Kamis, 31 Januari 2013

Beranda » » Jejak Raden Saleh di Leipzig

Jejak Raden Saleh di Leipzig


google.com
Lukisan cat minyak berjudul Stierjagd auf Java atau "Berburu Banteng Jawa" yang dibuat Raden Saleh tahun 1842 di kanvas berukuran 85 x 140 sentimeter.

Oleh Zeynita Gibbons
Lukisan cat minyak berjudul Stierjagd auf Java atau "Berburu Banteng Jawa" yang dibuat Raden Saleh tahun 1842 di kanvas berukuran 85 x 140 sentimeter tergantung di ruang pameran mini karya Raden Saleh koleksi Museum Sejarah Leipzig di Balai Kota Leipzig, Jerman.
Beberapa lukisan Raden Saleh ditampilkan dalam pameran yang diselenggarakan Perkumpulan Masyarakat Indonesia-Jerman di Leipzig yang berlangsung hingga 17 Februari mendatang itu.
Direktur Museum Sejarah Leipzig, Volker Rodekamp, dan Deputy Chief of Mission KBRI Berlin, Siswo Pramono, membuka pameran yang dihadiri sekitar 100 pengunjung yang terdiri atas anggota Perkumpulan Masyarakat Indonesia-Jerman, anggota Lion Club serta akademisi dan pecinta seni di Kota Leipzig itu.
Menurut Siswo, Raden Saleh termasuk sosok yang penting dalam hubungan Indonesia dan Jerman.
Bapak seni lukis modern Indonesia itu, ia menjelaskan, termasuk duta Indonesia yang pertama yang ikut membangun landasan hubungan antara Indonesia dan Jerman.
Di Jerman, Raden Saleh melahirkan karya lukis bergaya oriental, lukisan-lukisan tentang eksotika Asia yang dia buat menggunakan teknik melukis Eropa yang telah dia pelajari di Belanda.
Karya-karyanya menjadi daya tarik dalam tata pergaulan seni Eropa dan membuat Raden Saleh menjadi sorotan masyarakat seni saat berkunjung ke Frankfurt, Berlin dan Dressden.
Bersama karya-karyanya, Raden Saleh masuk ke lingkungan pergaulan kaum aristokrat Jerman pada masa itu. Duke of Saxe-Coburg and Gotha serta adiknya, Pangeran Albert, yang kemudian menikah dengan Ratu Victoria dari Inggris tercatat sebagai sahabat Raden Saleh.
Gaya berbusana Raden Saleh yang tak biasa saat menghadiri pesta-pesta yang diselenggarakan kelompok masyarakat Eropa pun ikut menjadi perhatian, membuat dia menjadi salah satu perbincangan pada masa itu. Dia sering memadukan unsur Jawa dan Eropa dalam berpakaian.
Hal inilah yang membuat Raden Saleh berhasil meruntuhkan hati perempuan-perempuan cantik di Eropa pada jaman itu, kata Dr Werner Kraus pada pembukaan pameran mini karya Raden Saleh di Balai Kota Leipzig.
Kraus adalah akademisi di Universitas Passau yang selama 25 tahun meneliti kiprah dan karya Raden Saleh dan menuangkannya dalam buku berjudul "Raden Saleh and the Beginning of Modern Indonesian Painting."
Selama melakukan penelitian, dia menemukan berbagai manuskrip tentang Raden Saleh di Dressden. Dalam salah satu manuskrip Raden Saleh menuliskan kalimat:
"A lot of my life was dedicated exactly to this purpose, trying to connect two very different cultures. But behind each and every culture there are human beings, and human beings are not so different."
(Sebagian besar hidup saya dedikasikan untuk tujuan ini, mencoba menghubungkan dua budaya yang berbeda. Tapi dibalik masing-masing dan setiap budaya manusia, dan manusia tidak terlalu berbeda."
Kraus melihat tulisan itu sebagai cerminan usaha Raden Saleh untuk menjembatani hubungan antara dua budaya, yang dalam hal ini budaya dari tanah asalnya dan budaya Eropa.
Paduan
Kraus menjelaskan, di satu sisi Raden Saleh menampilkan realitas Timur yang dianggap eksotis oleh khalayak Eropa.
Saat peradaban Barat tengah tergila-gila dengan apapun yang berbau eksotisme Timur, Raden Saleh menampilkan karya-karya orientalis dengan teknik seni rupa Barat.
Namun di sisi lain, Raden Saleh juga terkesima dengan Eropa dan kemewahan istana-istananya yang seperti dongeng.
"Itu adalah pengalaman eksotis baginya, sama seperti orang Eropa waktu itu memandang eksotisme alam Indonesia," ujarnya.
Ia menjelaskan pula bahwa penerimaan masyarakat Jerman ikut membantu Raden Saleh menemukan jati diri dan mengembangkan kemampuan artistiknya.
Di Belanda, Raden Saleh tetap mendapat cibiran sebagai inlander meski sudah setengah terpaksa mengenakan busana ala Eropa. Sementara saat di Dressden, Raden Saleh justru mengundang penasaran dan kekaguman saat mengenakan busana Jawa.
Penerimaan itu, menurut Krauss, membuat Raden Saleh bisa lebih banyak belajar dengan tetap mempertahankan identitas diri sebagai orang Asia dan orang Islam. Dan dia terbukti bisa.
Sekitar 15 kilometer dari Kota Dressden, tak jauh dari Istana Maxen yang pernah menjadi tempat Raden Saleh tinggal, sebuah masjid dibangun.
Di Masjid Kubah Biru itu ada tulisan kalimat Raden Saleh dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Jawa, "Sembahlah Tuhanmu dan Cintailah Sesama Manusia."

ANT
Editor :
Jodhi Yudono