Senin, 28 Januari 2013

Beranda » » Serat Centini [26]

Serat Centini [26]

Jayengsari tersenyum mendengar celoteh adiknya yang masih kecil, yang ingin berbicara dengan buaya-buaya yang ada di telaga itu.
” buaya itu tidak makan nasi, tetapi memakan jenis binatang, seperti; belibis, tetapi ada kalanya memakan manusia yang tercebur di dalam telaga itu, terutama yang tidak bisa berenang.” tukasnya.
“ paman Buras, kau mau nggak dimakan buaya itu?” tanya gadis kecil, kepada pembantunya.
Ki Buras berlari ketakutan, dan pura-pura jatuh dan terengah-engah, minta dikasihani.
Gadis kecil itu memanggil “ Paman Buras kembalilah kesini, si buaya itu tidak mau memakanmu, kau bau belacan.”
Ki Buras kembali menemui gadis kecil itu, sambil menyerahkan telor-telor burung belibis kepada sang Rancangkapti.
“ paman, kau dapat darimana telor-telor ini?”tanya gadis kecil itu.
‘ disana…” ki Buras sambil menunjukkan ke arah tepi telaga
“ Ayo kakang, kita mencari telor seperti ini”
Raden Jayengsari kemudian berjalan mengikuti adiknya mengambil telor belibis yang banyak berserakan di tepi telaga.
Matahari semakin tinggi , sinarnya pun semakin panas. Gadis kecil itu peluh di dahinya mengucur deras ‘ paman Buras, aku minta di gendong, panas sekali.” Gadis kecil itu merengek akan menangis.
Mereka mencari tempat yang teduh dibawah pepohonan yang rimbun daunnya, dan tempatnya bersih, tidak jauh dari pohon itu terdapat sebuah mata air, yang jernih dan airnya berwarna ke biru-biruan.
“ kakang, ini ada kolam yang airnya biru, yang keluar dari bawah pohon itu. tentu yang mengambil air ini banyak, ya?” gadis kecil bertanya pada sang kakak.
“iya, tentu saja, bukankah setiap orang membutuhkan air?”
“ kolam ini namanya apa, mengapa airnya berwarna biru ?” dasar anak kecil pertanyaanyapun, selalu berkaitan dengan keinginan tahuan dirinya.
“ namanya banyubiru.” Jayengsari menjawab asal-asalan saja.
“kakang aku takut, itu yang duduk dan juga bergelantungan di pohon, mereka meringis menakutkan, kakang!” Rancangkapti merajuk.
“ tidak apa-apa, bukankah ada kakakmu disini?”sahutnya
“ mengapa mereka tidak pakai baju dan celana, hiiih memalukan, lagipula itu bahasanya tidak karuan !”
Jayengsari dan ki Buras tersenyum geli, mendengar celoteh gadis kecil itu.
“ kakang mereka itu bianatang apa manusia ?”
“ itu namanya kera, yang di depan dan paling besar itu dijadikan pemimpinnya.”
“ kakang, apa kera itu mau makan telor?”
Kemudian gadis kecil itu melemparkan telor-telor belibis ke arah kera itu, dan mereka cepat menangkap telor-telor itu. setelah kera-kera itu menerima telor belibis, segera pergi jauh, dan tidak nampak dari pandangan mereka.
Matahari telah berada di punggung gunung, niken Rancangkapti berjalan mengelilingi kolam itu, raden Jayengsari melihat ada batu hitam berdiri tegak disisi utara dan terdapat tulisan dengan aksara kuna [prasasti].
Setelah puas melihat-lihat keadaan disitu, mereka segera melanjutkan perjalanannya, dan memasuki hutan. Disitu banyak tanaman dan tumbuhan buah-buahan, kebetulan saat itu sedang musim buah.
Mereka memetik buah sekehendaknya. Buah klampok harum, dhuwet putih, kepel, pisang mas, manggis , duku, buah-buahan itu dibungkus dengan kain.mereka makan sepuasnya. Setelah perutnya telah terisi, segera bergegas melanjutkan perjalanannya. Ki Buras menggendong Niken Rancangkapti, dengan langkah cepat menerobos hutan.
Mereka bertiga, kini telah memasuki wilayah Kadipaten Malang, di kaki pegunungan Tengger. Di kejauhan nampak air terjun. Oleh masyarakat di sekitar itu, air terjun itu bernama Air terjun Baung, airnya putih seperti kapuk. Suaranya gemuruh sehingga mereka bertiga saling berbicara nyaris tak terdengar.
Malam hari itu, mereka bertiga bermalam di sebuah dusun yang tidak jauh dari situ. Pada pagi harinya setelah subuh barulah melanjutkan perjalanan.
Sampailah kini mereka bertiga di Singasari. Raden Jayengsari berhenti di dekat candi yang terbuat dari batu hitam. Candi itu seperti bangunan masjid, dengan ukiran lung pinatra.

13592843541082098025
[dok. Gagah Suasawan]
Candi itu dikelilingi pagar berbentuk supit urang, di kanan dan kirinya terdapat dua arca besar yang membawa sebuah gada, matanya besar, lidahnya menjulur , gigi-gigi dan taringnya kelihatan bengis.
Nikèn Rancangkapti terperanjat ketika melihat kedua patung itu “ kakang, aku takut, itu manusia atau bukan, dan rumah itu kenapa dibuat dari batu semua, seperti masjid ?” Jayèngsari tersenyum.
“ adikku yang cantik, itu arca yang terbuat dari batu, sedangkan yang seperti masjid itu, namanya candi.”
ayo kakang, aku ingin melihat candi dan arca itu, siapa ya, yang telah membuatnya?”
Sastradiguna