh komponen bangsa menjadi satu kesatuan politik yang bernama negara-bangsa (nation-state). Persatuan di sini jangan diartikan sebagai ikatan yang dipaksakan melainkan sebuah ideal yang hanya dicapai apabila bansga ini mampu mewujudkan kesejahteraan umum, kecerdasan bangsa, dan perlindungan bagi segenap bangsa. Persatuan bukan realitas empiris melainkan hipotetis yang perlu diperjuangkan. Sila kerakyatan adalah prinsip demokrasi partisipatoris yang mana warga negara bukan objek pasif melainkan subjek aktif yang turut serta bermusyawarah dalam menentukan bulat lonjong kebijakan publik. Berdasarkan sila kerakyatanm, demokrasi Indonesia juga perlu dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Namun, kebijaksanaan di sini bukan kebijaksanaan satu dua orang melainkan kebijaksanaan konstitusional yang terkandung dalam pembukaan: mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Demokrasi yang dilandasi nilai-nilai seperti di atas bukan demokrasi prosedural belaka melainkan substansial. Sebab, bangsa ini memiliki batas substansial bagi apa yang disebut demos atau warga demokrasi. Warga demokrasi adalah mereka yang merdeka secara ekonomi, sosial dan politik sehingga mampu berkiprah di arena internasional sebagai ”yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”. Sila keadilan sosial adalah prinsip demokrasi ekonomi yang menghendaki persamaan kesejahteraan melalui persamaan kesempatan dan akses sehingga demokrasi politik dapat terwujudkan sempurna. Keadilan sosial adalah syarat mutlak bagi demokrasi politik. Amartya Sen, filsuf ekonomi, mengatakan bahwa absennya akses ekonomi membuat buntunya akses politik. Warganegara miskin dan buta huruf tidak dapat memperoleh informasi yang cukup untuk mengeksekusi hak politiknya saat pemilu. Dia hanya menjadi objek politik pencitraan dan bukan subjek politik yang rasional dan sarat informasi.
Dalam pidato 1 Juni 1945 Soekarno meringkas Pancasila menjadi Trisila yaitu:
  1. Ketuhanan yang Maha Esa

  2. Sosio Nationalisme yang meliputi peri kebangsaan dan peri kemanusiaan

  3. Sosio Demokrasi yang meliputi peri kerakyatan dan peri keadilan sosial

Dalam pidato itu jelas terlihat bagaimana Soekarno menginginkan agar bangsa ini disandarkan pada spiritualitas yang membebaskan (monoteisme), kebangsaan yang tidak chauvinistik dan demokrasi berbasis keadilan sosial. Ketiganya diikat oleh satu prinsip fundamental yang menjadi perasan terakhir dari Pancasila yaitu gotong-royong. Bangsa yang sudah diperbudak selama ratusan tahun oleh bangsa lain tidak boleh menjadi bangsa yang terkotak-kotak dalam individualisme sempit. Etika dasar hidup berbangsa dan bernegara adalah etika solidaritas atau kesetiakawanan sosial. Berbasis etika dasar tersebut, kita dapat hidup bersama dalam politik multiaksial tanpa disintegrasi sekaligus memajukan kesejahteraan umum.
Daftar Bacaan
Hadikusumo, Ki Bagus. 1954. Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin. Yogyakarta: Pustaka Rahayu
Hatta, Muhammad. 1969. Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Tintamas
Yamin. Muhammad. 1959. Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945 Jilid I. Jakarta: Yayasan Prapanca
Syafii Maarif, Ahmad. 2006. Islam dan Pancasila sebagai dasar negara: studi tentang perdebatan dalam konstituante. Jakarta: LP3ES
Buyung Nasution, Adnan. 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Jakarta: Grafiti
Saifuddin Anshari, Endang. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945: sebuah konsensus nasional tentang dasar negara Republik Indonesia (1945-1949). Jakarta: Gema Insani Press
Silalahi, S. 2001. Dasar-Dasar Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kamenka, Eugene (ed.). 1983. The Portable Karl Marx. New York: Penguin Books
S Turner, Rachel. 2008. Neo-Liberal Ideology: History, Concepts and Policies. Edinburgh: Edinburgh University Press
Von Mises, Ludwig. 1985. Liberalism: In the Classical Tradition. New York: Foundation for Economic Education
Karg